Thursday, February 28, 2008

NAMAKU ELANG

NAMAKU ELANG I
Sumber: CCS
Finished: Nov 19, 1999

Namaku Elang. Usiaku saat ini awal tiga puluh. Bekerja di salah satu
stasiun televisi swasta di Jakarta. Aku punya pengalaman yang ingin
aku ceritakan dan persembahkan kepada pengunjung setia CCS.
Kisah yang kuceritakan ini dimulai bulan Mei tahun lalu. Saat
angin
reformasi berhembus kencang.
Pagi itu awal Mei, pukul 7:00, aku mendapat telepon yang tak
kuduga-duga di
kantor. (Memang aku biasa datang pagi untuk menghindari
macet).
"Hallo, siapa nih?"
"Hai. Lupa sama aku ya?"
"Iya. Siapa?"
"Coba tebak. Masih ingat Ilen?"
"Ilen?"
"Iya. Yang tinggal di Wastu Kencana, Bandung."
"Oh, yang anak Inggris?"
"He eh. Tapi kamu bukan dia. Karena aku kemarin ketemu dia di
Bandung."
"Makanya. Tebak siapa aku. Ilen is the clue. Aku sobat baiknya.
Anak
Inggris juga."
Aku mencoba mengingat-ingat suaranya. Tapi tetap saja tidak ingat.
Iyalah,
mana aku ingat anak-anak angkatan 91. Lain jurusan lagi.
"Sombong. Lupa ya sama aku?"
"Aku nyerah deh."
"Ini Srida."
Srida. Emh, aku ingat dia.
"Hai! Dimana kamu sekarang."
"Di kantor. Aku kerja di Jakarta sekarang."
"Dimana?"
Dia menyebutkan nama sebuah bank asing dari Amerika yang sangat
terkenal.
"Hebat kamu. Boleh dong aku ambil kredit? Di bagian apa
kamu?"
"Cuma di bagian Telemarketing. Tapi lumayan deh."
"Dapat teleponku dari Ilen ya?"
"He eh. Tiap pagi aku telepon dia. Dari kantor."
"Enak banget. Di kantorku, telepon lokal aja dibatasi."
"Iya. Di sini sih mau interlokal berjam-jam juga boleh. Khan bagian
tele,
apalagi aku dateng pagi banget. Maklum, numpang kakak."
"Sama. Emh, senang sekali dapat telepon dari kamu."
"Lang, gak nyangka kamu ada di sini juga. Kemarin-kemarin sih aku ada
lihat
kamu di teve. Hebat kamu."
"Biasa aja. Lagian kenapa baru sekarang telepon?"
"Barusan aku dapet dari Ilen."
"Sering balik ke Bandung?"
"Tiap minggu. Jumat pulang, Minggu atau Senin pagi kembali ke
Jakarta."
"Gila. Nggak capek?
"Abisnya bosen. Gak punya temen sih."
"Sekarang khan ada aku."
"Iya deh."
Kami pun berbincang di telepon sampai pukul 8. Saat dia harus
bener-bener
bekerja. Sedang jam kerja kantorku pukul 8:30. Kami bicara banyak.
Soal
pengalaman masa kuliah dulu.
Kenanganku muncul setelah telepon ditutupnya.
Srida. Gadis itu teman kuliahku di Fakultas Sastra. Hanya kami
beda
jurusan. Aku di Perancis, sedang dia di Inggris. Terus terang dulu
aku
naksir dia. Anaknya manis, pendiam, berkulit putih. Dengan berat dan
tinggi
badan proporsional. Wajahnya mirip Shinta Bella dimixed dengan
Cornelia
Agatha. Pokoknya oke banget. Dia sejurusan dengan Ilen, teman baikku
waktu
Opspek dan telah kuanggap sebagai adikku sendiri. Dulu aku pernah
minta
tolong pada Ilen untuk membantuku mendekatinya. Tapi aku hanya
diberikan
telepon dan alamat Srida saja. (Nantinya aku tahu kalau Ilen itu
menaruh
harapan kepadaku. Pantes Ilen -dulu- kayaknya meng'goda'ku setiap kali
main
ke kostku.) Dulu aku pernah menelpon Srida beberapa kali. Biasa,
merayu.
Tapi dia gak bergeming. (Nantinya aku juga tahu kalau dia mengira aku
tidak
serius, dan menyangka aku playboy tengil. Padahal suwer; dia
bener!
Hahaha!). Ya udah akhirnya kami nggak jadian. Aku tetap sebagai
playboy,
doi setahuku pacaran dengan anak angkatan 90.
Sebenarnya aku waktu kuliah di Sastra itu sudah kerja di
perusahaan
familiku -asli karena kebisaanku, bukan KKN- dan juga kuliah di D3
Tehnik
Informatika swasta. Iseng dan penasaran saja untuk kuliah di dua
tempat.
Apalagi di Sastra khan rata-rata banyak ceweknya. Jadi ya itu,
playboy
kampung ini makin betah aja.
Di kampus aku cukup populer dengan panggilan Abang. Iyalah, aku
tua-an,
udah kerja, dan berasal dari Kalimantan. Karena sudah kerja, sudah
punya
cukup uang. Makin banyak aja cewek-cewek yang lengket dengan aku.
Credit
card can buy everything, man. Utamanya pada tahun awal 90-an. So, aku
bisa
dengan mudah pilih-pilih cewek. Dan lagi tampangku gak malu-maluin deh
buat
digandeng. Gak sombong, korbanku sudah banyak! Aku jahat ya. Tapi
akhirnya
aku takluk juga dengan seorang gadis, adik tingkatku. Yang akhirnya
menjadi
istriku tercinta.
Aku ngelantur ya? Bosen? Gak apa-apa. Aku bingung juga buat cerita.
Aku
bukan pengarang sih. Aku cuma mencoba menceritakan ulang
pengalamanku.
Aku lanjutkan ya.
Sejak pagi itu. Srida menelponku paling tidak tiga kali sehari.
Pagi-pagi
seperti tadi, siang saat makan siang. Dan sore sebelum pulang
kantornya.
Rata-rata tiap kali menelpon satu jam sampai satu setengah jam. Gila
ya?
Temen-temen kantorku juga bingung. Kenapa aku jadi males makan keluar
pada
jam istirahat. Aku pasti hanya nitip, atau pesen delivery aja. Mereka
mulai
curiga. Apalagi atasanku, perawan(?) tua yang ceriwis dan nyinyir.
Beberapa
bahkan langsung menebak aku selingkuh. Ooops, lupa ceritain kalau aku
itu
sebenarnya sudah tunangan dengan Venus.
Aku senang mendengar suara manja Srida di telepon. Sungguh. Dia
sudah
berubah. Bukan Srida yang dulu selalu ogah-ogahan menerima telepon.
Yang
tertutup dan pendiam. Dia total berubah. Dia bahkan memanggilku sayang.
Dan
tak malu-malu menyambut rayuan dan gurauanku. Bahkan yang agak-agak
miring.
Kadang aku berpikir ini semua karena kisah lama yang terulang. Rasa
cinta
yang mendadak datang kembali. Gila, kenapa dia muncul sekarang.
Saat
tanggal pernikahanku sudah ditetapkan. Sering juga aku merasa ini
hanya
perasaan senang, mendapat kembali kawan lama.
Bosen? Gak apa-apa kalau pembaca bosen, silahkan lewatin saja cerita
ini.
Lucunya, sampai berhari-hari kita telepon-teleponan saja. Aku sibuk,
dia
gak bisa keluar kantor. Padahal jarak kantorku dengan Kuningan
-kantor
Srida- tidaklah bisa dikatakan jauh. Paling setengah jam pake
mobil.
Srida selalu mengajak bertemu. Tapi karena rasa cintaku pada
Venus
-tunanganku- aku selalu menolak. Srida belum kuceritakan kalau aku
sudah
bertunangan November 1997 lalu.
Teleponnya, selain ke kantor juga sekali-sekali ke rumah atau ke
HP-ku.
Tapi tak pernah lama. Paling hanya menyampaikan kesepiannya di Jakarta
yang
tanpa teman itu.
Saat kerusuhan 14 Mei, aku terpaksa menginap di kantor. Srida beberapa
kali
menelponku, mengatakan dia akan pulang cepat. Dan kalau bisa akan
pulang ke
Bandung. Srida akan kembali hari Senin, sebab kantornya memutuskan
untuk
meliburkan karyawannya.
Senin tanggal 18 Mei sore aku mendapat telepon dari Srida. Dia
mengatakan
sedang berada di RS Harapan Bunda. Ternyata keponakannya diopname
karena
menderita kelainan pada jantungnya. Dia memintaku untuk
menjumpainya di
sana.
Mulanya aku tidak mau, sebab setelah beberapa hari tidak
mendapat
teleponnya, walaupun ada rindu, aku sadar kembali bahwa aku telah
punya
tunangan dan akan menikah dalam beberapa bulan. Namun akhirnya
rayuannya
dan rasa penasaranku membuat luluh tekadku.
Sepulang kantor, aku pun menuju ke RSHB. Sempat celingukan karena
sedikit
lupa akan rupa dan sosoknya. Kucoba hubungi HP-nya sedang dipakai.
Akhirnya
aku melihat seorang gadis sedang duduk di ruang tunggu apotik.
Ah itu dia. Gadis itu pun melihatku. Tersenyum manis. Aduuuh,
cantiknya.
Bener. Wajahnya tambah manis, body-nya lebih kurus dari yang kuingat,
namun
sangat montok. Tak puas-puas kupandangi dia.
"Elang." Dia memanggilku.
"Hai." Hanya itu yang sanggup kukatakan.
Dengan segera dia berdiri menyongsongku. Menyalamiku dan
menyodorkan
pipinya. Ah, aku cukup kaget. Perasaan dulu dia nggak begini.
Mungkin
karena dia merasa telah akrab kepadaku melalui telepon-telepon
kami.
Kupandangi dia lekat-lekat. Tubuhnya hanya dibaluti kaos tipis merk
Playboy
berwarna putih, sedang bawahannya dia memakai rok pendek yang
menampakkan
kakinya yang bagus dan panjang mulus itu. Aku dapat melihat sekilas
bra
hitam yang dipakainya, menonjolkan sepasang buah dada yang
menantang,
ranum.
"Lama ya, nungguin aku?"
"Nggak juga. Kamu gak berubah banyak, Lang. Hanya tampak lebih
matang."
"Kamu yang berubah."
"Apanya?"
"Semuanya. Lebih .., apa ya?" aku sempat terdiam,
"menggiurkan."
Dia hanya tersenyum.
Dia mengajakku duduk, kemudian mulai bercerita soal keponakannya yang
masih
balita itu. Aku mendengarkan sambil sesekali menatap erat
wajahnya.
Dalam hati aku harus mengakui kalau dia tambah cantik. Sungguh.
Rambutnya
yang ikal dipotong sebahu. Modern style.
Tampaknya dia sadar kalau kupandangi.
"Hei!" sentaknya.
"Apaan?" Tanyaku.
"Matamu itu."
"Salah sendiri. Kenapa kamu tambah cantik."
"Sudah merayunya. Biasanya cowok kalau habis merayu lalu minta
yang
nggak-nggak."
"Tapi kalau aku yang minta dikasi khan?"
"Mintanya apaan dulu."
"Disun."
Dia mencubitku.
"Macem-macem aja. Entar pacarmu marah. Siapa tuh, si kaca mata
itu?"
Aku cuma diam, lalu sadar, dia mesti tahu tentang Venus.
"Venus? Baek."
"Nah itu. Mending kita telepon Ilen sekarang."
"Yuk." Ku gaet tangannya. Sambil berjalan tanganku beralih,
memeluk
pinggangnya yang ramping. Dia tak menolak. Tanganku tetap di sana,
bahkan
saat menelpon Ilen dari telepon kartu. Iyalah, kalau pake HP bisa
berapa?
Interlokal khan kalau ke Bandung. Itu aja ngabisin kartu teleponnya
sekitar
40 pulsa dan punyaku yang masih 230-an. Masalahnya, Ilen itu bawel
banget
orangnya.
Sehabis itu kami makan malam di kantin RS. Aku sebelumnya mengajak
Srida ke
café atau restoran, tapi dia menolak. Lain waktu saja,
katanya.
Kami bicara banyak. Tentang jalan hidup yang kami tempuh. Tentang
masa
lalu. Terkadang jemarinya kugenggam, kuremas. Dia tak sekalipun
menghindar.
Tentu saja aku tak cerita kalau aku sudah tunangan.
Setelah malam itu, kami sering jalan berdua. Terkadang aku
menemaninya di
RS. Untungnya tunanganku begitu percaya kepadaku, dan memang tidak
terbiasa
menelponku kalau tidak penting-penting benar.
Kami saling berbagi hadiah. Dia memberi aku bermacam barang yang
berbau
Coca Cola, karena dia tahu aku maniak dengan merchandiser dari
perusahaan
minuman tersebut. Ada-ada saja surprise darinya. Aku bahagia
bersamanya.
Aku pun demikian tidak lupa akan maniaknya dia dengan tokoh Tazmania
dari
Warner Bros.
Tapi hubungan kami hanya sebatas makan, jalan, nonton, berpegangan
tangan,
peluk pinggang, dan cium pipi saja. Bosenin kali ya? Tapi ya, aku
cukup
senang.
Sampai akhirnya di bulan Juni.
Aku ingat benar tanggalnya, tanggal 13. Saat itu aku di Bandung,
dalam
rangka memperingati setahun wafatnya ayah Venus, tunanganku. Juga ada
tugas
kantor.
Srida sudah ada di Bandung sejak kemarin -aku yang mengantarnya ke
Gambir-.
Dia tahu aku akan ke Bandung. Di tengah acara peringatan, HP-ku
berbunyi.
Dari layar aku tahu dia yang menelponku.
"Hai. Ntar aku telepon. Aku sedang di acara temanku nih." Kataku
pelan.
"Nggak usah. Gini aja. Aku tunggu di Dago. Anak-anak bikin warung
tenda.
Namanya ..(kurahasiakan). Aku tunggu."
"Oke." Telepon pun kututup.
Venus melihatku, bertanya, mungkin curiga. Kujawab saja
anak-anak
angkatanku mengajak reuni. Venus percaya saja. Dan memang dia tidak
pernah
mau mencampuri urusanku dengan teman-temanku waktu kuliah
dulu.
Makanya setelah acara keluarga selesai, aku segera ke Dago pakai
taksi.
Tidaklah sulit mendapatkan warung tenda yang dimaksud. Di sana sudah
ada
Ilen dan anak-anak Inggris lainnya. Setelah sekitar dua jam di sana,
Ilen
minta diantar pulang. Aku dan Srida yang mengantar.
Di rumah Ilen, Ilen menggoda kami habis-habisan -sesekali dia
menyinggung
soal Venus-. Aku dan Srida hanya bisa seperti anak SMA, tersipu
malu.
Segera saja kuajak Srida pulang.
Dan gilanya, Srida mengatakan ingin jalan kaki menuju rumahnya. Aku
mengira
dia bercanda. Gila! Jarak Wastukencana (rumah Ilen) dengan Gatot
Subroto
(rumahnya) khan lumayan jauh. (Tanya deh sama yang mengerti Bandung).
Gak
tahu berapa km, pokoknya jauh deh. Tapi Srida meyakinkanku, katanya
dia
ingin menikmati malam ini bersamaku. Banyak pula hal yang
ingin
dibicarakannya. Ya udah, kujabanin aja.
Emang banyak yang diceritakannya. Masa lalunya, kisah cintanya,
rahasianya,
keluarganya. Sementara aku hanya mendengar dan sesekali
menanggapi
pertanyaannya. Aku juga berbohong padanya (soal Venus, apalagi).
[info aja nih; waktu aku mulai jalan dengan Venus, aku tidak pernah
berlaku
'curang', sebelumnya aku layaknya buaya yang gak pernah nolak
bangkai.
Teman-teman Venus sendiri pun protes saat tahu Venus jalan denganku
-some
of them was my victims, honestly-, tapi Venus tak terpengaruh.
Mungkin
karena itu aku bisa awet dengannya dan tidak 'obral' lagi. But,
dengan
Srida ini aku gak tahulah. Why?].
Semakin dekat rumahnya, kami berjalan semakin pelan. Satu setengah jam
ada
mungkin, kami berjalan-jalan. Karena Swatch di tanganku sudah
menunjuk
angka setengah satu pagi. Selain pelan pun, kami semakin rapat.
Dapat
kucium lembut parfum yang dipakainya, yang keluar dari tubuh yang
terbalut
stelan hitam-hitam dan jaket Levi's-ku. Tubuhnya lembut dan hangat
dalam
rangkulanku. Tapi ya, sekali lagi, hanya sebatas rangkulan. Bosen,
ya?
Biarin.
Lima ratus meter dari komplek rumahnya, dia mengusulkan untuk
menunggu
taksi. Aku pun mengiyakan. Dari pada entar sendirian, mending
sekarang.
Taksi segera didapat. Kami pun naik. Sudah hampir masuk ke kompleknya.
Kami
berpandangan. Entah gimana.., bibir kami sudah saling mendekat,
sebelum
akhirnya bersentuhan.
Lembuuuuuuuut sekali.
Dan aku yakin mata si sopir meloncat keluar melihat kami dari spion.
Kami
tak peduli. Terus kukulum bibir ranumnya. Dan sungguh, aku telah
sekian
lama merindukan bibir madu ini. Perlahan tapi pasti mulailah lidah
kami
bermain, saling memilin. Damn! It was the best kiss I ever
had!
"Pak. Rumahnya yang mana?" Dengan malu-malu, pak supir tua itu
bertanya.
Oooops! Kami berdua tersentak. Lalu saling pandang. Tersenyum.
Malu-malu.
"Gimana Srida?" Tanyaku.
"Terserah kamu." Jawabnya dengan suara serak.
"Emh, jalan terus saja Pak." Kataku, "terserah Bapak kemana,
keliling
Bandung juga boleh. Oh, putar-putar deh."
Si sopir itu pun manut.
Aku memegang tangan Srida. Dia memandangku, kemudian menunduk.
Kupegang
dagunya yang indah. Kusodorkan wajahku. Perlahan dia mendorongku
menjauh.
Mukanya mengarah ke sopir itu.
"Biarin." Bisikku.
Lalu ciumanku pun kulanjutkan. Srida pasrah. Sopir itu pun tahu diri,
tidak
plirak-pirik lagi.
Kami berciuman dengan penuh perasaan [swear! ]. Menikmati setiap
helaan
nafas dan kehangatan yang menjalar di sekujur tubuh kami. Kurengkuh
dia
dalam pelukan. Perlahan kurasakan kejantananku mulai bereaksi.
Terasa
hangat sekali di bawah perut ku. Tanganku pun sudah beroperasi di
punggung
Srida. Perlahan turun, sampai di sebentuk bokong yang indah dan
hangat.
Kuremas perlahan sepasang bongkahan itu silih berganti. Srida
mengerang
perlahan. Tubuhnya yang indah meregang. Bibirku pun tidak lagi
hanya
sekedar menikmati tiap lekuk bibirnya, tapi telah berpindah, ke
pipi,
pelipis dan keningnya. Kemudian kembali ke bibirnya. Kurasakan
tangannya
meraba-raba punggungku, dan kemudian ke arah bokongku.
Aku menekan tubuhnya dengan tubuhku. Bibirku turun ke dagunya,
menggigit
lembut. Srida merintih. Perlahan bibirku turun ke lehernya, sedang
tanganku
beralih ke dadanya. Meraba, meremas, dan memilin dari balik
bajunya.
Bajunya yang dari bahan satin menambah sensual bentuk payudara
Srida.
Bibirku terus menciumi leher gadis itu. Lidahku menjilati
kejenjangannya.
Seperti musafir yang kehausan. Kuhisap, kujilati, kutelusuri
lehernya.
Srida tambah tak teratur gerakannya. Jemarinya menarik rambutku,
nyaris
menjambaknya. Aku yakin dia sudah benar-benar
terangsang.
Tanganku pun turun, membelai perutnya yang datar. Bermain-main
sejenak di
situ. Lalu dengan pasti menyentuh kehangatan di antara kedua
pangkal
pahanya. Sebentuk daging lembut yang ditutupi celana dari bahan
sandwash
itu memancarkan hangatnya. Srida melenguh perlahan. Oh, aku
sungguh
menikmati erangannya itu.
Lalu tangan kananku menuju bagian belakang tubuhnya. Dari
sela-sela
celananya tanganku masuk, meraih. Pertama-tama kurasakan pinggiran
celana
dalamnya yang berenda. Kejantananku seolah berontak. Sesaat
kemudian
jemariku telah berada di dalam panty Srida. Oooh, lembutnya tubuh
gadis
ini. Bentuknya bagus sekali. Terasa lembut menyentuh tanganku yang
kasar.
Srida mengerang, kali ini dia menggigit leherku untuk menekan
suaranya.
Kuremas-remas daging lembut itu.
"Oh, Elang. Aku cinta padamu." Tubuhnya meregang kembali, seperti
kucing
selepas tidur.
Aku sudah tidak sabar. Tanganku kutarik keluar. Meraba-raba hingga
ke
dadanya. Perlahan membuka dua kancing atas baju Srida. Nafas gadis
itu
terengah-engah, seolah meronta, ketika ujung jari-jariku menyentuh tepi
bra
yang dikenakannya. Nafasku pun sudah tak beraturan. Secara
naluriah,
tanganku pun mencoba meraih payudara kanannya, terasa nikmat dan
hangat
ketika jari tengahku menyentuh putting susunya. Oh, sempurnanya tubuh
ini.
Saat bibirku perlahan turun ke arah payudaranya, tiba-tiba kedua
tangan
Srida mendorongku. Lalu meraih bajunya yang telah kusut
masai.
"Berhenti, Lang." Parau sekali suaranya, "Jangan. Tidak di
sini."
Aku pun tersadar. Astaga. Benar-benar naluri. Perlahan Srida
mengancing
kembali hemnya. Aku pun mengusap bibirku, menghilangkan goresan merah
dari
situ. Masih kurasakan manis bibir dan lipstiknya di
situ.
Aku tersenyum, Srida juga.
"Maaf. Aku terbawa perasaan." Bisikku.
"He eh." Angguknya.
Lalu kami baru ingat kembali. YA AMPUN, KAMI DI DALAM
TAKSI.
"Dimana kita, Pak?" Tanyaku ke sopir.
"Di Braga, Pak." Jawabnya, kentara sekali malu-malu.
"Kita kembali ke tempat tadi Pak." Kulirik argo taksi GR itu sudah 14
ribu.
Gila. Berapa lama ya Pak Tua ini dapat tontonan gratis. Aku agak
menyesal
juga.
"Baik Pak."
Lalu Pak Tua itu pun mengantar kami ke komplek perumahan Srida.
Atas
permintaan Srida, kami hanya mengantarnya di depan komplek
(ngertilah,
Srida gak mau sopir itu tahu rumahnya). Lalu aku pun pulang ke
hotel
Horison.
Besoknya, pagi-pagi sekali Srida telepon ke HP-ku.
Tanpa 'say hallo' dan sejenisnya, dia hanya berkata; "Gila kamu, Lang.
Aku
orgasme dua kali."
Telepon ditutup sebelum aku menjawab. Aku hanya tersenyum puas,
lalu
kembali terlelap.

