Wednesday, February 27, 2008

KEISHA

KEISHA 1: An Angel on Earth

PROLOG

Los Angeles, Musim Semi 1996

Kriiiing... kriiing... telefonku berdering. Aku yang tengah bermalasan di sofa menonton CNN Headline News bangkit untuk meraih telefon. Hari ini hari Minggu pagi, sekitar setengah sepuluh.

"Hello..."
"Hi... May I speak to Frankie Harahap please?" ada suara yang sepertinya kukenal mencari diriku. Aku agak ragu dengan pikiranku sendiri.
"Ya, saya sendiri. Dari siapa ya?" jawabku dengan Bahasa Indonesia karena si penelefon beraksen Indonesia.
"Frank? Frankie??? Lama kita nggak ketemu ya Frank? Masih ingat aku?" kata suara itu lagi dari gagang telefonku. Aku makin bertanya-tanya akan suara yang makin kukenal. Sepertinya...

"Tunggu dulu... Aku kok sepertinya kenal dengan suaramu ya? Siapa nih?" tanyaku makin penasaran.
"Aku Frank... Kei... Keisha!"
"Haaah... Keisha Saraswati Buntaran?" seruku seperti tak percaya.
"Ingat sekarang?" tanya suara di telefon semakin antusias.
"Waaaah... Ya jelas masih ingat sekali! Bagaimana aku bisa lupa sama kamu? Ada di mana kamu sekarang? Uhmm... Apa kabar niiih?" cerocosku. Ada rasa rindu yang tiba-tiba menyeruak dari dadaku.

"Aku ada di St. Louis sekarang ini. Aku dapat telefonmu dari si Dido. Dia bilang kamu udah lama tinggal di LA."
Aku tersenyum sendiri, "Ya, sejak tahun sembilan satu kemarin ini aku kemari. Mumpung ada yang bayarin aku nih, jadinya aku terdampar di sini. Gimana ceritanya kamu bisa sampai di St Louis?"
"Sama Frank. Aku juga ada yang bayarin untuk bisa sampai di sini. Ceritanya, aku ikutan semacam pertukaran pelajar. Oh ya, aku dengar dari Dido kalau kamu udah master ya sekarang? Selamat ya Frank!"

"Terima kasih Kei... Cuma belum komplet kok."
"Belum komplet? Apa maksudmu?" tanya Keisha keheranan.
"Ya, belum komplet. Mei tahun lalu aku tamat MBA-ku, semester sekarang ini aku lagi ngerjain tesisku untuk MS di bidang Teknik Mesin. Mudah-mudahan aja Mei tahun ini aku bisa mempertahankan sidang tesisku."
"Gila Frank... Kamu ngambil double major?"
"Seperti kataku, mumpung ada yang bayari aku sekolah, jadinya aku gunakan untuk sekolah sekuatku belajar. Sekarang udah agak mendingan sejak aku lulus MBA, tahun pertama aku sempat jungkir balik sibuk nggak karuan ngejar kuliahan."

Keisha bercerita panjang lebar dan kami hari itu ngobrol di telefon hingga tak terasa hampir satu setengah jam. Satu hal yang aku masih bertanya-tanya adalah kenyataan bahwa Keisha telah berubah seratus delapan puluh derajat! Zaman di SMA dulu, Keisha sangatlah membenciku luar biasa. Bahkan untuk bicara pun dia enggan dan segan. Aku jadi teringat pada masa SMA dulu, saat aku jatuh cinta padanya, dengan segala kekonyolanku. Tak terasa, bibirku tersenyum sendiri.

-------

Medan, Agustus 1985

Seorang gadis kurus semampai baru saja berjalan memasuki pintu gerbang sekolahku. Gadis itu berkaca mata, rambut pendek cepak sebahu dan memanggul tas ransel buatan Jayagiri berwarna ungu, berseragam putih dengan rok abu-abu. Tak ada yang istimewa dari gadis ini. Kurus, malah nyaris dibilang ceking, berdada nyaris rata dan bersikap sangat tomboi. Cantik? Itu relatif. Kalau kata salah seorang temanku, cantik itu relatif, tapi jelek itu absolut. Tapi entah mengapa, begitu melihat dia pertama kali itu (hari itu adalah hari pertama aku masuk SMA), aku jadi sangat tertarik padanya. Baru kutahu kelak bahwa yang membuatku sangat tertarik padanya adalah bibirnya yang sangat seksi dan merah merekah segar walaupun tanpa polesan lipstik, yang selalu tersungging seperti orang yang sedang melecehkan orang lain. Kakinya juga mulus dan jenjang berwarna putih. Waktu itu aku tidak berani menegur. Aku juga tidak tahu mengapa, tapi kuikuti dia dengan pandangan mataku ke arah kelas mana dia masuk. Satu tiga! Sorakku dalam hati. Dia anak kelas satu tiga. Aku punya banyak koneksi dan teman di kelas satu tiga, teman-teman satu SMP dulu. Aku tersenyum sendiri dan bersiul kecil kembali ke kelasku, satu lima, yang melintasi kelasnya. Kutengok sejenak sambil lalu kelas satu tiga. Dia sedang berbicara dengan sekelompok teman sekelasnya. Mungkin ajang perkenalan antar siswa baru.