(bersambung)
To Sweet Srida [I know you'll read this 'cause I promise to write
our story] : "Raindrops keep falling on my head!"
To someone named Tika: "Thanks for your support."


NAMAKU ELANG II
Sumber: CCS
Finished: Nov 19, 1999

Pukul sebelas siang aku dan Venus sedang di Gani Arta, sebuah
pabrik yang banyak menjual bahan brokat untuk kebaya. Untuk
pakaian seragam sanak famili di pernikahan kami nanti. Sedang
asyik-asyiknya Venus memilih bahan, HP-ku yang dititipkan kepadanya
berbunyi. Dia mengangkatnya.
"Hallo.. Elang?... Sebentar ya.. Maaf, dari siapa ini?..
Srida?.. Sebentar."
Venus memberikan telepon kepadaku.
Dengan segera aku meraihnya, dan berbicara kepada Srida.
"Hi. How are you?"
"Baik. Tadi itu Venus ya?" Srida bertanya, agak kaku.
"Bukan." Berbohong, "Di mana kamu?"
"Sedang menuju ke Jakarta, numpang sama Mas Bambang."
"Oh. "
"Kamu dimana?"
"Di Ujung Berung."
"Ngapain?"
"Jalan-jalan aja." Bohong lagi.
"Gila. Masa aku sudah kangen sama kamu."
"Sama."
"Ntar ketemu ya di Jakarta."
"He eh."
Telepon pun ditutup. Aku baru sadar sorot mata curiga dari
Venus.
"Siapa?"
"Temen. Yang kemarin ketemu waktu reuni."
"Namanya?"
"Tadi bilangnya siapa?"
"Sri apa gitu."
"Srida." Aku tidak dapat berbohong lagi.
"Perasaan tidak ada anak jurusan kita dulu yang bernama
Srida."
"Anak Inggris. Temennya Ilen." Kataku.
Venus kenal Ilen dan pernah kuajak ke rumahnya.
"Oh." Venus tampaknya ingat sesuatu, "Bukannya dia cewek yang dulu
kamu taksir?"
"Iya."
"Ngapain dia telepon kamu?" Curiga hadir lagi di tatapan
Venus.
"Iseng aja. Dia ternyata kerja di Jakarta juga. Kemarin kebetulan
ketemu.
Emh, jangan curiga gitu dong." Kurengkuh Venus dalam pelukan.
"Siapa yang curiga? Tapi awas aja ya macem-macem."
"Ngancem nih?" Ledekku.
"Iya."
"Don't worry, she got a boyfriend." Lalu sambil mengecup pipinya
aku berbisik, "Aku cuma cinta kamu, Venus-ku."
Venus pun 'normal' lagi.
Sorenya setelah mengantar Venus ke stasiun KA -dia mesti kerja
besok, di sebuah hotel yang sangat terkenal di Jakarta. Sedang aku
masih dinas di Bandung. Saat itu khan sedang Piala Dunia. TV-ku
khan mengadakan siaran langsung, café to café di hotel Horison-,
aku berencana ke rumah Ilen.
Dengan Nokia 6110, kuhubungi dia.
"Hai. Aku ke sana, ya."
"Abang? Kirain sudah gak mau ke sini. Mentang-mentang."
"Apaan? Aku ke sana ya."
"Gimana Srida?"
"Cuma temen kok."
"Venus?"
"Barusan aku nganterin dia pulang. Aku belum, masih ada acara di
sini.
Piala dunia di Horison."
"Boleh dong ikutan. Nginep di sana?"
"Iya."
Sesampai di rumah Ilen, cewek mungil tapi berdada cukup besar itu
langsung memelukku erat dan menarikku ke sudut ruang tamunya.
"Hai. Tadi aku ditelepon Srida. Gila, sekarang dia jatuh cinta sama
kamu, bro."
"Cerita apa dia?"
"Nggak. Dia cuma tanya-tanya soal kamu."
"Kamu cerita apa aja?"
"Aku bilang kamu sudah tunangan November kemarin."
"APAAAA?" Nyaris tersedak aku.
"Looo? Ada yang salah?"
"Ileeeeen. Ember kamu ya?"
"Gimana sih? Abang khan bener sudah tunangan dengan Venus. Ditanya
tadi katanya cuma temen. Si Srida pun demikian. Katanya
temen."
"Lalu. Ah! Kamu gak tahu masalahnya."
"Apaan sih? Bingung aku." Ilen terdiam sejenak, "Oooooh. Abang,
abang. Jangan main api."
"Lalu, apa kata Srida. Waktu kamu bilang aku sudah
tunangan?"
"Gak ada. Tapi aku bilang sama dia kamu mau ke sini. Dia bilang entar
aja dia telpon lagi."
"Mati aku."
"Emangnya ada apa sih?"
Maka aku pun bercerita pada Ilen. Kejadian yang terjadi sejak pulang
dari rumahnya kemarin. Memang, aku terbiasa berterus terang pada
Ilen. Sejak kuliah dulu kami sering berbagi kisah dan isi hati. Ilen
memandangku tidak percaya. Terkadang dia tertawa, terkadang
tersenyum. Terkadang dia mencubitku, terkadang cekikikan.
Terkadang pun menelan ludahnya.
"Gila kamu, Bang!" komentarnya setelah ceritaku selesai.
"Yah, mau dibilang apa?"
"Jadi benar? Dia sampai orgasme dua kali?"
"Katanya sih."
"Gila. Gila. Gila." Ilen menggeleng kepalanya, kembali menelan
ludah.
Kusadari suaranya berubah agak serak.
"Kamu terpengaruh, Len?" Aku tersenyum mesum, "mau
nyobain?"
Dan cubitannya yang menyakitkan pun hinggap di lenganku.
Telepon dari ruang keluarganya berbunyi. Ilen segera ke sana, karena
tidak ada orang di rumahnya.
Tak lama kemudian dia sudah ada di sampingku, sambil
tersenyum-senyum.
"Srida?" Tebakku.
"He eh."
"Apa katanya?"
"Waktu aku bilang kamu ada di sini. Dia cuma bilang katakan kepada
Elang, jangan macem-macem sama aku. Dia marah Bang. Dan,
kedengaran suaranya serak. Mungkin dia menangis."
"Wah gawat, Len."
"Iya. Dia bilang juga kalau kamu jangan lagi menghubungi
dia."
"Kenapa tadi tidak kau panggil aku?"
"Srida melarangku."
Aku segera menghubungi nomor teleponnya lewat handphone. Terdengar
tanda telepon telah tersambung, namun segera saja busy tone.
Tampaknya Srida melihat dari CLI kalau aku yang menelpon, dia
tidak mau menyambutnya.
Ilen memandangku dengan pandangan menyesal.
"Sudahlah. Nanti saja aku telepon lagi."
Teleponku berbunyi. Aku mengharapkan itu Srida. Tapi bukan, dari
Didot, sobatku yang jaga di Horison. Dia memintaku untuk segera
kembali ke hotel.
Ada yang harus dicek ulang untuk acara live Piala Dunia
itu.
"Len. Aku harus ke Horison. Jadi mau ikut?"
"Boleh. Tapi rumah nggak ada orang nih?"
Pas saat itu, bel pintu berbunyi. Ilen membukakan pintu. Ternyata kakak
dan iparnya yang datang. Maka Ilen pun bisa pergi denganku. Karena aku
lumayan akrab dengan keluarga Ilen, Ilen diijinkan untuk menginap di
Horison. Tahu sendiri, piala dunia khan siarannya malem.
Dengan segera Ilen mempersiapkan dirinya. Saat hendak mandi, kularang
dia.
Nanti saja di hotel.
Dalam perjalanan dengan taksi ke hotel Ilen dan aku banyak diam.
Sesekali dia tampak tersenyum, kalau kutanya dia hanya bilang ingat
soal aku dan Srida di dalam taksi.
Beberapa kali juga kucoba hubungi Srida di telepon. Kali ini
teleponnya dimatikan. Hanya ada voice mail saja. Aku ogah kalau harus
ngomong dengan mesin.
Di hotel, aku kenalkan Didot dengan Ilen. Kusarankan Didot untuk
pindah ke kamarku, sedang Ilen menggunakan kamarnya. Didot protes,
dengan berbisik dia bilang dia ada kenal cewek LPK Ariyanti
-lumayan terkenal dengan perki-nya. Ya udah, aku akhirnya mengajak
Ilen untuk memesan kamar lagi.
Tapi Ilen bilang tidak perlu, dia biar sekamar denganku. Aku
memandangnya sejenak, meyakinkannya. Dia cuma mengangguk, dan bilang,
aku percaya kamu, Lang.
Didot mengedipkan matanya kepadaku. Dasar otak ngeres. Dia emang gila
sih, pacarnya bejibun, padahal anaknya sudah SMA. Bahkan ada pacarnya
yang lebih muda dari anaknya di Jakarta sana. Itulah gawatnya kalau
suami istri pisah kota. Istri kang Didot ini kerja di Telkom Bandung.
Ngelantur ya? Aku lanjutkan.
Sore sampai malam, kami hanya duduk-duduk berempat. Gaetan Didot sudah
ada di situ. Lumayan cakep dan sexy . Namanya Sarita. Rupanya
si Didot mengiming-imingi gadis ini dengan janji akan
mengenalkannya pada Raam Punjabi. Aku hanya tertawa dalam hati. Lagu
lama karyawan stasiun TV, ya itu. Boro-boro kenalin dengan bos
Multivion itu, akhir-akhirnya di'jual' ke seorang manajer di kantorku
yang botak dan bejat (halo ED! Masih belagak sex maniac?).
Malam setelah acara live selesai dan beres mengemaskan barang-barang
yang mesti dibawa pulang ke Jakarta, kami kembali ke kamar
masing-masing. Si Didot menawarkan viagra kepadaku. (Waktu itu belum
banyak yang jual di Indonesia. Dia dapat dari seorang boss besar
suatu perusahaan terkenal di Indonesia yang orangnya suka nyanyi.
Didot is -kalau malem- one of his bodyguard). Aku cuma bilang,
sinting. Ilen ini adikku.
Si Didot cuma nyengir-nyengir aja sambil pesan kalau terdengar erangan
dan teriakan dari sebelah kamarku, mohon dimaklumi saja.
Dan bener. Tidak sampai sepuluh menit di dalam kamar, Ilen dan aku
sudah mendengar gedubrak-gedubruk dari kamar sebelah. Dinding kamarnya
tipis amat hotel ini.
Ilen hanya memandangku, membelalakan matanya, dan tersenyum
kepadaku.
"Hush! Anak kecil." Aku mendelik.
Seperti sudah kuceritakan tentang Ilen ini, anaknya emang mungil.
Tingginya paling-paling 155 cm, kulitnya kuning langsat khas Sunda.
Wajahnya manis.
Enno Lerian kalau gede mirip dia deh. Tidak ada yang istimewa,
kecuali dadanya yang 'ruar biasa'!
"Enak aja anak kecil."
"Emang udah gede?"
"Udah dong! Nggak lihat nih?" Dia menunjuk tubuhnya yang bersalut
kaos Esprit hitam, tepat arah dadanya.
"Lihat, lihat. Tapi khan itu bisa dibuat-buat. Jangan-jangan spons
kamu sumpalin di situ."
"Kurang asem."
Sementara itu dari kamar sebelah terdengar gerungnya Didot dan
erangan Sarita. Gila!!!
"Tambah seru tuh, Bang." Cekikikan Ilen terdengar.
"Udah jangan didengerin. Entar.."
"Apa? Kepengin?"
"Ileeeen. Bocor ya?!! Sana mandi. Cuci kepalamu biar
dingin."
"Iya deh. Aku mandi dulu."
Emang kemeriahan di pertandingan tadi bikin keringat lengket ke
badan.
Ilen ke kamar mandi. Sementara aku menghempaskan tubuh ke spring bed.
Ada dua tempat tidur di situ. Aku mengambil yang kanan. Lalu
kuraih HP-ku.
Mencoba menghubungi Srida. Kali ini ada jawaban.
"Hallo."
"Heeh." Jawaban dari sana ogah-ogahan. Suaranya serak. Mungkin sisa
tangis.
"Srida. Kenapa teleponnya tidak aktif terus?"
"Aku tidur."
"Emh. Kamu marah ya?"
"Tidak. Apa hakku buat marah?"
"Aku mau jujur deh. Tapi tidak bisa ditelpon. Bagaimana kalau Selasa
sore
kamu jemput aku di Gambir?"
"Nggak deh. Aku gak mau ketemu kamu." Telepon pun
ditutupnya.
Aku mangkel, marah. Kucoba telepon lagi, tapi setiap masuk terdengar
busy tone.
Srida benar-benar tak ingin dihubungi.
Mangkelku menjadi-jadi.
Di ruang sebelah masih terdengar lenguhan dan jeritan, juga bunyi
ranjang yang memukul-mukul dinding. Didot memang gelo'. Tapi aku gak
tertarik untuk menikmati suara-suara aneh di sebelah. Biarin
aja dia bertempur.
Perlahan-lahan mataku terpejam. Sesaat kemudian aku merasa telah
tertidur. Entah karena capek fisik atau lelah pikiran. Sebuah sentuhan
ringan membangunkan lelapku.
"Bang. Bang. Kok malah tidur? Nggak mandi dulu?" Ilen
membangunkanku.
Tubuhnya terbalut bathrobe yang kegedean. Seger banget
kelihatannya.
"Eh. Aku ketiduran." Melirik jamku, sudah tiga puluh menit
berlalu.
"Mandi sana. Kok wajahmu suntuk gitu?"
"Nggak. Cuma tadi aku telpon Srida, dia benar-benar memutuskan
hubungan
kami."
"Udah. Sekarang gantian, mandi! Guyur kepala dengan air dingin.
Hilangkan cerita Srida dari otakmu." Ilen melemparkan
handuknya kepadaku. Lalu gadis itu menuju meja rias. Duduk di kursi
kecil di depannya. Menatap kaca. Ada sesuatu yang lain yang kutangkap
di wajah yang terpantul di sana. Ilen menyilangkan kakinya, selintas
terlihat pahanya yang putih mulus. Otakku menjadi tegang. Selirikan
aku tahu dia sempat menangkap pandanganku. Tapi dia tidak bereaksi.
Aku segera berdiri dari tempat tidur. Menyilangkan handuk ke
pinggangku, sambil melepaskan 501 yang kupakai. Setelah itu
kubuka kemeja dengan lambang stasiun TV-ku. Terpampang jelaslah
dadaku yang bidang dengan bulu-bulu di sana, dan pahaku yang kekar
dan penuh bulu pula. Bulu-bulu hitam itu tambah kontras dengan
kulitku yang bisa dikatakan putih kecoklatan.
Saat melangkah ke kamar mandi, kusadari tatapan mata Ilen. Menelan
ludah.
"Kagum Len?" Godaku.
Dia hanya memonyongkan bibirnya. Matanya menyipit. Dengan gerak
seperti kilat kusambar bibirnya dengan bibirku.
"Gotcha!" Teriakku setelah menarik kepalaku.
Doi menyumpah-nyumpah.
"Sinting!!!"
Aku berlari ke kamar mandi.
Saat aku gosok gigi ada bau samar di sekitar wastafel. Bau yang khas.
Apa ya? Tapi aku tak ambil pusing. Langsung aku menuju ke bath tub,
tapi tidak mengisi airnya. Aku mau shower-an aja.
Sedang asyik-asyiknya aku ber- shower ria. Terdengar ketukan di pintu
kamar mandi yang terkunci.
"Bang. Sorry. Kebelet pipis nih." Terdengar suara Ilen.
"Benter." Aku mengecilkan shower.
"Gak kuat nih."
"Tapi aku bugil, Len. Gila kamu?"
"Gini deh, Abang buka pintu, lalu masuk kembali ke dalam bath tub.
Tutup tirainya. Aku sebentar aja. Bener nih. Nggak kuat
lagi." Ilen berteriak-teriak, "Aduuh.!"
"Oke, oke. Benter." Meloncat aku dari dalam bath tub, membuka kunci,
lalu
kembali ke sana. Kali ini kututup rapat-rapat tirai plastik yang
berwarna
putih. Agak terbayang sih, tapi gak kelihatan banget dari luar.
Ilen masuk, kuperhatikan masih memakai bathrobe -nya. Dia duduk di
toilet.
Langsung terdengar suara seperti gorengan dimasukkan ke dalam minyak
panas.
Dia tidak mengada-ada. Bener-bener pengen pis!
Kuusir lagi pikiran anehku. Lalu menghidupkan lagi pancurannya.
Membilas sisa-sisa busa sabun cair. Air hangat yang mengucur,
menghantam lembut kepala, tubuh dan kakiku. Enak banget. Terutama
di sela-sela selangkanganku. Ugh!
Sensasi itu terus terasa. Air yang mengalir itu membuat
kejantananku tiba-tiba terbangun. Tanpa sadar tanganku menyentuh
si buyung. Ugh! Tiba-tiba aku tersadar. Bau tadi! Bau yang tercium
samar di dekat wastafel tadi. Itu bau harum kewanitaan. Hah!
Ilen? Dia tadi masturbasi?
Mungkin. Mungkin dia tidak tahan mendengar suara dari kamar sebelah.
Bad girl! Nakal ya, Ilen sekarang. Pasti dia duduk di toilet,
memain-mainkan kelembutannya dengan tangan. Mengerang dan mengejang
sendirian. Bad girl! Membayangkan itu, adikku tambah mengeras. Ugh!
Sekonyong-konyong tirai disibakkan. Aku melompat, kaget.
Tanganku
kulepaskan sambil membalik badan.
Di hadapanku berdiri Ilen. Polos. Bathrobe -nya diletakkan di
wastafel.
Mata gadis itu menatap kejantananku. Reflek aku menutupinya. Tapi
kepalanya yang indah itu masih muncul dari sela-sela jemariku.
Ilen mengerakkan wajahnya, menyusuri tubuhku. Ke atas, ke perut,
dada, dan wajahku.
Tersenyum memandangku.
Sebuah senyum yang tak biasa kuterima darinya.
"Bang." Suaranya memanggilku serak. Kakinya melangkah menuju bath
tub.
Masuk ke dalamnya. Mendekatiku.
Sinar lampu kamar mandi menimpa tubuhnya yang polos. Memantulkan
pesona kemungilannya. Aku tak mampu berkata-kata. Hanya dapat
memandanginya.
Wajahnya, rambutnya yang sebahu, hidungnya yang bangir, matanya yang
kelam.
Lalu ke lehernya. Terus ke dadanya yang penuh, aku tidak tahu
ukuran pastinya, sebesar bola baseball kukira (ukuran berapa,
tuh?). Putingnya berwarna merah muda, menyembul keluar seperti karet
penghapus. Perutnya rata, tidak ada lemak di situ. Ke bawah
pusarnya terdapat sekumpulan anak-anak rambut, membentuk segitiga
kecil yang gelap. Kakinya yang langsing, betisnya.
Wangi tubuhnya mengambang di udara. Kejantananku tambah mengeras.
Ugh!
Kakinya melangkah ke arahku perlahan. Tiba di hadapanku, dia
meraih wajahku. Mengelus pipi, turun ke leherku. Aku mengerang
dibuai jemari lentiknya. Ugh!
Tangannya pindah ke dadaku, meraba dan menyentuhnya, bermain-main di
bulu dadaku. Memainkan puting susuku. Aku menghela
nafas. Ugh! Perlahan bibirnya tiba di pentil susuku,
mengecupnya. Lalu lidahnya menjilati, menghisap, menggigit pelan. Aku
melenguh. Ugh!
Wajahnya yang hanya sampai di dadaku, bermain-main di sana selama
beberapa
saat.
Tanganku yang tadi menutupi kelelakianku, sekarang
perlahan meninggalkannya. Yang kiri meraih belakang lehernya,
sedang yang kanan membelai punggung dan bokongnya naik turun. Lalu
keduanya meraih pantatnya.
Meremasnya. Mencubiti perlahan. Mengusapnya memutar. Pantatnya
sungguh ranum.
Terdengar rintihan kecil, keluar dari bibirnya yang
mungil.
"Uuh, Elang."
"Teruskan, Len. Mengeranglah."
Ilen mengerang lembut, nafasnya berpacu. Aku pun
demikian.
Setelah beberapa lama, lidah Ilen menyusuri dadaku, menuju ke bawah.
Lidah yang dingin dan lembut itu memutari pusarku.
Menggelitik-gelitiknya. Tak sadar aku menjambak rambutnya, tak tahan
dengan sensasi yang diberikannya.
She's really like a pro! Tangannya yang masih di dadaku, melakukan
gerakan menyentuh, mencubit, meremas, setiap lekuk tubuhku. Jemarinya
yang mungil meremas kedua belah pantatku, kemudian meraih
kejantananku. Aku mengerang, berteriak tertahan. Ugh!!!
She's unbelievable.
Jemarinya yang lembut memegang kejantananku dengan hati-hati. Meraba
setiap lekuknya. Ilen menggunakan kedua tangannya untuk mengenali
sudut demi sudut, memegangnya dengan penuh perasaan.
Matanya terpejam.
Walaupun dipegang dengan kedua tangannya, ujung kelelakianku masih
keluar.
Dengan ibu jari kanannya, dia melakukan gerakan memutar di situ.
Jiwaku terbang. Ugh!!!
Lalu wajahnya semakin turun. Dengan mata terpejam, Ilen menjilati
kepala adikku. Perlahan, dia memasukkan ke mulutnya. Terasa hangaaaat
sekali. Aku merasakan keringatku keluar, disapu air hangat dari
pancuran. Ugh!
Dengan ahlinya Ilen memaju mundurkan kepalanya, memutar lidah di
dalamnya, menggelitik kelelakianku. Setengah saja yang dapat masuk ke
mulutnya.
Kejantananku dikeluarkannya, lalu di kecupnya perlahan-lahan. Aku
merintih.
Ini sensasi yang luar biasa.
Sesaat kemudian aku rasakan dorongan dari daerah pangkal kelelakianku.
Aku lalu berjongkok, menatapnya. Ilen tersenyum. Matanya
redup.
Lalu kucium bibirnya. Kuhirup nafasnya. Lidahku bermain di rongga
mulutnya.
Ilen membalas. Damn, she's a great kisser too. Lidah kami saling
pilin di dalam mulutnya, lalu di mulutku, mencari setiap kenikmatan
yang dihantarkan indera pengecap itu.
Tanganku pun bermain ke payudaranya. Meremasnya, memilin putingnya,
satu persatu. Tubuh Ilen meregang. Dia mendesis.
Kami berdua berdiri tanganku kelingkarkan ke pinggangnya.
Merengkuhnya, membelit tubuh mungilnya. Ku angkat tubuhnya. Kakinya
menapak di pinggir bath tub . Kepalaku langsung berhadapan
dengan buah dadanya.
Kuciumi dengan lembut, kujilati belahan dadanya. Lalu hidungku
kutekankan di situ. Kuhisap uap tubuhnya. Sementara tanganku
meremas-remas bukit pantatnya. Air pancuran masih menderu.
Kucucup puting susunya, yang mengeras, berdiri tegak mengacung.
Dengan lidahku kusentil-sentil benda elastis itu. Ilen makin
meronta. Ekstase tampak pada wajahnya. Matanya telah kehilangan
bintik hitamnya, kuku tangannya mencakar punggungku.
Tangan kiriku beralih dari pantatnya, menuju kerimbunan rambut di
pangkal kedua kakinya. Ilen menggelinjang, ketika jari-jariku yang
kasar menyentuh sebentuk daging kecil di situ. Daerah kewanitaannya
telah basah. Terus kugosok-gosok clitorisnya, terkadang memilinnya
dengan telunjuk dan ibu jariku. Sementara payudara kanannya kugigit.
Ilen menjerit penuh nafsu.
"Ah. Elang. Abang. Nikmatnya.. Augh."
Tangannya menggapai-gapai. Yang kiri memegang palang besi tirai
penutup, sedangkan yang kanan meraih kejantananku. Mengusapnya,
mengocoknya. Aku pun merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Jari tengahku yang berada di daerah rahasianya mulai merasuk,
menuju ke dalam lobang kenikmatannya. Ilen menjerit, lalu di
tahannya dengan menggigit bahuku.
Jariku maju mundur di situ. Lobang sempit itu bertambah basah.
Jari tengahku berputar-putar di dalamnya. Ilen menegang. Badannya
mengejang.
Kurasa dia telah orgasme.
"Elang. Aku tak tahan lagi."
"Shhh, tenang Ilen. Nikmatilah. Bukannya ini yang kau
inginkan."
"Iya, iya.. Elang. Cumbui aku."
Kuremas pantatnya, dan Ilen pun terkulai lemas.
"Masukkan punyamu, Elang." Bisiknya meminta.
"Kamu yakin?"
Anggukannya menjadi jawaban.
Aku pun memegang kejantananku, mengarahkannya ke selangkangannya.
Ilen menjerit kembali, saat kepala senjata andalanku itu menyentuh
vaginanya. Kugosok-gosokkan sesaat di dinding luar kewanitaan gadis
itu. Dia meronta.
"Masukkan Elang. Masukkan." Teriaknya serak.
Kedua tangannya memegang palang besi di atas kepalanya. Aku
meraih pinggangnya. Lalu dengan perlahan, kuturunkan tubuhnya.
Kejantananku merasakan kehangatan kewanitaannya untuk pertama kali.
Ilen mendesah, lantas kemudian melenguh ketika badannya yang
ringan itu kugerakkan naik turun. Kakinya yang tadi terkangkang
lebar, saat ini telah melingkar, mencengkeram pinggangku. Terus
kumainkan kelelakianku di dalam vaginanya yang sempit dan halus. Lalu
mulai ada rasa memijat yang dirasakan oleh batangku.
"Oooh.. Oah, kamu luar biasa Ilen. Ooooh. Ugh!"
Ilenpun mengeracau, menikmati kekekaran yang menerobos lobang
kenikmatannya.
Sampai akhirnya kurasakan tekanan kakinya menjadi lebih bertenaga.
Membuat aku tak dapat lagi menaik turunkan tubuhnya. Dia telah
mencapai langit kenikmatan, pikirku.
Kubiarkan tubuhnya terkulai. Kugendong dia.
Air pancuran yang mengalirkan air panas kumatikan. Tinggal air dingin
yang menyirami kami berdua. Kutarik keluar kejantananku,
selintas membersihkannya dengan air pancuran.
Ilen menatapku tersenyum.
"Kamu memang hebat, Dayak!"
Aku cuma tersenyum.
"Mari. Puaskan dirimu. Perkosa aku." Katanya.
"Kamu belum lelah?"
Dia hanya menggeleng dan tersenyum.
Kusodorkan lagi kelelakianku di dalam relung kenikmatannya. Masih
sempit seperti yang tadi. Kuhunjamkan senjata lelakiku itu.
Perlahan-lahan, kemudian semakin cepat, semakin cepat. Ilen telah
mematikan pancuran.
Dingin, katanya.
Saat baru kudengar bunyi yang khas dari suatu persetubuhan.
Bunyi berkecipak kejantanan dikulum kewanitaan. Ah, kunikmati
alunan itu.
Kuhayati setiap tusukan dan tarikan, kuhayati erangannya, kuhayati
denyut demi denyut yang datang silih berganti, kuhayati pijatan
dari dinding kewanitaannya meremas-remas kejantananku. Ugh!
Sekian menit berlalu, Ilen telah menjerit dan mencakarku lagi. Tanda
dia mencapai orgasme yang kesekian. Ia menjerit-jerit, memanggil
namaku.
"Elang. Terus Elang. Terus. Tikam aku, robek aku. Perkosa aku!"
Ceracaunya.
Aku semakin terangsang dengan pekikannya. Layaknya pekikan perang
pemberi semangat kepada para ksatria. Tusukanku pun
semakin kencang.
Aaaagh! Tiba-tiba kurasakan desakan yang sangat hebat dari arah
kantung kelaminku. Aku tahu ini saatnya. Kutarik kejantananku. Ilen
sepertinya mengerti aku akan sampai dalam pendakian ini. Dia
mengarahkan senjataku ke wajahnya (aku sampai curiga dia kebanyakan
nonton VCD porno), menunggu semburan dari kepala kejantananku.
Dan, seumpama tendangan David Beckham, sumber kehidupan itu pun
kulepaskan.
Tepat di bawah matanya. Beberapa kali terlontar, mengotori wajah
Ilen.
Dengan lagak seorang profesional, Ilen menjilatinya.
"Jangan." Cegahku.
"Biarin. Aku suka. Mmmmh. Luar biasa Elang."
"Kamu juga."
Ilen menjilati sisa-sisa cairan putih kental yang menetes dari
kepala kemaluanku yang sekarang tidak terlalu tegang. Kulihat
urat-urat di sekitarnya mulai kembali berukuran biasa,
tidak sebiru tadi.
"Kamu memang hebat. Pantes. Pantes Srida tergila-gila. Pantas dia
sampai dua kali orgasme."
Mendengar nama Srida disebutkan, hatiku berdebar lagi. Sudah gila apa
aku, ya? Kemarin Srida. Sekarang lebih parah lagi, dengan Ilen.
Kemarin tidak sampai sejauh ini. Kemarin karena cinta, sekarang?
Biarkanlah!
Ini semua gara-gara Srida! (I think I have to blame it on
someone ) Elang! Dasar kamu. Aku memaki diriku. Teringat Venus yang
dalam hitungan hari lagi akan menjadi istriku. Dengan Venus saja kau
belum sejauh ini.
Sekarang? Dengan orang yang telah kau anggap sebagai adik sendiri.
Dasar!
Laki-laki tengil, badung! Kau memang petualang!
"Ilen. Kamu nggak menyesal?"
"Kenapa. Toh aku bukan perawan."
"Tapi khan."
"Jangan takut. Aku tak menuntut apa pun dari kamu, Bang. Aku senang.
Dan jujur, sekian lama kunantikan saat seperti ini. Apalagi mendengar
ceritamu dengan Srida. Aku boleh iri, khan. Jujur. Waktu sore, mandi
pertama aku sudah masturbasi membayangkan kamu."
"Aku tahu."
"Lho?"
"Bau yang khas itu tercium di kamar mandi, sayang." Aku mencium
pipinya.
Sedikit tenang mendengar komitmennya.
"Juga tadi. Saat di sebelah ada ribut-ribut. Aku iri lagi. Enak banget
kang Didot dan Sarita."
"Jadi aku ketempuhan nih?"
"Tapi senang khan?"
"Iya."
Ilen mendekatkan mulutnya ke telingaku, berbisik. Dia ingin
menghabiskan sisa malam ini dalam rengkuhanku. Aku hanya tersenyum
jahil dan menjitak kepalanya.
"Adikku ini."
Kami berdua pun ketawa.
Kami lalu keluar dari kamar mandi. Dan make love lagi. Dan sekali
lagi.
Subuh, setelah bangun tidur, kami mengulang kembali. Sedang
seru-serunya tempat tidur kami goyang. 6110-ku di meja
telepon berdering.
"Mmf. Biarin saja, Lang!"
Tapi itu nada khas yang kusetel untuk dua orang saja. Venus dan ...,
Srida.
Kuraih teleponku. Srida!
Kuletakkan jari manisku (yang bau 'itu'nya Ilen) ke depan bibir.
Meminta
Ilen diam. Ilen mengerti. Kepalanya menuju pahaku. Lalu mulutnya
mengulum kejantananku. Tak puas-puas kiranya dia.
"Ya, Srida."
"Aku jemput Selasa nanti."
Dan telepon pun dimatikan.
Aku hanya sempat bengong, geleng-geleng kepala. Ilen
mengalihkan perhatiannya.
"Srida?"
Aku hanya mengangguk. Menariknya dalam pelukan.
"Sampai di mana kita tadi?"
Kami pun kembali mendaki, menuju puncak kenikmatan.
(bersambung)

NAMAKU ELANG III
Sumber: CCS
Finished: Nov 19, 1999

Pukul sepuluh pagi selepas mengantarkan Ilen pulang ke rumahnya, aku
menelpon Srida di kantornya. Yang mengangkat Novi, rekannya satu
divisi.
"Hai, Nov."
"Hai! Gila, si Non kenapa tuh? Dari tadi pagi murem
aja."
"Emang iya?"
"He eh. Ngakunya sih keponakannya tambah parah. Tapi aku yakin, ada
sesuatu yang lain. Sebab malam Minggu itu dia telpon aku. Tahu nggak
jam berapa?
Setengah dua pagi! Gila. Doi girang banget. Cerita kamu dan dia
jadian.
Emang bener? But, tadi pagi ketika aku tanya soal kamu, doi
cuma memberengut. Ada apa Lang?"
"Panjang deh ceritanya. Ntar aku ceritain. Sekarang mana nona
itu?"
"Sebentar. Doi di meja gue, sedang download data. Dimana
nih?"
"Di Bandung."
"Gue sambungin ya."
Terdengar jingle iklan bank tempatnya bekerja, lalu telepon yang
diangkat.
"Hallo. ******** ******* (nama bank). Dengan Srida, bisa
dibantu?"
"Hai. Ini aku, Elang. Apa kabar?"
"Baik." Jawabnya malas, "Ada apa?"
"Mau bicara denganmu saja."
"Nanti saja. Aku pasti jemput kamu besok. Kereta jam
berapa?"
"Jam tiga."
"Oke. Aku tunggu kamu pukul 6 di Gambir. Sekarang aku harus
bekerja."
Katanya tegas.
"Nanti malam aku telpon ke Bintaro."
"Nggak perlu. Aku menginap di rumah Ria di Sahardjo."
Lalu tanpa ba bi bu lagi dia menutup teleponnya. Sikapnya yang biasa,
yang spontan. Aku hanya dapat menggaruk kepala yang tidak
gatal.
Tapi aku tahu dia berbohong saat menyatakan akan menginap di
rumah temannya.
Hari itu kuhabiskan dengan berenang di Cipaku. Lalu malamnya menikmati
/rif yang manggung di Fame.