Waktu istirahat pertama, masih hari pertama...

"Bob, kamu tau siapa nama cewek itu?" tanyaku ke Bobby sambil menunjuk ke arah gadis yang menarik hatiku. Bobby adalah salah seorang temanku di kelas satu tiga. Dia dijuluki "Bobby Gele" karena matanya yang redup sayu (seperti mata Sylvester Stallone) seperti orang yang habis "fly".
Bobby menengok melihat ke arah yang kutuju, "Oh, dia, si Keisha. Dia dari Lubuk Pakam. Kenapa emang? Ada minat?" Bobby mengedipkan matanya.
"Kei... Sini! Ada yang pengen kenal nih!" tiba-tiba Bobby memanggil Keisha. Keisha yang lagi asyik ngobrol lalu memecah perhatiannya ke arah Bobby. "Siapa? Suruh ke sini dong!" Aku didorong Bobby untuk pergi ke arah Keisha. Aku menurut.

"Hai!" kuulurkan tanganku yang disambut Keisha. "Frank. Frankie Harahap." Kataku singkat memperkenalkan nama.
"Keisha. Keisha Saraswati." Dia tersenyum kemudian kembali asyik dengan obrolannya dengan teman-temannya lagi. Aku seolah-olah tak diperdulikannya, dianggap seperti tidak ada. Aku jadi serba salah.
"Emmm... aku ke kantin dulu ya. Bentar lagi bakal abis nih istirahatnya. Mau ikut?"
"Nggak deh. Thanks!"
Aku buru-buru keluar dari kelas satu tiga sambil menggerutu dan mengumpat dalam hati. Bobby yang melihatku cuma tersenyum. Dia menjajari langkahku yang menuju kantin.

"Tenang Frank! Doi emang gitu. Lu suka ya ama dia?" aku memesan semangkuk soto mi. Kulirik jam tanganku, masih ada sekitar lima menit lagi. Masih cukup buat makan. Telat dikit nggak apa-apa, hari pertama ini, pikirku. Aku duduk di sebuah bangku panjang menunggu soto mi pesananku.
"Sialan tuh cewek! Masak gitu doang dan aku dicuekin gitu!" gerutuku sambil mengunyah sepotong emping goreng kesukaanku yang tersedia di meja makan dalam toples.
"Si Keisha emang bawaannya gitu. Tapi anaknya asyik kok kalo lu udah kenal ama dia." Bobby memberi saran.
"Nggak pesen juga Bob? Aku bayari deh!" tawarku.

"Nggak, makasih. Aku pesen bakso aja ya?" aku cuma mengangguk. Pelayan kantin datang dengan pesanan soto miku. "Mbak, pesan baksonya satu porsi ya, buat dia tuh." Si Pelayan Kantin, Mbak Rini namanya, asli dari Jawa Tengah. Hitam manis, mungil dan murah senyum walaupun sangat pendiam.
"Bob, kok kamu tahu banyak soal Keisha, padahal hari ini khan hari pertama masuk dan dia nggak satu SMP dulu dengan kita? Itu seingatku lho?" tanyaku sambil menyuap sesendok kuah soto mi.
"Kebetulan, dulu jaman gue masih SD dan tinggal di Lubuk Pakam, rumahnya tetanggaan ama rumah gue. Percaya apa nggak, si Keisha dan kakaknya itu temen main layangan gue. Si Keisha hobinya main layangan di atas atep rumahnya."
"Oooo gitu jadinya?"

Pesanan bakso Bobby datang bersamaan dengan dering bel masuk kelas lagi. Akhirnya kami sepakat untuk "menghilang" selama satu mata pelajaran hingga bel berikutnya. Hari pertama, ngabur pertama.
Sejak hari pertama masuk SMA itu, aku mencoba untuk sering berbincang-bincang dengan Keisha, tetapi sepertinya dia tidak pernah mau untuk melayaniku dan selalu berusaha untuk menjauhiku. Aku semakin penasaran dan semakin tertarik dengannya. Dengan bantuan beberapa teman dekatku semasa SMP dulu (yang sekarang juga berteman dekat dan sekelas dengan Keisha), aku mencari tahu tentang Keisha.