***

Kereta tiba di Gambir telat, dengan buru-buru aku meloncat keluar.
Dengan memanggul ransel Levi's kuningku, aku nyaris berlari menuruni
tangga. Srida berada di sebuah kursi sambil membaca novel Danielle
Stelle. Dia mengenakan sack dress warna hitam dipadu blazer abu-abu.
"Hai." Sapaku.
Dia mengalihkan matanya dari bacaan, tersenyum malas
kepadaku.
"Kita pergi sekarang."
Kami pun melangkah.
"Kemana kita?" Tanyaku
"Terserah kamu."
Aku bingung, memang tidak punya tujuan yang jelas yang kurencanakan.
Aku hanya ingin berbicara dengannya. Kami naik taksi, masih belum
jelas hendak kemana.
"Kita ke Pharaoh saja." Kataku.
"Dimana? Apa itu?"
"Acacia Hotel. Tempat karaoke."
"Kita bukan hendak berkaraoke, Lang."
"Iya. Aku hanya mencari tempat yang enak untuk bicara. Terserah nanti
saja soal karaokenya."
"Terserahmulah."
Taksi pun menuju jalan Kramat Raya.
Di dalam taksi, Srida tidak banyak bersuara. Bungkam saja. Sesekali
dia menguap.
"Kamu mengantuk?"
"Tidak."
"Jangan berdusta."
"Sedikit."
"Kamu kurang tidur?"
"He eh. Kebanyakan ngobrol sama anak-anak."
"Bener?"
"Tak tahulah. Aku merasa susah tidur. Pikiranku buntu,
mumet."
"Kalau aku penyebabnya, aku minta maaf."
Dia kembali tersenyum malas.
"Begini deh. Kita jangan di karaokenya. Aku pesan kamar saja. Aku
tidak mengajakmu menginap. Aku yang akan menginap di situ. Setahuku
ada tayangan bola di sana. Kalau nanti kau ingin pulang, aku
akan antar, setelah segalanya selesai."
"Aku bisa pulang sendiri."
"Whatever."
Maka sesampai di Acacia Hotel, aku memesan kamar. Saat front
office-nya bertanya jenis kamarnya, aku memesan kamar dengan dua
tempat tidur. Biar lebih enak bagi Srida, pikirku.
Sesampai di kamar, kusilahkan dia mandi. Tapi dia menolak. Aku
tak memaksanya. Kami duduk di sepasang kursi, menatap keluar.
Kolam renang tepat berada di bawah kami. Aku menatapnya. Dia
mengalihkan pandangnya.
"Aku harus ngomong apa, Srida? Apa yang ingin kau
ketahui?"
"Lang. Aku hanya ingin kejujuranmu."
"Soal apa? Aku dan Venus?"
Dia mengangguk. Aku menghela nafas.
"Yang kau dengar dari Ilen benar, Srida. Aku memang telah
bertunangan dengan Venus. Kami akan segera menikah. Tapi."
"Mengapa kau tak berterus terang sebelumnya? Mengapa kau
memberikan kepadaku harapan?"
"Kau tidak bertanya. Lelaki tak pernah berterus terang Srida, terutama
jika tidak diminta."
"Kau berbohong kepadaku, Lang."
"Srida. Ini karena. karena, aku cinta padamu."
Dia menatapku tajam. Sambil mengeluarkan sesuatu, sebungkus
A-Mild.
Mengeluarkan sebatang, dan menyulutnya.
Aku tak tahu dia mulai merokok.
"Jangan menipuku, Lang." Asap mengepul dari mulutnya yang
mungil.
"Sungguh. Aku tak pernah mencoba berbohong padamu. Aku cinta kau.
Bukan saja sekarang, saat kita berjumpa lagi. Waktu kita masih kuliah,
aku sudah mencintaimu. Tapi kau tak pernah menanggapi, larilah aku
ke Venus. Dan, jujur, aku tak salah pula memilihnya."
"Kenapa kau tak berterus terang dahulu?"
"Kau yang tak menanggapinya, Srida. Ingat, berapa kali aku
menelponmu, mencari alasan untuk bertemu? Sayangnya Ilen tak pernah
mau membantuku."
"Kau dulu beda dengan yang sekarang, Lang."
"Itu relatif, segalanya bisa berubah. Toh, aku tak pernah menduakan
Venus.
Sejak 93."
"Dan sekarang? Denganku?"
"Kau berbeda, Srida. Aku mencintaimu sejak lama. Kau tak tahu
bagaimana senangnya aku waktu pertama kali kau
menelponku. Sumpah."
Srida menatapku, mencoba mencari pembuktian kata-kataku. Aku
menganggukkan kepalaku. Tersenyum.
"So, waktulah yang salah?"
"Ya."
"Aku tak mengerti, Lang. Sejak kita bertemu kembali, hatiku tentram.
Aku tak bisa mengenyahkan dirimu dari benakku. Makanya, saat Ilen
bilang kau telah terikat, duniaku serasa diputarbalikkan. Gelap."
"Jangan merasa seperti itu. Nanti akan ada orang yang lebih dari
padaku."
Ku julurkan tanganku, meraih tangannya, "Singkirkan rokokmu, Srida.
Tak pantas buatmu."
Kuambil rokoknya, lalu kumatikan. Setelah itu tangannya kembali
kugenggam, dia tidak menolak. Hatiku tambah tenang.
"Srida. Sampai saat ini pun aku masih mencintai kau."
"Jangan, Lang."
"Kenapa. Cinta bukan harus memiliki." Genggamanku bertambah
erat.
"Ya, kau benar. Cinta tak harus memiliki."
"Srida. Aku punya permintaan. Maukah kau bersamaku malam ini. Hanya
untuk sekedar bercakap-cakap, mengingat masa lalu?"
Dia tak menjawab.
"Please.. Aku janji tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh. Aku, aku
hanya ingin merasakan kembali saat-saat yang tak pernah kumiliki.
Masa yang harusnya dulu kita rasakan.. Please.."
Dia masih belum menjawab.
"Mau khan.? Please, Srida, please."
"Baiklah."
Jawaban yang sangat melegakan hati.
Sumpah, aku tidak punya keinginan macam-macam dengan mengajaknya
menginap.
Sesuai dengan ucapanku tadi, aku hanya ingin bersamanya di sedikit
waktu yang kami punya. Dan, aku berjanji dalam hatiku, tak akan
melakukan hal-hal yang tidak dikehendakinya.
Srida kemudian mandi. Keluar dari kamar mandi, dia telah memakai
piyama cendek, dari bahan kaos warna putih dengan motif bunga-bunga
biru. Tubuhnya memukau mataku. Dia tersenyum, melihat aku mengawasinya.
"Maaf ya atas pakaian tidurku ini."
"It's okay. You look georgeous."
"Thanks."
Kemudian aku mandi. Karena aku tidak membawa pakaian tidur satu pun,
aku kembali memakai celana jeansku dan t-shirt putih.
Lalu kami pesan makanan. Sop buntut, buah-buahan dan teh panas.
Semangkuk kami habiskan berdua, karena dia malas makan. Dan malam itu,
seperti bocah kecil, aku disuapinya.
Selepas makan, kami berbincang sambil menonton tv. Aku di ranjangku,
dia di ranjangnya. Pahanya yang putih terpampang jelas, karena dia
belum memakai selimut. Dia tidak merokok lagi karena kularang tadi.
Kami berbicara banyak hal. Dan anehnya, akhir-akhirnya pembicaraan
kami membuat kami semakin menyadari kalau aku dan dia masih saling
mencintai.
Bahkan di diriku, rasa sayang itu bertambah besar.
"Lang, pindahlah ke sampingku. Agar bicaranya lebih enak." Dia duduk
dari tidurnya.
Aku pun menurut. Yakin akan janjiku, aku pun berbaring di
sebelahnya.
Dia merebahkan kepalanya di bahuku, memelukku dengan lengannya. Aku
baru sadar kalau dia tidak memakai bra, kebiasaan semua gadis dan
wanita kalau hendak tidur. Tapi sungguh, itu tak
membangkitkan gairahku.
"Bicaralah, Lang. Apa saja."
Kami pun kembali bercakap-cakap, sampai suatu ketika, Srida mencium
pipiku, bibirku.
Aku menatapnya. Dia tak berkata-kata.
"Hei." Aku memperingatkannya.
Dia tertawa. Gemas aku melihatnya.
Lantas kurengkuh tubuhnya, kupeluk erat. Dia menatapku, matanya
meredup.
Kucium bibirnya. Dia tidak mengadakan perlawanan, malah bibirnya
membalas dengan penuh perasaan.
Kami terhanyut.
Tanganku bergerak aktif. Pikiran dan akal sehatku telah dibalut
nafsu hewani. Kusentuh dadanya. Memegang dan meremasnya perlahan. Nafas
Srida tak beraturan. Kuciumi pipinya, lalu lidahku telah bermain-main
di telinganya.
Srida memelukku erat. Satu tanganku menangkap bongkah
pantatnya, mengusapnya. Lantas ke selangkangannya.
Srida mengerang.
Baju piyamanya kubuka. Kini tampaklah tubuh bagian atasnya yang
polos.
Putih kemilau, berpendar oleh cahaya lampu kamar. Aku mencium
payudaranya, mulutku menggapai-gapai, bagai bayi mencari-cari puting
susu ibu. Tangan Srida mencengkeram rambutku yang sedikit gondrong
itu. Menekan kepalaku ke dadanya. Kuhisap payudaranya yang putih dan
harum itu. Srida mengerang.
"Elang."
Tanganku yang di pantatnya telah merayap, masuk melalui celah
celana pendeknya. Merasakan sisi panty yang dipakainya. Aku
bermain-main dengan pantatnya yang besar dan padat tersebut.
Aku tak tahan. Ingin segera menghangatkan tubuhnya dan
tubuhku.
Aku duduk, membuka bajuku, dan mulai membuka kancing
501-ku.
Saat itulah Srida menutup kembali piyamanya, mendorong tubuhku.
Lalu membalikkan badan membelakangiku.
"Srida."
"Kau ingkar janji, Elang." Katanya. Yang membuatku kaget, ada isak
tangis di situ.
"Tapi. tapi. kau yang memulainya."
"Aku hanya mengujimu."
"Mengapa kau menanggapi perlakuanku, Srida?"
Dia tidak menjawab, malah menutup wajahnya dengan
bantal.
Ku salah tingkah. Apalagi melihat badannya terguncang-guncang oleh
tangis.
Ooooh, apa yang terjadi. Beberapa saat yang lalu segalanya begitu
manis.
Shit! I was so stupid!
Aku berusaha menenangkannya dengan kata-kata. Tapi tak ada reaksi
darinya.
Aku semakin kebingungan. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke
tempat tidurku. Sesaat lama aku hanya dapat menonton tv tanpa
memperhatikan acaranya. Channel demi channel kuganti. Bingung!
Akhirnya kuambil rokoknya. Aku merokok. Bayangkan, aku yang sekian
lama memusuhi asap rokok kali ini merokok gara-gara perempuan bernama
Srida ini.
Gila! Aku masih mencoba menenangkannya, membujuknya. Tapi Srida tetap
tak berkata-kata.
Akhirnya aku menyerah, kupadamkan lampu tidurku, memejamkan mata.
Cukup lama sebelum aku jatuh tidur. Tak ada reaksi dari ranjang di
seberangku.
Brengseknya, aku tak dapat menonton partai Belanda malam itu.
Huhh!
Tapi ketika sekitar pukul empat aku terbangun, kurasakan kehangatan
tubuh seseorang memelukku. Aku kaget juga, masih antara sadar dan
tidak. Di mana aku?
Lalu aku sadari itu Srida. Dia masih tidur, memelukku dengan penuh
damai.
Aneh, kapan dia pindah. Aku sungguh tak sadar. Aku tak berani
bergerak.
Takut membangunkannya. Hanya kukecup keningnya.
Dia tidak bergerak sampai pukul setengah lima lewat.
Senyumnya terbit seiring fajar.
"Maafkan aku, Lang." Dia berbisik ke telingaku.
Aku hanya mengangguk.
Dia mengecup pipiku. Kali ini aku tak membalasnya, takut.
Ragu.
Kami setelah itu bercakap-cakap kembali. Mentertawakan kejadian
semalam.
Lalu kami mandi, dan sarapan di restoran. Bercakap-cakap
kembali.
Selepas itu, kami kembali ke kamar, bersiap-siap untuk ke
kantor.
Di kamar aku menyalakan televisi, di MTV Shania Twain sedang
menyanyikan You Still The One. Srida duduk di tepi tempat tidurku,
menyisir rambutnya yang ikal. Sinar matahari dari jendela memantul
di sekujur tubuhnya.
Sementara aku bersandar di dinding.
Aku menatapnya, mengagumi keindahan yang ada di atas bed cover
kuning gading itu. Sesaat lamanya aku tertegun. Ini adalah kali
terakhir aku akan bertemu dirinya.
"Elang." Suaranya membuyarkan lamunanku, "Cium aku untuk terakhir
kali."
Aku mendekati, membungkuk, dan mencium bibir Srida. Kupegang wajah
Srida dengan kedua tangan, seperti mengagumi objet d'art -karya
seni-. Srida memejamkan mata dan membuka mulutnya, mengecap lidahku.
Oh, pikirku, aku tak ingin saat-saat ini berlalu.
Srida meletak tangannya di punggungku, bertumpu di bahuku, kemudian
turun ke bagian bawah punggung. Ia menyelipkan jemarinya ke bawah
sabukku dan meletakkannya di sana, menikmati kehangatan dan
kelembutan bokongku.
Lidahku perlahan bergerak memasuki mulutnya, menjelajahi bagian dalam
mulut Srida, dan memegang wajahnya lebih erat.
"Srida," erangku.
Aku menikmati saat ini, kataku dalam hati, sangat menikmati.
Aku merasakan pikiranku akhirnya mulai menjauh dari rasa kesal
dan ketidakpastian. Kepalaku terasa ringan.
Tanganku perlahan mengelus lehernya, bahunya, kemudian memegang
payudaranya dari samping, lembut. Srida mengerang, tampaknya
merasakan kehangatan menyelimutinya, merasa terangsang.
Sulit dipercaya kalau ini benar-benar terjadi, pikirku. Sulit
dipercaya.
Aku membuka kancing atas blus, membelai kulitnya dengan hangat,
kemudian menciumi payudaranya.
"Mmmmph," erang Srida.
Srida menyelinapkan jemarinya ke balik underwear-ku, merasakan
kerasnya bokongku namun berkulit bagaikan beledu. Pada saat yang sama
aku meraih ke belakang punggungnya untuk membuka kancing blus Srida
yang lain, kemudian melepaskan branya, dan Srida terbuai. Aku
menanggalkan roknya dan membiarkannya jatuh ke lantai.
Pelan-pelan, sangat lambat, kepalaku bergerak turun sambil terus
menciumi perut Srida dengan panas, terus hingga ke bawah pusar
sambil melepaskan panty berwarna ungu Srida, dan.
"Elang," kata Srida, usaha sia-sia untuk mengontrol
diri.
Kepalaku bergerak maju mundur, kemudian naik turun. Srida
menggerakkan pinggulnya, sementara titik-titik kenikmatan yang
menggodanya semakin memuncak, menjadi gelombang tajam yang semakin
lama semakin kuat dan besar.
Tangan kiriku menyibak bulu-bulu halus di sekitar vaginanya, sementara
yang kanan meremas-remas payudaranya yang lembut tapi telah
mengeras itu.
Putingnya kupermainkan dengan ibu jari dan telunjukku.
"Mmmmmph." Srida mengerang lembut. Menendang lepas sepasang
sepatunya.
Lidahku menjilati sebentuk daging berwarna merah muda yang mencuat
dari balik lapisan vaginanya. Aroma lendir yang khas bermain-main di
hidungku.
Lendir itu telah bercampur dengan air ludahku.
Srida mengejang, pahanya dibuka lebar, mempermudah akses bagi lidahku
untuk keluar masuk di pintu lobang kenikmatannya.
"Mmmmph," erangnya lagi, "teruskan Lang, teruskan."
Tangannya menggapai rambutku, meremasnya dengan penuh
nafsu.
Lidahku mulai memasuki celah vaginanya yang sangat sempit, kedua
tanganku membuka tirai vaginanya, lalu kusodorkan lidahku, menjulur,
berputar-putar di situ.
Kurasakan cengkeraman tangan Srida di rambutku bertambah
kencang.
"Uuugh, uuugh, Elang, enak Elang, uuuugh, terus Elang, terus!" dia
telah tak sadar, meracau, berteriak-teriak penuh syahwat.
Kejantananku terasa sesak dalam jeans yang kukenakan.
Lidahku mengecap, suatu rasa yang tak dapat diungkapkan keunikannya.
Rasa wanita dewasa, rasa segala kenikmatan dunia.
Lidahku terus bergelung di situ, mundur maju membakar gairah wanita
ini, merasakan tekstur yang sungguh sensasional. Dia menjerit,
meraung.
Pinggulnya berputar, terkadang mendesak kepalaku. Seakan meminta
lidahku menggapai lebih dalam lagi. Tangannya tak lagi mencengkeram
rambutku, tapi telah mencakar seprai tempat tidur. Dengan mataku
kulirik, mulutnya menggigit ujung bantal, menahan jeritnya
agar tak lagi keluar.
Lalu tubuhnya mengejang, sesaat kurasakan pinggulnya terlempar,
menghantam wajahku dengan kelembutan bukit kemaluannya. Dia sudah
sampai di ujung keindahan seksual manusia. Bau kewanitaannya
semakin marak.
Mengetahui dia sudah menikmati permainanku, kutarik keluar
lidahku, menjauhkan kepalaku dari kewanitaan, sambil tetap memandangi
bentuknya yang sempurna. Kukeluarkan sapu tangan dari saku celana,
membersihkan lendir yang ada pada bibir dan hidungku.
Srida menatapku sendu.
"Elang.."
Aku tersenyum, dia membalasnya lemah.
Aku tak berhenti sampai di situ, kuciumi rambut kemaluannya,
menciumi pahanya, lutut, bagian dalam betisnya, lalu kembali
naik ke atas.
Bermain-main dengan lidahku di perutnya yang lembut seperti sutra,
lalu ke dadanya yang ranum merah muda, yang sekarang terdapat
titik-titik merah darah di sekitarnya. Tanda orgasme, begitu orang
bilang.
Aku menciumi lehernya, kemudian dagunya. Sampai akhirnya ke bibirnya.
Srida membalas, perlahan-lahan. Lidahku kumasukkan ke mulutnya
yang hangat.
Pertama ada penolakan darinya -mungkin sedikit jijik dengan sisa
lendir tubuhnya sendiri-, namun akhirnya pasrah. Lidah kami saling
pilin, simpul menyimpul. Kuhisap nafasnya. Kugigit pinggir bibir
bawahnya, dia mengerang.
Nafsunya tumbuh kembali.
Lidahnya dengan agresif melesak ke dalam mulutku, bergulat di situ.
Ciuman kami pun menjadi panas, keringat telah mengucur di seluruh
tubuhku. Baju kotak-kotak biru kecil yang kukenakan, terasa melekat
di bagian punggung.
Tangan Srida bergerak teratur, menuju bagian bawah tubuhku.
Meraba-raba bagian depan celanaku. Mengusap-usap kejantananku
yang meradang di dalamnya. Aku mengerang dan melenguh. Mulutku
disumpalnya dengan bibirnya yang manis. Lipstik yang dipakainya
telah belepotan di sekitar bibirku.
Tangannya terus mengusap-usap benda kebanggaanku itu. Semakin
panas kurasakan daerah perutku. Sesuatu seperti menggelepar di
lambungku, dan hentaman godam menyambar kepalaku. Apalagi ketika
jemarinya masuk, di sela-sela button fly celana Levi's-ku.
Aku sudah tak tahan. Ini harus kutuntaskan.
Aku berdiri, Srida pun duduk kembali.
Aku membuka sabukku dan membiarkan 501 kremku melorot, kakiku
kutarik keluar dari sepatu model Harley Davidson-ku.
Srida menatapku, bisa melihat tonjolan di balik underwear-ku. Dan
perlahan dia menurunkannya. Aku membuka kancing-kancing kemeja, lalu
melemparkannya serampangan.
Kelelakianku pun terlontar keluar. Srida menatapku, pandangannya
meredup.
Lalu dengan kedua tangannya, digenggamnya kejantananku. Dibelai,
diusapnya.
Kehangatan mengalir deras dalam perutku.
Kejantananku telah tegak bagai mercu suar di pinggir tebing,
mengacung.
Srida mencium ujungnya. Aku hanya dapat mengerang.
Dicucupnya pinggir-pinggir azimatku itu, diciuminya dengan penuh
perasaan.
Lututku serasa bergetar, menahan sensasi yang telah tak terperi.
Lidahnya menjilat-jilat, sementara tangannya mengurut lembut. Ke atas
dan ke bawah.
Ereksiku tambah sempurna.
"Uuuuugh.." Aku hanya dapat mengejan.
Sebelah tangannya mengepit lembut kepala kejantananku, sementara
lidahnya terjulur, berselasap, menembus lubang seniku dengan
ujung lidahnya.
Pastilah dapat dirasakanya lendir permulaan spermaku.
"Eeeegh."
Tangan Srida yang kiri telah berada di pantatku, meremasnya dengan
penuh gairah. Sementara yang sebelah lagi kembali
mengurut-urut batang kehidupanku. Lalu perlahan dan meyakinkan
mulutnya terbuka, menelan kepala kelelakianku, menghisapnya. Lidahnya
membelit, membelai. Aku tahu sulit baginya untuk menggerakkan lidah
dengan kegempalan urat yang ada di dalam mulutnya. Tapi dia
berhasil melakukannya, dan dia melakukan dengan fantastis.
Kepala Srida maju mundur, lututku pun seperti bergoyang. Bunyi
yang ditimbulkan gerakan pinggulku terdengar samar, ditimpali bunyi
kejantanan ku keluar masuk di mulut Srida, kantung sperma yang
menghamtam dagunya, dan lenguhan yang tidak beraturan. Demikian pula
nafasku.
"Aaaah.Aaaah.Aghh."
Nafsuku memuncak tinggi. Kuremas dan kujambak rambutnya.
Aku tersadar, kalau aku ingin memperpanjang permainan ini, aku
harus menahan ejakulasiku yang kuyakin telah bertengger di ujung
kelelakianku.
"Sssssh. time out dulu, sayang."
Ku rebahkan dia di atas tempat tidur, kuciumi bibirnya. Kutelusuri
tubuhnya kembali. Kami berguling, dia berada di atasku sekarang.
Kuciumi pipinya, lalu ke telinganya yang kanan, kumainkan lidahku ke
tempat yang sensitif tersebut.
Srida mengerang.
Kuremas-remas bukit kembarnya. Kupermainkan kedua putingnya.
Srida melenguh.
Kemudian kuangkat pinggangnya ke atas. Srida lalu berjongkok di
mukaku.
Sambil memeluk pinggangnya, lidahku kembali menggeluti clitorisnya.
Tangan Srida menopang tubuhnya, mengcengkeramnya. Seprai telah kusut
masai tak karuan.
Jari tengahku menyelisip, mencoba menguak lobang kenikmatannya. Srida
jadi semakin bernafsu. Teriakannya diredam sambil menggigit bibir
bawahnya.
Jariku sesaat merasakan sesuatu.
Astaga..., Srida masih PERAWAN?!!!!
Kutarik jariku yang nakal itu. Srida menatapku.
"Teruskanlah, Elang. Kenapa berhenti?"
"Kamu, kamu... Is it your first time ?" Aku bertanya tak
percaya.
Dia menatapku dengan mata sayu, "Lakukanlah. Aku ingin
menyerahkannya padamu."
Aku terkesima.
"Are you sure?"
Tak ada jawaban, hanya tubuhnya menggelosor ke bawah.
Kejantananku bersentuhan dengan keperempuanannya. Kini tiap jengkal
bagian muka tubuh kami telah bertemu dengan pasangannya.
"Lakukanlah, Elang." Dia berbisik di telingaku, "Lakukanlah demi
cinta kita."
Peperangan terjadi dalam bathinku. Sesuatu mendorongku untuk
tidak melaksanakan keinginan Srida. Tubuhnya perlahan kutolak.
Tapi dengan tangannya, Srida telah memasukkan kepala kejantananku ke
mulut rahimnya. Aku hanya terpana. Sesaat kurasakan sensasi
terindah dalam tubuhku. Menggeleparkan setiap syarafku, membakar
setiap sel dalam ragaku.
"Srida.."
"Do it Elang. Terimalah aku."
Aku pun tak dapat berbuat apa-apa, selain membiarkan insting
hewaniku bekerja.
Kugulingkan badan kami berdua, kini aku berada di
atasnya.
Dengan perlahan, kutekan pinggangku, mencoba untuk tidak menyakiti
Srida.
Terlontar jeritan kecil, ketika ujung kelelakianku melesak, merobek
dinding tipis keperawanannya. Terasa hangat darah kegadisan Srida,
mengalir di urat kelaminku.
"Aaaaah." Srida mengerang.
Pantatku memompa pelan. Pelan sekali. Dan lenguhan Srida mengiringi
setiap gerakanku.
Kucium bibirnya, kutekan. Lalu kemudian beralih ke
telinganya.
"Nikmatilah, Srida, sayang."
"Ya. Elang, ya, kunikmati kehangatanmu dalam diriku." Jawabnya
serak.
Setelah beberapa belas tekanan keluar masuk, lobang kenikmatan
Srida semakin lancar. Walaupun bibir vaginanya tetap tertarik saat
kejantananku ke arah luar.
Aku merubah posisi kami. Kubopong dia ke ujung ranjang. Lalu dengan
posisi aku berjongkok, kutikam lagi kemaluannya. Sekarang
senjataku dapat bertambah aktif mencecarnya. Lenguhan Srida semakin
ganas, seiring dengan bunyi nafasku yang berat. Terus kupompa
tubuhnya. Srida kini semakin ahli, dia mulai menggerakkan pinggulnya
memutar, mencari sensasi yang dapat dirasakan kami berdua.
"Uuuuugh. Kamu memang memabukkan Srida." Pujiku dengan suara
geram. Sebagai jawabannya kuku-kuku tajam Srida menancap di daging
punggungku. Bunyi berkecipak yang kami buat semakin cepat iramanya.
Aku menghatur nafas sekian detik. Kucabut kelelakianku dari sarangnya
yang lembut dan hangat itu. Srida mendelik.
"Sssshhh..., sebentar sayang, kau tak ingin ini segera berakhir
bukan?"
Dia mengangguk.
"Berbaliklah, cintaku."
Dia mengikuti perintahku.
Kutarik pinggangnya, membuat dia berada dalam posisi merangkak.
Lalu kusibakkan belahan pantatnya. Mendaratkan kepala kelelakianku
pada lobang vaginanya kembali. Ku setubuhi dia kembali. Tanganku
meraih payudaranya. Pinggulku menghantam pantatnya. Kami terus
berpacu. Keringat makin membanjiri tubuh kami berdua. Seprai telah
basah.
Srida terus menjerit. Orgasmenya terjadi entah berapa kali. Enaknya
wanita begitu, dapat merasakan kenikmatan yang menerpa
berulang-ulang. Sedang lelaki jarang ada yang dapat mencapai
orgasme berulang kali kecuali dia telah dapat mengamalkan petunjuk di
buku Pria Multi Orgasme yang terkenal itu. Dan aku mengakui, aku
hanya seorang yang bisa orgasme apabila telah ejakulasi. Aku tak
sesuper pria-pria tersebut. Aku harus beristirahat sejenak, sebelum
dapat mendaki kembali.
Kuberikan tanganku kepadanya, dia mengulum satu persatu
jemariku.
Sekian menit kami terus bersenggama dengan posisi ini.
Kemudian kami berguling berdua. Kucium bibirnya.
"Istirahat sebentar, sayang." Bisikku.
Tapi dia tak ambil peduli, langsung saja hendak melahap lagi
kemaluanku dengan vaginanya. Terpaksa kuatur strategi untuk tidak
mengecewakannya.
"Bersihkan punyaku, sayang." Kusodorkan seprei tempat tidur
untuknya.
"E..engh." Srida menggeleng. Dikulumnya kemaluanku. Sementara itu
belahan kewanitaannya diajukannya ke mukaku. Kulihat sisa darah
bercampur dengan lendir mengalir di pahanya. Kubersihkan
dengan sapu tanganku.
Kujilati vaginanya.
Sementara itu Srida telah melaksanakan tugasnya. Lidahnya kini
melakukan gerakan memutar di antara kantong kemaluan dan anusku.
Sesekali dikulumnya kantong spermaku yang cukup besar itu. Syarafku
bergetar, bulu kudukku meremang.
Kutepuk pantatnya. Dia mengerti, lalu membalikkan tubuhnya. Dengan
perlahan dia duduk tepat di atas kejantananku yang mengacung, keras
dan semakin membesar. Sempitnya kemaluan Srida kembali kurasakan,
menimbulkan sensasi pijatan-pijatan halus yang mengakibatkan
tubuhku bergetar. Srida melonjak-lonjak di atas tubuhku, seperti
seorang koboi di atas pelana kuda jantan liar dalam permainan rodeo.
Teriakannya berpadu dengan nafasku yang memburu. Sesekali pinggangnya
diputar. Kugenggam kedua belah pantatnya.
Oooh, aku tak ingin ini berakhir.
Aku merubah posisiku, menjadi duduk berhadap-hadapan dengannya. Dia
masih tetap bergerak liar, matanya mendelik ke atas. Suatu pemandangan
yang luar biasa, wajah seorang perempuan matang menggapai
kesempurnaan permainan cinta. Intercourse kami terus berlanjut
belasan menit dengan gaya itu.
Tubuhnya kupeluk, kurengkuh dengan kasar, saat kenikmatan dan
kerinduan tertumpahkan di tubuh hangatnya.
Oooh, sungguh kurindukan tubuh wanitanya.
Sebentar kemudian Srida telah sangat kelelahan. Aku lalu
membaringkannya.
Kucabut kejantananku. Membersihkan lendirnya dari kemaluanku. Kuambil
kedua kakinya, kubuat berselonjor di tepi ranjang. Lantas dengan aku
berada di bawah, dengan lutut menjadi tumpuanku, kutanamkan
kelelakianku kembali.
Ku gerakkan pinggulku maju mundur. Kebasahan kelaminnya membuat
bunyi kecipak yang sangat keras. Aku terus saja menghantamkan tubuhku
ke arahnya.
Srida meringis, agak kesakitan dengan kekasaran yang kuperbuat. Aku
terus mempercepat gerakanku, kantung spermaku memukul-mukul sela-sela
pantatnya.
Aku makin mempercepat hantaman di vaginanya. Srida
menjerit..
"Aku.aku.akan sampai sayang. Egh, ergh." Lenguhku.
"Letupkanlah, tanamkan di rahimku..Ah.ah.Elang.ah." sahutnya dalam
erangan.
Aku pun menekan pinggulku ke depan. Melesak di dalam kewanitaannya.
Lalu lahar kehidupan itu terpancarkan. Hangat, membara, mengisi
ruang-ruang kosong dalam rahimnya. Srida mengerang, aku melenguh di
tiap semprotan spermaku. Aaaaahg..
Lalu tubuhku menggelosor, menimpa tubuhnya yang berkilauan oleh
sinar matahari yang dipantulkan butir-butir keringatnya yang
harum. Kucium bibirnya, pipinya, keningnya.
"Terima kasih, sayang." Ujarku, "Aku cinta padamu."
Dia tersenyum manis. Senyum terindah yang pernah diberikannya
kepadaku.
"Aku pun cinta kamu, Elang. Sayang, cuma ada satu Elang. Itu pun
telah menjadi milik orang lain." Suaranya lirih terdengar.
Lima menitan kami berbaring berpelukan. Kubelai tubuhnya,
payudaranya.
Menatap langit-langit kamar yang kosong.
"Indahnya dirimu, sayang." Kataku.
Dia mengecup bibirku, lalu berdiri. Mengumpulkan pakaiannya yang
tergeletak dimana-mana. Mengedipkan matanya kepadaku,
sambil tersenyum.
"Kamu memang buas Elang. Kamu nakal."
Aku hanya tersenyum tengil mengomentarinya.
"Ini kejantanan Dayak, sayang."
"Aku terpaksa mandi lagi karena kelakuanmu."
Srida berlalu ke kamar mandi. Aku menyusulnya setelah melihat di jam
yang menempel di meja hias menunjukkan pukul setengah delapan pagi.
Kami mandi berdua, berpelukan dan berciuman. Sudah tak ada lagi waktu
untuk bercinta.
Kami berdua harus bekerja.
Seprei putih yang terkena tetesan darah kegadisannya kupotong 30
kali 30 centimeter, lalu kuberikan kepada Srida. Dia mengambilnya,
tersenyum penuh pengertian. Lalu dia membantuku menyembunyikan lobang
yang ada di bawah bed cover. [Untuk hotel Acacia, sorry!]. Sisa
kenangan yang sangat berarti buat kami.
Aku mengantar ke kantornya memakai taksi. Setelah itu minta
diantar ke stasiun Gambir. Kenapa? Karena aku mengaku pada supir
taksi itu aku dan Srida adalah suami istri yang berpisah tempat
kerja, aku di Bandung, dan dia di sini. Karena aku hendak tugas di
Kalimantan, aku akan naik Damri dari Gambir. Dari Gambir aku
naik taksi lain menuju kantorku.
Tiba di kantor, aku telah terlambat. Saat itu baru terasa
tulang-tulangku terlolosi, kehabisan tenaga. Di meja kerjaku, Margie
rekan kerjaku sedang makan indomie yang dipesan dari Tono, office
boy divisiku. Aku menjadi lapar. Kupesan juga indomie.
"Tumben terlambat, Lang? Bagaimana kabar Bandung? Gila? Kamu langsung
nih?"
"Iya. Kereta pertama tadi pagi." Bohongku.
"Aduh." Margie menjerit, ternyata matanya terciprat kuah pedas
indomie,
"tissue, tissue, tolong tissuenya Lang."
Aku tak melihat ada tissue di mejaku -karena aku tak pernah punya-.
Reflek kutarik sapu tangan dari saku belakangku. Kuberikan kepadanya.
Dia segera menghapus noda di wajahnya.
Aku tersadar, sapu tangan itu...
Tapi telah terlambat!
"Sapu tangan ini kok baunya aneh? Kayak..." Margie mentatapku
takjub, kemudian tawanya berderai-derai.
"Elaaaaang!...Gila kamu ya!"
Sebelum dia berteriak, kubekap mulutnya. Dia meronta.
"Ingat Marg, kita punya rahasia masing-masing." Kataku dengan
nada mengancam.
Dia berhenti meronta, lalu menatapku.
Sebelum mengembalikan sapu tanganku dia
membolak-baliknya.
"Edan, ada darahnya. Virgin, Lang?"
"Hush. Entar aku cerita. Kembalikan."
Dia menyerahkan slayer itu. Lalu tersadar, lantas menyumpah-nyumpah
dengan bergidik kegelian.
"Iiiih. Huek, aku mengelap mukaku dengan sisa. Huek..huek." Dia
melompat berlari meninggalkanku.
Aku tahu dia menuju toilet. Aku tertawa melihat gadis itu
menghilang di kamar kecil.
Kumasukkan kembali slayerku ke kantong, lalu berpikir untuk
menyimpannya di tas Levi's kuningku saja, bersama pakaian kotorku. Agar
tak ada korban sapu tangan itu lagi. Tentu saja tak akan pernah
kucuci, ini sisa-sisa kenangan yang luar bisa. Walaupun ada bau kuah
indomie, tak mengapa. Malah membuat kenangannya tambah nyata.
Sesaat kemudian Margie telah keluar dari kamar kecil. Matanya
melotot memandangku.
"Sorry, Marg. Sorry."
"Sialan lu. Tapi harum juga. Good f**king p***y."
Lalu kami tertawa bersama. Kupeluk tubuhnya penuh
persahabatan.
(mungkin bersambung ke Namaku Elang IV)

Gimana? Terusin apa jangan?
Aku juga punya cerita tentang Margie (rahasia kecil kami), kalau mau
aku akan menceritakannya. Dengan catatan apabila aku mendapat ijin dari
Margie.
Bye.
To Sweet Srida : "Terlalu manis, untuk dilupakan, walau kita memang
tak (lagi) saling cinta, tak kan terjadi..."[dari Terlalu Manis;
Slank].


NAMAKU ELANG IV
Sumber: CCS
Finished: Nov 19, 1999

Masa Kecil (Flash Back)
Aku dilahirkan di sebuah kampung kecil di pusat pulau Kalimantan.
Untuk menuju ke desaku, dari ibu kota provinsi, kita harus memakai
kapal yang di daerahku disebut motor bandung, selama tiga hari tiga
malam. Kemudian dari kota kabupaten, tempat kapal berlabuh, kita
harus berjalan kurang lebih delapan jam. Bayangkan saja jauhnya
kampungku.
Ayahku seorang kepala kampung, tapi jangan bayangkan kepala
kampung di
daerahku seperti kepala kampung di Jawa yang kaya-kaya. Aku anak
pertama
dari lima bersaudara, tiga cowok dan dua cewek. Selain kepala
kampung,
ayahku termasuk salah seorang panglima suku ----- (nama suku). Kami
tinggal
di sebuah rumah panjang, yaitu sebuah rumah besar dengan banyak kamar,
dan
tiang-tiang besar. Lantai rumah letaknya sekitar tiga meter dari
atas
tanah. Kamar-kamarnya terbagi beberapa bagian, ada yang untuk
anak-anak,
remaja putra, remaja putri, dan orang yang telah berkeluarga.
Kehidupan
kami sangat sederhana, maklumlah, kami tinggal di dalam
hutan.
Untuk ke sekolah di sebuah SD yang didirikan ----------- (nama
orang /
kelompok yang bertugas menyebarkan agama sampai ke pedalaman) saja, aku
dan saudara-saudaraku harus berjalan sejauh tiga kilometer. Tapi
kami senang
dapat bersekolah. Aku lumayan nakal dan badung, sehingga mendapat
gelar
"warik" dari paman-pamanku, yang artinya kera nakal.
Setelah aku naik kelas lima SD, aku mulai merasa kalau aku hanya
akan
sekolah sampai kelas 6 SD saja. Karena untuk sekolah di SMP aku
harus
meninggalkan kampungku. SMP hanya ada di ibukota kabupaten. Aku
sedih
sekali, karena aku ingin mendapat ilmu yang lebih tinggi lagi. Dan, aku
pun
merasa aku cukup pintar karena selalu menjadi juara kelas sejak di
kelas
satu.
Suatu hari aku mengatakan keinginanku untuk dapat melanjutkan
pendidikan.
Ayahku terdiam memandangku, lalu hanya berkata dia akan mencari
jalan
keluar untukku.
Tapi sampai aku sudah di kwartal akhir kelas enam, tidak ada khabar
baik
dari ayah. Tiap aku bertanya beliau hanya menyuruhku bersabar. Aku
mulai
bosan dan berhenti untuk bertanya. Ya, kurasa kesempatanku telah
habis.
Akhirnya aku lulus SD dengan nilai yang sangat memuaskan. Ayahku
hanya
memandangku dengan bangga. Aku menyimpan ijasahku baik-baik, walaupun
aku tak tahu akan jadi apa ijasah itu. Aku berpikir, memang jalan
hidupku harus
tetap di sini, di tengah hutan belantara ini bersama keluarga
besar
suku-ku.
Hari-hari kuisi dengan bermain dan membantu orang tuaku di ladang. Aku
pun
tidak berpikiran lagi untuk melanjutkan pendidikanku.
Musim panen datang. Ayahku dan pamanku ke kota menjual hasil pertanian
kami
yang tidak seberapa. Mereka membawa juga babi dan ayam, ternak
peliharaan
kami. Seminggu kemudian mereka baru kembali.
Saat ayah pulang, dia membawa oleh-oleh untuk adik-adikku yaitu
buku-buku
baru, sebab dua adikku masih sekolah. Aku memandang hadiah itu dengan
mata
berkaca-kaca. Bukan karena tak ada oleh-oleh untukku, tapi karena
aku
merasa iri. Aku tidak akan sekolah lagi.
"Maaf, Lang. Ayah tidak membelikan oleh-oleh untukmu." Kata ayahku
dalam
bahasa daerah kami, ----- (nama suku) Punan.
"Tidak apa-apa, ayah." Jawabku lirih.
"Ayah capek sekali, maukah kau memijatkan kaki ayah?"
Aku mengangguk. Kami pun menuju ke dalam kamar. Ayah menyuruhku membawa
tas pakaiannya juga.
Ayah pun berbaring tengkurap. Aku mulai memijitinya. Ayah memang
sangat
lelah setelah berjalan jauh. Ayah tertidur sambil terus
kupijati.
Saat aku merasa sudah cukup lama memijat ayahku, aku lalu berdiri
hendak
pergi.
"Lang. Mau kemana?"
"Eh, belum cukup ya, Yah?"
"Tidak, sudah. Enak." Ayahku tersenyum, "Mau kemana kamu?"
"Memotong kayu bakar, Yah."
"Kesini dulu." Ayahku duduk dan melambaikan tangan kepadaku,
menyuruhku
duduk di sampingnya.
Aku menurut. Ayah membelai kepalaku.
"Kamu marah kalau Ayah tidak membawakan apa-apa untuk kamu?"
"Tidak Ayah."
"Baguslah. Kau memang anak yang baik. Jubata (Dewa) akan senang
mendengarnya."
Ayah masih membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang.
"Coba kamu ambil tas Ayah tadi."
Aku bergerak, mengambil tas ayah.
Ayah mengeluarkan sebuah kantong plastik putih, mengeluarkan
sebuah
bungkusan kertas koran.
"Ini, bukalah."
Aku ragu-ragu membukanya, ayah tersenyum memandangku, lalu mengangguk.
Aku pun membukanya, dan .
Di dalamnya ada mimpi-mimpiku!
Dua pasang baju putih biru dan sepasang seragam pramuka
baru!
Mataku berbinar-binar..., menatap ayah dengan panjang tak
percaya.
"Elang, Elang bisa sekolah, Yah?" tanyaku terbata-bata.
Ayah mengangguk.
"Benar Yah?"
"Ya."
Aku senang sekali. Tapi kemudian terdiam.
"Tapi di sini tak ada SMP, Yah."
"Kau akan sekolah di kabupaten. Ayah bertemu seorang ------
(gelar
keagamaan) yang mau menampungmu."
Aku melompat, berteriak kegirangan.
"Aku sekolaaaah! Aku sekolah lagiiiii!!!"
Rumah panggung itu nyaris runtuh karena teriakanku. Beberapa
sesepuh
menjerit-jerit, ada pula yang marah.
Aku tak peduli, dengan menggenggam baju seragam baruku, aku berlari
keluar
kamar ayah, berlari di sepanjang rumah panggung keluargaku, lalu
turun
menggunakan tangga dari batang kelapa, berlari dengan gembira
menuju
halaman rumah panjang. Aku masih berteriak.
"Elang sekolah.! Elang sekolah lagi!!!"
Aku berlari-lari mengelilingi halaman, diikuti adik-adikku
yang
terheran-heran, namun membuntuti belakangku. Orang-orang yang
sedang
bekerja di ladang memandangku kebingungan.
Aku tak peduli, aku tetap berlari-lari.
Hore! Elang sekolah lagi!!!

Keesokan harinya ayah mengajakku ke kota. Perjalanan delapan jam
dengan
berjalan kaki itu tidak kurasakan lelahnya. Yang kurasakan adalah
lamanya
waktu. Aku ingin segera ke kota (aku belum pernah ke sana), aku
ingin
melihat sekolahku yang baru. Aku tak sabar lagi!
Akhirnya sampai juga aku di rumah ------ (gelar keagamaan) yang
akan
menampungku. Dia seorang laki-laki setengah baya berasal dari
Flores,
namanya Mar--- (samaran). ------ (gelar keagamaan) Mar--- orangnya
ramah, tinggal dengan seorang anak laki-laki yang lebih tua dua atau
tiga tahun dariku.
Ayahku pun meninggalkan aku di sana. ------ (gelar keagamaan)
Mar---lah
yang akan memasukkan aku di sekolah yang kebetulan dia menjadi
pemimpin
yayasannya. ------ (gelar keagamaan) itu pula yang meng-------kan
(nama
agama) aku dari aliran kepercayaan kami, suku ----- (nama
suku) .
Dengan sedikit rasa haru, ayah melepaskanku. Aku berjanji kepada ayah
untuk
rajin belajar.

Sejak hari itu aku tinggal dengan ------ (gelar keagamaan) Mar---.
Aku membantunya mengurus rumah dengan Di--, yang telah lebih dulu
tinggal di situ. Di-- anak ----- (nama suku) juga, hanya beda suku
denganku. Anaknya pendiam dan agak pemalu. Tingkah lakunya seperti
perempuan, begitu pikirku.
Aku menempati sebuah kamar dengan Di--, sedang ------ (gelar
keagamaan)
Mar--- di kamar lainnya yang letaknya agak ke belakang, di dekat
ruang
makan.
Hari demi hari berlalu, ayahku rutin mengunjungiku sebulan
sekali,
terkadang dengan ibuku. Untuk memberi uang dan oleh-oleh dari
kampung.
Aku gembira kalau ayah datang, karena aku rindu rumah. Namun tekadku
untuk
menjadi orang pintar dan berpendidikan menghapus semua itu. Tak aku
rasa
sudah hampir empat bulan aku tinggal bersama ------ (gelar
keagamaan)
Mar---.
Aku disuruhnya untuk selalu mengikuti sekolah ------ (nama hari) di
------
(tempat ibadah) kecil tak berapa jauh dari rumahnya. Aku mulai banyak
kenal
jemaat ------ (tempat ibadah) yang ada di sana. Beberapa orang sangat
baik
kepadaku, salah satunya keluarga Pius, yang bekerja di kantor pemda.
Mereka
sering memintaku membantu di rumahnya. ------ (gelar keagamaan)
Mar---
selalu memberikan aku ijin untuk membantu mereka. Pak Pius dan
istrinya
suka memberiku uang kalau mereka menyuruhku. Aku senang
saja.
Suatu malam, aku sedang tidur dengan Di-- di kamar kami. Di tengah
malam,
tiba-tiba kurasakan ada yang meraba-raba tubuhku, membuat aku
terjaga.
Perlahan kubuka mata, ternyata Di--. Tangannya menggapai-gapai,
meraba
setiap lekuk tubuhku. Aku kaget.
Tangannya semakin berani, berusaha menggapai kemaluanku.
Gila! Anak laki-laki ini hendak berbuat tidak senonoh
kepadaku.
Dengan sekuat tenaga kutendang dirinya. Tepat di selangkangannya.
Dia
menjerit. Aku berdiri. Di-- mengerang kesakitan.
"Ada apa, ada apa?" ------ (gelar keagamaan) Mar--- masuk ke kamar
kami.
Beliau menyalakan lampu di kamar. Memandangku yang berdiri tegak
dengan
mata marah, dan Di-- yang sedang meringkuk kesakitan.
"Ada apa Elang? Di--?"
Kami hanya diam. ------ (gelar keagamaan) Mar---
memandangku.
"Kamu apakan Di--, Lang?"
"Saya., dia meraba-raba saya, ------ (gelar keagamaan)."
"Dan kau tendang dia?"
"Ya."
------ (gelar keagamaan) Mar--- hanya menggelengkan
kepalanya.
"Saya tidak mau sekamar dengan Di-- lagi." Kataku.
"Lalu kau mau tidur di mana?"
"Biar saya tidur di lantai di ruang tamu." Kataku.
"Sudahlah. Malam ini kamu tidur saja di kamar ini, Di-- biar di
kamar saya."
Aku pun menurut, Di-- dipapah ------ (gelar keagamaan) Mar--- ke
dalam
kamarnya.
Setelah mereka berlalu. Aku berbaring diam di atas ranjang. Mataku
tak
dapat tidur lagi. Pikiran bocahku bertanya-tanya apa maksud
Di--
meraba-rabaku. Entah kenapa aku merasa jijik padanya. Walaupun aku
tak
mengerti, tapi aku merasa ada yang salah dengan hal itu.
Aku memang biasa melihat orang diraba-raba, waktu aku masih
tinggal di
rumah panjang. Terkadang juga suara-suara orang yang seperti
sedang
kesakitan. Tapi yang saling meraba itu (aku pernah beberapa kali
mengintip)
adalah pasangan suami istri. Paman-pamanku dan istri mereka. Dan
aku
menyenangi apa yang mereka lakukan. Tanpa kusadari terkadang aku
ereksi.
Tapi kali ini, mengetahui seorang lelaki merabaku. Aku merasa
jijik.
Aku semakin tak bisa tidur. Pikiranku kemana-mana, bertanya-tanya. Apa
ini?
Setengah jam aku tak dapat tidur, aku merasa haus. Segera aku
beranjak,
dengan berjingkat menuju ruang makan untuk mengambil minuman. Saat
lewat di
depan kamar ------ (gelar keagamaan) Mar---, kudengar tempat
tidurnya
berkereot-kereot. Aku acuh saja, pikirku lasak sekali tidurnya hari
ini.
Selesai minum aku kembali ke kamarku. Melewati kamar ------
(gelar
keagamaan) , suara kereot-kereot itu makin keras, dan
terdengar
rintihan-rintihan. Seperti rintihan yang beberapa kali kudengar di
rumah
panjang.
Rasa ingin tahuku memuncak, aku mendekati kamarnya. Telingaku
kutempelkan
ke pintu. Suara rintihan itu makin terdengar jelas. Dari lubang kunci
aku
mengintip.
Ya ampun! Pemandangan lewat lubang kecil itu membuat aku
negh!
------ (gelar keagamaan) Mar--- dan Di-- telanjang bulat, berciuman
dan
saling meraba. Kejantanan keduanya diadu. Aku mengintip terus
walaupun
merasa aneh. Ada rasa yang membuatku mual.
Setelah beberapa lama, mereka tidak berciuman kembali. Di--
menungging
dengan kakinya terbuka lebar. Lalu dengan tangannya Mar--- (aku
males
menyebutnya ------ (gelar keagamaan) lagi, dengan kelakuannya ini)
membuka
pantat Di--. Senjatanya di arahkan ke anus pemuda itu. Mereka
berdua
melenguh saat kejantanan Mar--- yang tidak terlalu besar itu
disorongkan ke
dalam lobang kotoran Di--. Aku hampir muntah!
Tapi aku masih terus memperhatikan perbuatan mereka.
Mar--- menggerak-gerakkan pantatnya maju mundur. Di-- mengcengkeram
seprei tempat tidur.
Keringat mengucur dari tubuh mereka. Wajah Mar---, yang kulihat
dari
samping, menegang, matanya melotot. Kontras sekali tubuh Mar--- yang
hitam
itu dengan Di-- yang kuning.
Mar--- terus memasuk dan mengeluarkan kejantanannya dari anus
Di--.
Saat dia akan mengeluarkan spermanya dia mengeluarkan kejantanannya
dan
semburan gumpalan putih itu menimpa punggung Di--. Lalu, Gedubrak!!!
Pintu terbuka.
Dorongan tubuhku telah membuat daun pintu terbuka lebar. Aku kaget!
Mar---
dan Di-- terlebih lagi.
Kedua laki-laki telanjang bulat itu memandangku. Aku membuang
muka.
Sesaat tidak ada yang mengeluarkan suara.
Sampai akhirnya, Mar--- tersenyum kepadaku. Senyum yang membuatku
mual sejadi-jadinya.
"Mau bergabung Elang? Saya ajarkan sesuatu untukmu."
Aku tidak menjawab, hanya membalik badan dan kembali ke kamarku. Salah!
Ini
semua salah!
Aku kunci pintu kamarku. Malam itu aku tak dapat tidur.
Sejak malam itu aku tak pernah menegur mereka. Aku selalu
menghindar.
Waktuku kuhabiskan di rumah Pak Pius. Aku tak bercerita kepada
mereka.
Waktu empat hari kemudian ayahku datang, dia kuceritakan. Kontan
ayahku
menyuruhku pindah. Tapi kami bingung harus kemana.
Aku ingat Pak Pius. Kami pun ke sana. Tanpa mengatakan ceritaku,
ayahku
memohon Pak Pius untuk mengijinkan aku tinggal di rumahnya. Pak Pius
mau
saja, tapi tidak ada kamar yang tersisa. Aku bilang, tidur di dapur pun
tak
mengapa. Aku pun akan mengabdi, menjadi pembantu di
rumahnya.
Untunglah Pak Pius mau menerimaku. Kebetulan dia tidak punya
anak
sebesarku, anaknya masih kecil-kecil, tiga orang.
Sejak hari itu aku tinggal di rumahnya. Aku pun tak pernah pergi ke
------
(tempat ibadah) Mar---, aku memilih pergi ke ------ (tempat ibadah)
yang
satunya lagi, yang jaraknya dua kilometer dari rumah. Pak Pius tahunya
aku
tak pernah lagi ke ------ (tempat ibadah). Biarlah.
Aku tak menyangka Mar--- yang ------ (gelar keagamaan) itu bisa
melakukan
itu, bukankah dia pemimpin agama di daerahku? Kenapa? Bukankah dia
harusnya
dapat menahan nafsu duniawinya? Bukankah dia hanya membaktikan
dirinya
kepada Tuhannya?
(maaf, kepada yang seiman, aku tidak bermaksud sara atau
menyinggung
kalian. Aku hanya menuliskan kenyataan. Mar---, sudah bukan lagi
'imam'
bagiku.)

***

Pak Pius dan ibu sangat baik kepadaku. Entah mengapa, aku disuruhnya
tidur
di sebuah kamar kecil, dengan pembantunya. Kali ini perempuan
berusia
sekitar 18 tahun.
Namanya Yani, gadis Melayu berkulit hitam manis. Dia sudah dua
tahun
tinggal dengan Pak Pius. Orangnya tidaklah cantik, tapi tubuhnya bagus.
Aku
memanggilnya Kak Yani. Dia baik dan suka membantuku. Ternyata dia
pernah
bersekolah sampai tamat SMP. Kerjanya membersihkan dan membereskan
rumah Pak Pius yang tidak terlalu besar, mencuci pakaian, dan memasak.
Hanya itu.
Sehingga waktunya cukup banyak untuk membaca. Dia suka membaca.
Terkadang novel-novelnya Freddy S, Abdullah Harahap, dan Montingo
Busye. Juga Nick Carter.
Aku tak diijinkannya membaca novel-novel stensilan itu. Dia
hanya
memberikan Kho Ping Hoo untukku. Aku tak protes. Mulai saat itu
aku
menyukai Pendekar Mata Keranjang dan sejenisnya. Setiap siang
sepulang
sekolah, sambil mengembalakan tiga ekor sapi milik Pak Pius, aku
membaca
Kho Ping Hoo. Sesekali aku ingin juga membaca novel lainnya, tapi kak
Yani
tak pernah mengijinkan aku menyentuh apa lagi membaca novel-novel itu.
Rasa
penasaranku pun bertambah.
Suatu siang sepulang sekolah, rumah tampak sepi. Kak Yani tidak
ada di
rumah. Sedang disuruh mengobras kain, kata Bu Pius. Aku pun makan.
Setelah
makan, aku beristirahat di dalam kamar. Saat mataku melihat lemari Kak
Yani
yang terbuka -biasanya selalu dikunci-, aku tergerak untuk mencari
novel
yang disembunyikannya. Beberapa buah novel ada di situ. Kuambil
Nick
Carter. Kubaca bagian depannya, aku memutuskan untuk tidak
tertarik
membacanya. Kubolak-balik halamannya, ada bagian yang ditandai.
Aku
tergerak untuk membacanya.
Degh! Jantungku berdebar kencang. Membaca halaman itu. Tertulis di
sana
cerita tentang Nick Carter yang sedang menyetubuhi seorang wanita
Rusia
-sayangnya aku lupa judulnya-. Aku terus membacanya, jakunku yang
mulai
tumbuh bergerak-gerak menelan ludah. Aku yang masih bocah terus
membacanya.
Muka dan kepalaku memanas. Tanpa sadar tanganku menggosok bagian
kelaminku.
Mengelus-elus si kecil yang telah bangun. Aku mulai merasakan
kenikmatan.
Tiba-tiba terdengar suara sepeda yang disandarkan ke
dinding.
Kak Yani!
Aku segera menyudahi keasyikanku. Kumasukkan kembali novel-novel itu.
Aku
tertarik untuk membacanya lagi nanti.
Pantes, pantes Kak Yani tak mengijinkan aku membacanya, pikirku.
Jahat,
masak cuma dia yang boleh tahu hal-hal semacam itu.
Aku pun keluar kamar, menyongsong dirinya. Kak Yani tampak
kepanasan.
Keringatnya mengucur, bau badannya santer tercium. Bau yang
membuat
kejantanan kecilku -saat itu masih kecil, khan- langsung tambah
kencang.
Bau tubuh Kak Yani memang aneh, agak-agak sangit. Tapi entah kenapa,
sangat
mengundang gairah lelakiku saat itu. (Nanti waktu aku mulai dewasa,
aku
malah akan membenci bau seperti itu. Bau kampung!)
Besok-besoknya aku tak pernah memiliki kesempatan untuk
menggerayangi
lemarinya. Kak Yani tak pernah lupa mengunci lemarinya. Aku tak
punya
keberanian untuk membongkar paksa.
Suatu malam, setelah aku kelas dua, setelah hampir setahun di rumah
Pak
Pius, aku sedang tidur dengan Kak Yani di sebelahku. Aku saat itu
berusia
hampir 14 tahun. Saat tidur aku merasa ingin kencing. Aku terbangun,
tak
tahunya tanganku ada di atas dada Kak Yani, sedang tangannya
menimpa
tanganku itu. Gadis itu sedang tidur dengan nyenyaknya. Pasti dia tak
sadar
kalau tanganku tanpa sengaja telah terlempar ke tubuhnya. Dapat
kurasakan
kehangatan dada perawannya. Jantungku berdebar-debar. Kejantananku
yang semakin matang terasa mengeras, apalagi karena aku memang ingin
kencing.
Ingat kalau aku ingin pipis, maka aku dengan perlahan mengangkat tangan
Kak
Yani dan menarik tanganku. Saat itulah kurasakan pentil susu Kak
Yani
mengelus punggung tanganku. Ternyata Kak Yani tidak mengenakan
bra,
-seperti kebanyakan gadis kalau tidur-. Seeerrr, darahku semakin
berdesir.
Segera saja aku berlalu ke kamar mandi. Pipis.
Waktu kembali ke kamar, posisi tidur Kak Yani telah berubah.
Kakinya
terbuka lebar, sedang kain yang dikenakannya tersingkap. Pahanya,
yang
walaupun sedikit gelap namun mulus itu- terpampang jelas
dimataku.
Samar-samar, dari sinar lampu templok dapat kulihat pangkal pahanya
yang
tertutup celana dalam putih. Samar-samar kuamati ada sekumpulan
rambut di
sana. Aku baru kali ini melihat hal seperti ini.
Jantungku berdebar kencang. Lama kupandangi selangkangan Kak Yani
sampai
dia mengubah posisinya. Aku naik kembali ke tempat
tidur.
Tapi aku sudah kadung tidak dapat tidur. Bolak-balik saja aku di
samping
Kak Yani. Memandanginya. Dadanya yang membusung turun naik ketika
dia
menarik nafas. Sepasang putingnya melesak dibalik daster tipisnya.
Entah
ide dari mana, pelan-pelan tanganku menyentuh dadanya. Mataku
kupejamkan,
berpura-pura seperti orang tidur. Ternyata Kak Yani tidak terpengaruh.
Dia
tetap tenang. Perlahan kutekan dadanya, tetap tidak ada reaksi. Aku
semakin
berani. Kusentuh lagi dadanya yang satu lagi. Benda lembut sebesar apel
itu
terasa lebih hangat.
Kejantananku menegang. Kuingat cerita Nick Carter yang kubaca
beberapa
waktu yang lalu. Aaaah, aku semakin deg-degkan. Suatu sensasi yang
aneh.
Antara rasa takut akan ketahuan dan kenikmatan meletakkan tanganku di
atas
dada seorang dara. Inilah pertama kali aku menyentuh dada seorang
gadis,
sepanjang umurku.
Aku tetap memegang dadanya, sampai aku tertidur dengan damai. Dalam
tidur
aku bermimpi. Aku dan Kak Yani berpelukan telanjang bulat di atas
ranjang
kami.

"Bangun! Lang! Sudah pagi." Guncangan dibahuku membuat aku
terbangun.
Memang aku harus bangun pagi. Mengeluarkan sapi dan menambatkannya di
kebun belakang rumah, lalu kemudian mengisi bak mandi. Karena selalu
mengisi bak mandi, badanku jadi berisi.
Kak Yani selalu membangunkan aku setelah dia memasak
air.
Aku memicingkan mata, menguceknya dengan tanganku.
"Huuuuaaaah." Aku menguap panjang, mengeluarkan bau
naga.
"Bau, tahu?!! Sana urus sapi." Kak Yani menepuk bahuku sebelum dia
bilang,
"Astaga., kamu ngompol ya, Lang?"
Aku kaget! Gak mungkin, gak mungkin aku ngompol! Aku memegang
celana
pendekku di daerah depan. Astaga, memang basah!
Aku ngompol? Aku tak percaya. Tapi memang celanaku basah sekali.
Hanya
saja, rasanya lengket. Baunya pun beda, seperti bau
akasia.
"Udah besar ngompol. Bikin malu saja." Kata Kak Yani.
Aku bersemu merah.
"Atau..," Kak Yani memandangku, lalu tersenyum lebar, "Kamu mimpi basah
ya,
Lang?"
"Mimpi basah?"
"Iya. Tanda kamu sudah dewasa." Dengan tangannya Kak Yani merasakan
kain
celanaku. Aku agak risih saat tangannya menyentuh
kejantananku.
"Benar. Ini memang mani." Kata Kak Yani. Lalu hidungnya mencium
tangannya,
aku agak heran.
"Mimpi apa kamu, Lang?"
"Mimpi." Aku ingat mimpiku, tapi lalu ingat bahwa aku mimpi dengannya,
"Gak
mimpi apa-apa."
"Ya sudah. Yang pasti ini menandakan kamu sudah besar. Sudah bisa
dapat
anak."
"Emangnya.?" tanyaku heran.
"Sudahlah. Nanti juga kamu tahu sendiri."
Aku berlalu menuju kamar mandi, membersihkan diri. Saat aku
kembali ke
kamar, Kak Yani menggodaku.
"Mulai sekarang, hati-hati bergaul." Katanya.
Aku tersipu malu.
"Dan, kamu tak boleh lagi tidur denganku." Katanya lagi.
"Iya Kak." Jawabku pasrah.
"Cuma bercanda. Masih boleh kok. Kak Yani percaya. Kamu masih kecil
dan
polos." Katanya.
Hari itu, 15 Januari 1980, aku telah menjadi 'dewasa'.
Siang itu aku pulang cepat dari sekolah, karena guru sedang rapat.
Aku
segera pulang. Sesampai di rumah keadaan memang sangat sepi. Aku
baru
ingat, kalau Bu Pius ada acara di pemda. Anak-anaknya dibawa semua.
Aku
menuju kamar. Saat menyimpan sepatu di samping kamar, aku mendengar
suara perempuan mengerang, mendesah-desah, yang keluar dari dalam
kamarku. Aku mengintip dari kaca nako.
Ya ampun! Yang kulihat di sana sungguh luar biasa, dan tak akan
pernah
kulupakan. Di atas tempat tidur, Kak Yani sedang mengenakan baju kaos
warna
jingga. Hanya itu saja. Tanpa apa-apa. Baju kaos itu pun tersingkap
bagian
atasnya, menampakkan dadanya yang kemarin malam aku
sentuh.
Langsung saja kemaluanku membesar, meradang di balik celana
seragamku.
Aku melihat Kak Yani memegang novel dengan tangan kanannya, sedang
tangan kirinya menggosok-gosok bagian rahasia tubuhnya. Dapat
kulihat bulu-bulu yang tumbuh lebat di sana. Mata Kak Yani
mendelik-delik, nafasnya terengah-engah. Aku melihat judul novel
yang dibacanya. Sampai saat ini masih kuingat. Judulnya Marisa,
pengarangnya Freddy S.
Kak Yani masih terus menggosok kemaluannya (saat SMA aku baru mengerti
itu
namanya masturbasi). Saat tangannya beralih meremas payudaranya,
terbukalah kewanitaannya. Saat itulah aku pertama kali melihat vagina
wanita dewasa.
Seeeerrr, kejantananku sakit sekali rasanya. Reflek kuelus
sendiri
kemaluanku. Rasanya enak, nikmat sekali. Suatu rasa yang tak pernah
aku
rasakan sebelumnya.
Aku masih terus mengintip, sampai akhirnya Kak Yani tampak
terlonjak-lonjak
dari tempat tidur. Erangannya berubah menjadi jerit tertahan. Aku
semakin
takjub. Saat gerakan liarnya selesai, aku merasakan sesuatu keluar
dari
kemaluanku.
Ooooh, cairan berwarna putih kental keluar dari kepala kejantananku.
Banyak
sekali, mengotori celanaku. Aku menyumpah-nyumpah. Saat itu
sikuku
menyenggol rak sepatu. Sepatu-sepatu terjatuh menimbulkan suara
berisik.
Tempat tidurku terdengar berderak. Kak Yani pasti sedang merapikan
dirinya.
Aku terdiam terpaku.
"Siapa itu?" Tak lama kemudian terdengar suaranya.
"Aku, Kak. Aku." Jawabku.
"Kau sudah pulang, Lang?"
"Ya, Kak. Guru-guru rapat."
Kak Yani keluar dari kamar. Telah memakai kain sarung. Aku menutup
bagian
depan celanaku yang basah dengan tas sekolahku.
"Barusan ya?"
"Iya Kak."
Tampak raut wajah Kak Yani berubah. Kelihatannya dia lega aku
tak
memergokinya.
"Ya sudah, ganti pakaian dan makan. Aku siapkan dulu."
Aku masuk kamar, lalu mengambil celanaku. Sedang Kak Yani ke dapur.
Kulihat
novel itu ada di atas meja. Kak Yani lupa menyembunyikannya. Setelah
aku
mengganti celana, aku meraih novel itu. Membolak-baliknya. Saat
kudengar
langkah Kak Yani, segera kuletakkan di tempatnya. Celana seragamku
aku
rendam di kamar mandi.
Aku menuju dapur, lalu makan bersama Kak Yani. Setelah makan, seperti
biasa
aku dan Kak Yani menuju kamar kami.
Kak Yani mengambil novelnya, hendak menyimpannya di dalam
lemari.
"Kak. Saya bisa pinjam nggak?"
"Ini? Ini bacaan orang besar."
"Tapi kan saya ingin tahu. Kelihatannya bagus. Saya belum pernah Kak
Yani
ijinkan membacanya."
Kak Yani menatapku. Lalu berkata; "Baiklah. Kita baca
sama-sama."
Aku nyaris tak percaya.
Kami pun duduk di pinggir tempat tidur. Mulai membaca.
Ceritanya mengenai seorang wanita bernama Marisa, yang liar dan haus
seks.
Ceritanya benar-benar vulgar. Kak Yani nafasnya tak teratur saat
membaca
bagian yang menceritakan permainan cinta Marisa dengan beberapa
laki-laki.
Aku memandangnya. Mukanya yang sedikit hitam bertambah gelap.
Nafsunya
kurasa.
"Lang. Sulit ya membacanya?"
Memang kami duduk berdampingan, dengan buku dipegang Kak
Yani.
"Ya."
"Kalau begitu, duduklah di pangkuanku."
Aku kaget, tapi tanpa berkomentar aku lalu duduk di atas pahanya.
Badanku
belumlah terlalu besar. Beratku pun saat itu belum sampai 40 kilo.
Walau
sedikit kesulitan, Kak Yani terus membaca.
Aku? Otakku sudah tak mampu lagi membaca. Pikiranku mendadak kosong,
ketika
punggungku menyentuh dadanya. Dapat kurasakan kehangatan
yang
dihantarkannya. Ugh!
Kak Yani pun kurasakan menggosokkan tubuhnya ke tubuhku, saat
halamannya
sudah sampai ke bagian seru. Aku menikmati saja. Kejantananku
meronta di
balik celanaku, yang saat itu belum terbiasa memakai
underwear.
Tangan Kak Yani yang kanan mencengkeram pahaku. Terkadang
mengelusnya,
terkadang mengusap sampai ke pangkal pahaku. Aku membiarkan
saja.
Kurasakan detakan jantung Kak Yani kencang, seirama dengan detak
jantungku.
"Berdiri sebentar, Lang."
Aku pun berdiri. Kak Yani membuka lebar pahanya.
"Capek. Kamu makin lama tambah berat. Duduk di sini saja." Dia
menunjuk
tepi tempat tidur, di antara pahanya yang terkangkang.
Si lugu Elang manut saja.
Kami terus membaca.
Kali ini sensasi yang kurasakan tidak hanya dada Kak Yani yang
menekan
punggungku, juga sebentuk gundukan hangat di pangkal pahanya
menyentuh
pantatku. Otakku terbakar!
Tangan Kak Yani pun tetap meraba pahaku. Dengan ragu-ragu, kuletakkan
pula
kedua tanganku di pahanya. Dia tidak melarang. Aku coba
mengusapnya,
seiring dengan usapannya di pahaku. Dia tidak melarang. Naluriku
menyuruhku
untuk menekan punggungku ke dadanya. Dia tak melarang. Malah
tangannya
mulai menyentuh kejantananku, memegang batangnya. Aku menahan
nafas.
Aku tak bereaksi seperti saat Di-- -bangsat itu- mencoba menyentuhku.
Aku
kali ini menikmati sentuhan perempuan dengan tangannya yang lembut
ini.
Tangan kak Yani tetap mengelus dan meremas kejantananku dari balik
celana.
Tanganku pun bereaksi lebih berani, meremas pahanya yang kiri dan
kanan.
Tekanan dada Kak Yani, beradu dengan tekanan punggungku. Saat ini
aku
merasakan puber yang sebenarnya.
Saat tangan Kak Yani mencoba meraih resleting celanaku, terdengar
suara
motor bebek memasuki halaman rumah.
Bu Pius pulang.
Serentak kami berdiri. Berpandangan. Aku salah tingkah. Kak Yani
merapikan
bajunya.
"Sana. Urus sapi." Usirnya kepadaku.
Aku pun menurut. Waktu mengambil rumput sapi aku memikirkan semua
yang
terjadi, segalanya begitu fantastis. Pengalaman yang tak pernah
kudapat
sebelumnya. Aku mengharapkan segalanya akan terulang
kembali.
Tapi Kak Yani tak pernah mengajakku membaca bersama lagi. Aku tak
berani
bertanya kepadanya. Malu.
Namun pengalamanku hari itu dengan Kak Yani membuat aku tambah
penasaran mengenai seks. Aku ketagihan. Malam-malam, kalau Kak
Yani tidur, aku menjelajahi tubuhnya. Dan untungnya, Kak Yani itu
kalau tidur seperti orang pingsan. Sulit sadarnya. Jadi aku bisa
bebas menyentuh dada dan kewanitaannya. Walaupun masih terhalang
oleh pakaiannya. Tapi aku cukup puas.
Sekali waktu, dengan berpura mengigau, aku merangkak di atas
tubuhnya.
Hati-hati sekali aku tiarap di atasnya. Mukaku tepat di antara
bukit
kembarnya, sedang kejantananku tepat di kewanitaannya. Aku menikmati
saat
itu. Sensasi yang kurasakan bertambah dengan rasa takut
ketahuan.
Kejantananku menekan kemaluannya, tergadang kugosok-gosokkan. Kak
Yani
tetap tak sadar. Setelah belasan menit melakukan itu,
kejantananku
menyemburkan spermaku. Membasahi celanaku, juga sedikit membekas di
daster
Kak Yani.
Paginya aku takut-takut, kalau-kalau Kak Yani tahu ada sisa
sperma di
dasternya. Untung sisanya telah mengering.
Sejak malam itu, setiap malam aku melakukan hal itu. Terkadang kupikir
Kak
Yani tahu, tapi dia membiarkan saja. Masalahnya aku pernah merasa
bagian
bawah tubuhnya berdenyut-denyut saat kutimpa, dan tangannya -seperti
orang tidur biasa- merangkulku, dan detak jantungnya keras dan cepat.
Karena dia tidak pernah menyinggung hal itu, aku biarkan saja.
Sampai satu hari kudapati Kak Yani muntah-muntah di kamar mandi. Bu
Pius
mencemaskan keadaannya. Dengan segera Bu Pius membawanya ke dokter.
Kabar yang dibawanya dari dokter membuat seisi rumah
tersentak.
Kak Yani hamil dua bulan!!!
Bukan, bukan aku yang melakukannya! Mana bisa. Kami tak pernah
bersetubuh.
Lalu siapa? Pak Pius? Bukan, beliau orang baik -sampai sekarang aku
selalu
mengingatnya, ayah angkatku itu-. Jadi siapa?
Ternyata yang melakukannya pacar Kak Yani. Anak buah Pak Pius di
kantor
pemda. Rupanya, kalau Pak Pius bekerja dan Bu Pius ada acara Dharma
Wanita,
si Udin itu selalu datang.
Dan akhirnya Kak Yani pun menikah, lalu berhenti kerja.
Tinggallah aku sendiri. Pak Pius tak pernah mengambil pembantu lagi.
Tiada
lagi teman tidurku. Hanya aku dapat warisan dari Kak Yani. Apalagi
kalau
novel-novel erotiknya.
Sampai di sini cerita masa kecilku. Karena tak ada lagi
pengalaman
-seksual, maksudku- yang berarti selain itu. Aku memang punya pacar,
tapi
biasa-biasa saja. Tidak ada yang harus diceritakan. Pacarannya pun
tanpa
cium dan sejenisnya. Namanya juga cinta monyet. Jadi kisah masa
kecil
sampai di sini saja.

***

Masa Remaja

Saat semester pertama kelas tiga SMP, Pak Pius mendapat mutasi ke
ibukota
propinsi. Dia menawarkan aku untuk ikut. Katanya akan mudah
bagiku
melanjutkan pendidikan kalau aku ikut dengannya. Setelah mendapat
ijin
orang tuaku, aku pun meninggalkan kabupaten terpencil itu untuk
pindah ke
kota yang lebih besar. Pak Pius pun telah berjanji untuk
menjagaku.
Keluargaku percaya, karena Pak Pius telah menjadi ayah
angkatku.
Aku takjub dengan suasana kota besar.
Kami tinggal di sebuah rumah, milik keluarga Bu Pius. Tetangga kami
seorang
adik Bu Pius. Namanya Martha. Usianya 34 tahun. Tapi walaupun adik Bu
Pius,
dia tidak seperti Bu Pius. Bu Pius memiliki bentuk tubuh yang
bagus,
langsing. Sedangkan Tante Martha sangat gemuk. Kupikir tubuhnya
kelebihan
berat sekitar 30 kilogram. Tapi ada satu yang tidak dimiliki Bu Pius,
yaitu
buah dada yang sangat besar.
Benar. Payudara Tante Martha sangat besar, sebesar pepaya yang
sekiloan
deh. Besar khan? Dan entah kenapa, aku 'suka' dengan payudaranya
itu.
Tante Martha pun baru saja menempati rumah itu ketika ibunya
meninggal
dunia tahun lalu, dan karena dia tidak menikah, dia pun pindah ke
sana.
Tante Martha selalu memiliki wajah sedih, kesepian kurasa. Tante
Martha
bekerja di sebuah perusahaan agen wisata, tapi saat ini dia hidup
dari
peninggalan ibunya. Dia juga memiliki rumahnya -yang dulu
ditempatinya-,
yang dikontrakkannya. Tabungannya banyak, didapat dari
warisan.
Semuanya dimulai ketika satu hari aku merasa dia sangat kesepian,
seperti
aku yang belum punya banyak teman. Kubawa seikat kembang yang
kukumpulkan dari halaman belakang.
(Aku suka mengunjunginya setelah membereskan rumah. Dan dia
mengajariku
untuk menyetir mobil. Sering kali aku dipinjamnya untuk
mengantarkannya
kemana-mana.)
Saat aku memberikannya, dia memelukku dan mencium
pipiku.
"Kau memang keponakan yang baik, Lang. Terima kasih atas bunganya.
Indah
sekali."
"Tante tidak perlu berterima kasih. Elang senang dapat membuat
Tante
tersenyum. Tante jangan merasa kesepian, khan ada saudara Tante
sekarang."
"Ya, Elang. Kamu benar. Ada Anna dan Pius, ada keponakan-keponakanku,
dan
ada kamu, Elang."
Dia memelukku lebih kencang, dan untuk pertama kali aku merasakan
dadanya
yang besar saat ditekankan di dadaku. Setelah itu, aku tanya apa dia
mau
jalan-jalan. Dia bilang tidak, dia hendak nonton film saja. Dia ada
menyewa
video. Dia juga merasa lelah dan ingin istirahat.
Jadi kami pun nonton film. Judulnya masih kuingat sampai sekarang,
Kabut
Bulan Madu. Kisahnya mengenai pasangan pengantin baru, seorang
suami
impoten, istri yang penuh gairah. Saat suaminya pergi ke Amerika
untuk
berobat, si istri sering jalan-jalan ke villa mereka di luar kota.
Suatu
saat istrinya bertemu dengan seorang penjahat insyaf yang melarikan
diri
dari kejaran teman-temannya. Mereka bercinta. Istri tersebut
menyerahkan
keperawanannya kepada pelarian itu, mereka menjadi sepasang kekasih.
Lalu
ketika persembunyian mereka diketahui teman-teman kekasih gelapnya,
wanita
itu mereka perkosa. Akhir cerita dikisahkan sang suami -yang sudah
sembuh-
menerima kembali istrinya walau bukan dia yang dapat
memerawaninya.
Aku sangat terangsang melihat adegan-adegan tersebut, yang memerankan
sang istri adalah seorang artis yang sungguh sexy. Sayangnya aku lupa
namanya.
Adegan dia diperkosa membuat kejantananku meronta-ronta di balik
celana
pendekku.
Waktu nonton, Tante Martha dan aku duduk di lantai, bersandar di sofa.
Kami
saling berdekatan, saling menyender satu sama lain. Tapi kemudian
dia
menarik kepalaku untuk berbaring di pangkuannya. Saat adegan
percintaan
pertama antara si istri dengan si pelarian itu, dia tampaknya
mengetahui
kejantananku yang menegang.
"Kupikir, ini drama yang tak boleh ditonton anak-anak. Tapi kau sudah
cukup
besar untuk mengerti hal-hal seperti ini. Kau sudah punya pacar,
Lang?"
Aku hanya bisa bergumam; "Bel., belum Tante."
Dia menarik kepalaku lebih dekat ke perutnya dan melanjutkan menonton
film
itu, berlagak tidak ada apa-apa. Lalu, ketika adegan mengenai
pemerkosaan
itu, aku sudah sangat terangsang, aku menegakkan punggungku dan melihat
dia
sedang menatapku, aku duduk dan tak tahu bagaimana mulainya, kami
mulai
berciuman, sebuah ciuman yang penuh gairah. Lidah kami saling
bergulung.
Aku tak tahu belajar dimana, tapi sepertinya aku sudah mengerti apa
yang
harus kulakukan. Bibir kami menari dengan irama yang indah, tangan
kami
memegang wajah masing-masing, saling menekan.
Kami berdua berbaring di lantai, aku berada di atas tubuhnya. Aku
mencoba
menciumi lehernya yang harum, tapi dia menarikku kembali dan memaku
bibirku
dengan lidahnya. Aku gunakan tanganku untuk menjelajahi tubuh
bagian
bawahnya. Kuraih buah dadanya yang besar dan meyakinkan diriku bahwa
kedua bukit -apa gunung?- ini sungguh besar. Nyaris sebesar
kepalaku. Lalu aku menyelusup ke balik blusnya dan merasakan
permukaan kulitnya yang halus.
Tanganku terus ke atas, menemukan payudaranya, aku meremasnya dan
bermain dengan kelembutannya. Saat kusentuh putingnya dia
mengeluarkan erangan erotis. Dia melenguh dengan penuh
kegairahan. Dia membuka blusnya, menunjukkan kepadaku payudara
yang paling besar dan paling bundar yang pernah aku lihat. Bagian
lingkar putingnya yang kemerahan berukuran 6-7 centimeter, lembut,
kontras dengan kulitnya yang putih. Putingnya sendiri sebesar jempol
tanganku.
"Ayo Lang, buat aku merasakan gairah untuk pertama kali setelah
sekian
lama, tunjukkan kalau tantemu yang malang ini dapat membuat kau
terangsang
juga."
Aku menurunkan wajahku dan langsung menggapai 'pepaya'nya, aku
menggunakan kedua tanganku untuk meremas satu payudaranya dan
membuka mulutku sebesar-besarnya untuk menghisap seluruh lingkar
putingnya. Lidahku menyentil putingnya yang lembut, sedangkan otot
mulutku menciptakan sensasi di wilayah dadanya. Dia pasti melihat
wajahku yang sangat menikmati payudaranya, sehingga dia menarik
payudaranya yang satu lagi dan menghisap putingnya dengan mulutnya
sendiri.
Aku menarik kepalaku setelah beberapa saat menyusu padanya dan
berlutut.
Tante Martha menyadari tonjolan di celana pendekku. Aku membuka kaos
yang
kupakai dan berniat untuk menyerang kembali payudaranya, tapi
dia
menghentikan kepalaku dengan meletakkan tangannya di dadaku.
Matanya
terpaku pada kejantananku yang masih bersembunyi dengan pandangan
penuh nafsu dan gairah, membuatku merasa cairan awal spermaku keluar
dari ujung kelelakianku, menempel di celanaku.
"Oh Elang sayang, aku tak percaya kalau seorang perempuan sepertiku
dapat
membuat kelelakianmu menjadi sangat besar dan mengeras."
"Dan aku tak percaya bagaimana pemuda sepertiku tidak sadar akan
cantiknya
Tante." Aku tak tahu dari mana kudapat kata-kata seperti ini. Aku
hanya
ingin memujinya, merangsangnya dengan kata-kata.
"Kita ke kamarku, sayang. Aku ingin kita bercinta, aku ingin kau
membuatku
mengerang, menyenangkanku."
Aku berdiri dan membantunya pula. Kuambil pakaian kami berdua dan
mematikan
TV dan video; aku baru tahu filmnya sudah habis beberapa saat yang
lalu
tanpa kami sadari. Kami bergandengan tangan dan berjalan menuju
kamarnya.
Kamar Tante Martha di tingkat dua.
Saat kita sampai di kamarnya dia langsung mengunci pintu dan
menciumiku
sejadi-jadinya. Setiap kecupannya merupakan bara dalam dirinya,
membakar
hatinya menanti saat-saat untuk meledak. Dia mencengkeram pantatku
dan
menarikku lebih dekat kepadanya. Dapat kurasakan dadanya yang luar
biasa
itu menekanku, dari dada sampai ke batas perutku. Kejantananku
menekan
miliknya.
"Sudah tiga tahun aku tak pernah bercinta, dan aku tak dapat
menunggu
semenit pun juga. Ayo Lang, puaskan tantemu yang malang
ini."
Aku menidurkannya di ranjang, lalu membuka rok dan panty-nya. Saat
itulah
kulihat rambut pubisnya yang menggumpal, banyak sekali, liar dan
menjalar
kemana-mana, hitam pekat. Dia pun tak kalah gesit. Ditariknya ke
bawah
celana pendekku dan langsung menggenggam kejantananku. Inilah
saat
kejantananku, polos, di pegang untuk pertama kalinya oleh orang lain.
Aku
merangkak di atas tubuhnya dan menempatkan diriku di antara pahanya.
Dia
menuntun kejantananku menuju ke pintu kewanitaannya. Kepala
kelelakianku
yang keras menekan klitorisnya yang juga menegang. Aku menggosoknya
dengan kepala kejantananku. Kewanitaannya telah basah. Saat aku mulai
memasukkan kejantananku, dia mengerang.
"Ooooooh."
Tante Martha lalu menekan tubuhku ke arahnya, kejantananku makin
masuk ke
dalam tubuhnya. Akhirnya, dia berhenti menekanku. Bibir bawahnya
tampak
digigit. Tangannya menggenggam bokongku dan menarikku. Seluruh
kelelakianku
memasuki kewanitaannya, sebuah tusukan panjang, masuk
perlahan-lahan.
Kewanitaannya yang besar terasa cukup rapat, dia menahan tubuhku
beberapa
saat, dan kemudian dia membuka kakinya lebih lebar, menarikku lebih
rapat
kepadanya.
"Ayo sayang, biarkan aku merasakan dirimu sedalam-dalamnya
mengisi
tubuhku."
Setelah beberapa detik, dia membungkuk. Memberikan tanda bagiku. Aku
seolah
tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mulai menaik turunkan
tubuhku,
memompa. Pertamanya perlahan, sampai kehangatan yang mengurung kami
membuat aku mempercepat gerakanku. Berada di atas tubuhnya membuat
aku merasa sangat nikmat. Tubuhnya seolah dapat menyesuaikan diri
dengan anatomiku dan membuatku merasa sangat nyaman. Kakinya membungkus
tubuhku, pahanya meremas tubuhku. Dadanya terkulai, membuka. Aku
mencium bibirnya. Tanganku meraih paudaranya, mengosokkan satu dengan
yang lain. Sesaat kemudian kurasakan tubuhnya sudah benar-benar
terbakar oleh nafsu birahi. Dia mulai mengerang.
"Aahhh, begitu Lang. Lakukan itu. Masukkan kejantananmu. Oh, oooh,
rasanya
sungguh nikmat, Lang. Ooooghhh. Jangan berhenti, Lang.., oooh
sayang,
oooooh, puaskan tantemu ini. Jangan berhenti, sampai kau memuaskan
aku,
Lang.., ooooohhh."
Itu seperti perintah bagiku. Aku pun mempercepat lagi gerakanku. Nafsu
yang
liar menstimulasi tubuh kami, segera saja dia mengerang lebih kencang.
Aku
sedikit takut kalau-kalau keluarga Pius dapat mendengar teriakan
Tante
Martha. Tante Martha memelukku erat, mencapai
klimaksnya.
"Ahhh, ahhh, aaahhh, ooooh, Lang, ahhh, aku tak kuat lagi Lang.
Aaaahhhh,
aku, aaaahhhh! Gilaa Lang, aaahhh, kau sungguh hebat, aaaahhhh."
Teriak
Tante Martha seiring orgasmenya yang berulang-ulang.
Tante Martha benar-benar kehilangan kendali, sehingga hampir saja
kami
terlempar dari ranjang. Aku terpesona dengan klimaks yang
dicapainya
berulang-ulang itu. Bagai gelombang cairan kewanitaannya keluar
membanjiri
vaginanya dan jatuh di seprei. Kedua pahanya bergelimang lendir itu
pula,
sedang aku dapat merasakan rasa lengket di daerah kejantananku, di
kantung
kemaluanku, dan bahkan di pahaku juga. Setelah beberapa menit dia
mengerang
dan kelelahan. Tapi Tante Martha tak ingin membuang waktu, begitu
juga
diriku, karena aku masih belum puas sama sekali. Kantung kemaluanku
masih
terasa sesak. Aku lalu berlutut, dan kaget melihat banyak sekali
cairan
kewanitaan Tante Martha.
"Gila Tante Martha, dari mana datangnya semua cairan
itu?"
Tante Martha tersenyum nakal, sebuah senyum yang baru kali ini
kulihat
seumur hidupku.
"Ingin tahu dari mana datangnya? Kenapa tak kau cari
sendiri?"
Dan dia mendorong tubuhku hingga telentang, lalu dia merangkak di
atasku,
membuat kewanitaannya hanya berjarak beberapa centimeter dari
wajahku.
Lendir bening keputih-putihan menetes dari sana. Dia kemudian
menurunkan
tubuhnya sehingga hidungku menempel di kewanitaannya.
Seperti sudah berpengalaman, aku seolah mengerti apa yang
diinginkannya,
aku tahu harus berbuat apa. Kutarik pinggangnya mendekati wajahku,
dan
mulai menjilatinya. Sangat manis dan segar. Aku menyelusuri
kewanitaannya
dengan lidahku. Dia membuat gerakan tanpa sadar, memutar-mutar.
Bibir
kemaluannya sungguh sangat sensitif, sehingga dia tidak dapat diam.
Lalu
aku menjilati benda kecil berwarna pink yang mengacung -nantinya aku
tahu
itu klitoris- yang ada di situ, bibirku menghisapnya. Saat itu Tante
Martha
benar-benar tak tahan lagi. Dia menjatuhkan seluruh badannya ke
wajahku.
Aku sampai kesulitan untuk membuka mataku dan yang dapat kulihat
hanyalah
rambut kemaluannya. Nafasku terhalang kangkangannya dan seluruh
mukaku
tampaknya ditangkup oleh kewanitaannya.
Hanya ada satu hal di otakku saat itu, yaitu menghisap kewanitaannya
yang
tebal. Kuhisap dengan seluruh tenaga, seperti sedang menyusu. Tubuh
Tante
Martha terlempar ke belakang, lalu terlontar ke depan. Menampar wajahku
dan
membenamkan kepalaku di tempat tidur. Dia memekik dan meraung tapi aku
tak
dapat mendengar apa yang diucapkannya, karena telingaku ditutupi
pahanya
yang besar. Setelah beberapa lama, tubuhnya lalu terguncang-guncang
dengan
sangat liar, dia hampir sampai ke puncak kembali. Aku sadar, pasti aku
akan
dibanjiri oleh cairannya.
Benar saja, tak berapa lama kemudian hal itu terjadi. Seperti
pintu
bendungan yang terbuka, cairan vaginanya menyembur perlahan.
Seperti
tubuhnya merupakan pabrik dari cairan itu, keluar tak henti-hentinya.
Aku
mencoba menghisapnya, tapi tak bisa membuatnya berdiam diri.
Cairan
tubuhnya memenuhi mulutku dan membanjiri wajahku.
"Dari situlah asalnya Lang." Katanya kepadaku setelah nafasnya
agak
teratur.
Dia memandang ke wajahku, dia tertawa. Sebuah ketawa yang sensual dan
sexy.
Aku tahu penyebabnya, wajahku basah seperti habis di tumpahi sebotol
gel
rambut. Aku berlutut dan menjilati wajahku dengan lidah. Tante
Martha
membantuku. Sesaat kemudian wajahku telah bersih.
"Dan sekarang, kupikir saatnya untukmu pula menumpahkan milikmu.
Pasti
kantung bijimu sudah sangat sakit sekarang."
Dia berbaring telentang dan menyatukan kedua
payudaranya.
"Lakukan di sini, Lang. Aku ingin merasakan kejantanan mudamu di
antara
dadaku."
Terus saja aku duduk di atas tubuhnya, di antara perut dan dadanya.
Lalu
aku menyelipkan organ lelakiku di antara 'pepaya'nya. Sedangkan
Tante
Martha menunggu kepala kejantananku keluar dari celah itu,
bersiap-siap
untuk menjilatinya. Aku sangat menikmati setiap centimeter dari
dadanya
yang mencengkeram kejantananku.
Aku mulai memaju mundurkan pinggulku, tapi aku tak cukup puas.
Kumasukkan
kejantananku ke dalam mulutnya, saat begitu terangsang karena
jilatannya di
bagian bawah kejantananku. Dia menggenggam pantatku dan menghisapku
dengan penuh nafsu. Setelah beberapa lama, aku merasa akan ejakulasi.
Aku hendak menarik keluar kelelakianku, tapi Tante Martha tak
mengijinkan aku bergerak menjauh. Jadi kusemburkan saja ke dalam
mulutnya. Wanita itu meminum setiap butir spermaku, sambil mulutnya
mengeluarkan erangan bersahutan dengan lenguhanku. Matanya tertutup,
wajahnya menunjukkan hasrat yang amat sangat.
Saat aku menarik kejantananku, terdapat sisa sperma di ujung
kemaluanku.
Dia menjilatinya dan mengecup kepalanya yang keunguan.
"Tante Martha, apakah kau cukup puas?"
"Ini pengalaman seksku yang paling hebat. Kau sungguh
berpengalaman."
"Ini pertama kalinya buat Elang. Tante."
"Oh ya? Kau akan menjadi laki-laki sejati, Lang."
Kami berdua tersenyum, mencoba mengatur nafas kami yang tadi terasa
berat.
Kami sangat lelah dan seperti kehabisan cairan tubuh kami, sehingga
kami
berdua jatuh tertidur. Saling memeluk, cairan kewanitaan Tante
Martha
melekatkan tubuh kami.

Tiba-tiba saja aku merasakan suatu rasa dingin di bagian bawah tubuhku.
Aku meregangkan tubuhku, melirik jam di dinding. Baru sejam aku
terlelap.
Kulihat pula Tante Martha berada di bagian bawah perutku. Ternyata
dia
membangunkan tidurku dengan cara yang sangat menyenangkan aku. Aku
hampir saja mengeluarkan spermaku, melihat dia mengelus bagian
bawah batang kelelakianku dan menelannya dengan ketrampilan yang
sempurna. Tapi ketika dia sadar aku telah bangun tidur, dia
menghentikan tindakannya.
"Hatiku bertanya-tanya, apakah kau bisa dengan segera bangun? Dan
sekarang
aku baru yakin kau memang jantan."
"Aku sungguh terangsang kalau melihat dadamu, Tante Martha,
sehingga
sebenarnya aku tak dapat tertidur. Yang aku inginkan adalah
bercinta
denganmu Tante Martha, sepanjang hari, sepanjang malam."
Tante Martha tersenyum dan berdiri. Tubuh besarnya yang telanjang
itu
terpajang di depanku. Dia menunjuk kewanitaannya, tangannya
membuka
belahannya.
"Aku ingin kau menjilatiku, dan, jangan kau kecewakan
aku."
Aku tak ragu dan merangkak mendekatinya. Lalu mencium dan
menjilatinya
selama beberapa menit. Tante Martha mengerang.
"Tante Martha, maukah kau berjanji, kita akan selalu seperti ini?"
Kataku
sambil menatap matanya.
"Tentu sayang. Malah, aku akan minta kau tinggal di sini. Pasti Anna
akan
mengijinkan. Dia akan kasihan dengan saudaranya yang kesepian ini.
Biarkan
ini jadi rahasia kita."
Dia membungkuk dan meletakkan dada kirinya ke wajahku. Putingnya
menyentuh bibirku.
"Ayo Lang, menyusulah kepadaku, hisaplah aku."
Aku menghisap putingnya dengan nafsu yang luar biasa. Wanita itu
memegang
kejantananku, memasukkan ke dalam liang kenikmatannya. Lalu tubuhnya
naik
turun. Kami terus berciuman dan saling sentuh satu sama lain. Saat
kami
akan orgasme, kelembutan kami digantikan oleh keliaran dan nafsu.
Tante
Martha menghentikan ciumannya dan duduk mengangkang. Dia mengambil
salah satu dadanya yang besar itu, menghisapnya. Lalu dia
menyodorkannya kepadaku. Aku mengambil alih tugasnya. Aku
mengalungkan tanganku kepantatnya, meremasnya. Tante Martha
menggenggam kejantananku, dan memasukkannya ke lobang syahwatnya.
Tubuh kami bertabrakan berulang-ulang, nafsu mengisi setiap sudut
kamar.
Tempat tidur bergoyang-goyang, menimbulkan suara
berderak-derik.
"Aku hampir keluar, Tante Martha, aku akan segera keluar."
Erangku
"Tunggu aku, sayang, aku pun demikian. Tunggulah sesaat
lagi."
Aku lakukan apa saja untuk menahan tekanan yang terasa di
kejantananku.
Mengingat segala rumus matematikaku, pelajaran biologiku, semuanya,
untuk
mengalihkan perhatian dan pikiranku.
Sesaat kemudian Tante Martha berbisik agar aku mengeluarkan
segala
hasratku.
"Ini Tante, seluruhnya. Kuberikan hanya kepada Tante."
Tante Martha pun sepertinya 'meledak', bersamaan denganku.
Spermaku
bercampur dengan lendir kewanitaannya, mengisi ruang kehangatan
tubuhnya.
Beberapa gumpal keluar dan mengotori seprei. Aroma seksual kami
memenuhi
ruang kamar.
"Oooooh, Elang, keluarkan semuanya. Isi aku dengan manimu. Setubuhi
aku."
Orgasmenya menjadi tambah intens di tiap detik yang berlalu, aku
pun
demikian. Sesaat kemudian dia tidak dapat mengontrol dirinya dan
mulai
berteriak-teriak.
Aku takut suaranya dapat di dengar sampai ke jalan, atau sampai ke
rumah
Pak Pius. Kuambil bantal, dan kututup wajahnya. Erangan dan
pekikan
nafsunya teredam.
Beberapa waktu kemudian dia mulai sadar. Tubuhnya layu.

Begitulah, Tante Martha menjadi wanita pertama yang kusetubuhi, wanita
yang
mengambil keperjakaanku. Wanita itu pula yang mengajariku tentang seks.
Aku
menyukainya. Sangat menyukainya. Dia dapat memenuhi semua
keingintahuanku.
Aku puas.
Keesokan harinya aku pindah ke rumahnya. Keluarga Pius mengijinkan,
karena
kasihan pada Tante Martha.
Untunglah, walaupun kami sering berhubungan badan, Tante Martha tak
pernah
sampai hamil. Kurasa dia mandul.

Inilah cerita masa kecilku hingga aku kehilangan keperjakaanku. Masih
ada
cerita saat mudaku yang lainnya. Teramat banyak. Aku akan
menulisnya di
waktu senggangku. Semoga semua pembaca menyukai kisah-kisahku.
Salam.

Buat Nicky: "Mungkin gak sebaik ceritaku yang pernah kaubaca. Mau
tahu
sebabnya? Yang ini gak pakai CINTA! Love makes everything
beautiful, my friend."