Ternyata ayahnya adalah salah seorang profesor Fisika Nuklir yang dimiliki Indonesia dan ibunya adalah seorang guru Bahasa Jerman. Suatu kombinasi yang sangat jarang menurutku. Kakak laki-lakinya yang dua tahun lebih tua dari dia bersekolah di sebuah SMA swasta di Medan dan adik perempuannya yang masih SMP kelas 2 masih tinggal bersama orang tuanya di Lubuk Pakam. Keisha ternyata mempunyai suara yang merdu. Dengan suaranya yang merdu itu, membuat dia sering didaulat untuk menyanyi di setiap acara lokal seperti acara tujuh belasan, sumpah pemuda dan semacamnya.

Akhirnya di kalangan murid-murid SMA kelas satu di sekolahku beredar gosip yang mengatakan bahwa si Frankie Harahap satu lima sedang kasmaran dengan Keisha Saraswati dari satu tiga. Beberapa murid perempuan seringkali tersenyum-senyum ke arahku setiap kali berpapasan denganku. Entah apa maksud mereka. Sementara beberapa teman laki-lakiku suka sekali menanyakan perkembangan "hunting"-ku. Aku biasanya hanya menjawab dengan senyuman dan berusaha untuk mengalihkan perhatian mereka ke arah topik lain.

Teman laki-lakiku banyak yang heran denganku. Ada banyak perempuan lain yang cantik-cantik yang "mengerubuti"ku yang (kata mereka) bisa dengan mudah aku dapatkan, tetapi aku malah lebih suka mengejar si Keisha yang tomboi, kurus dan "tidak menarik". Itu kata sebagian besar teman-temanku lho. Memang harus kuakui bahwa ada banyak teman perempuanku yang dekat (dalam artian bisa ngobrol panjang lebar dan bercanda beramai-ramai) dan cantik-cantik yang kemungkinan besar mau saja kujadikan sebagai pacarku. Ada Sari yang berkulit sawo matang mulus dan bermata jernih. Thres, gadis manis berkulit putih bermata lebar dengan pinggul yang sangat seksi, hasil perpaduan Batak, Cina dan Arab yang mengalir di darahnya. Atau Renata? Gadis mungil berkaca mata minus yang selalu ceria dengan cerita-ceritanya, dengan hidung mungilnya yang terkadang berwarna merah jambu kalau alergi sinusnya sedang kambuh. Belum lagi Sinta yang selalu memakai rok relatif pendek (untuk ukuran anak kelas satu) dan kaos kaki pendek, menonjolkan paha dan betisnya yang mulus tanpa cela, sehingga murid-murid perempuan kelas dua dan tiga seringkali mencibir ke arahnya. Tidak, bukannya aku tidak tertarik dengan mereka, tetapi mungkin ini yang dinamakan "no chemistry". Kami memang sering bepergian bersama ke pusat-pusat perbelanjaan sepulang sekolah dan aku sering menraktir mereka di sebuah restoran Padang favorit kami. Ini semua tidak membuatku bisa melupakan bayangan Keisha.

Suatu hari aku mendengar sebuah kabar yang menjengkelkanku. Dari seorang temanku yang "melaporkan" padaku, kuketahui bahwa salah seorang anak satu empat yang bernama Robert, seringkali menggoda Keisha sehingga Keisha marah. Waktu itu, aku merasa seperti "kebakaran jenggot". Pada jam istirahat kedua, kutunggu Robert di WC. Aku tahu, pasti dia akan ke WC pada jam istirahat ini dan kemudian ke kantin memesan sepiring siaomay, sebagaimana kebiasaan dia selama ini. Di kalangan murid-murid laki-laki SMAku, WC laki-laki ini seringkali disebut sebagai "pengadilan", tempat di mana para murid laki-laki "menyelesaikan" masalah. Benar juga. Robert masuk ke dalam WC sambil ngobrol dengan salah seorang murid satu empat. Kuhampiri keduanya.

"Hey... gue punya sedikit urusan sama lu." Kataku ke Robert dengan sikap yang sepertinya "ngejago" (kata salah seorang temanku yang kebetulan melihatku). Teman Robert segera menyelesaikan "urusannya" di WC.
"Apaan?" tanya Robert tak kalah.
"Gue denger lu sering ngegodain si Keisha sampai-sampai si Keisha marah ya?
"Emang apa urusannya ama lu?"
"Nggak ada sih, tapi gue ingetin ama lu, jangan sekali-kali lu godain si Keisha lagi!" kataku tegas cenderung seperti mengancam. Bagi orang lain yang melihat, situasi tidak berpihak padaku. Tapi aku tak perduli. Bayangkan saja, waktu SMA kelas satu, beratku sekitar 50 kg dengan tinggi 170 cm kurus seperti tiang listrik, sedangkan Robert berbobot sekitar 75 kg dengan tinggi lebih dari 180 cm (dia masuk tim basket dan voli sekolahku), ditambah pula dengan otot yang terlihat kekar. Jadinya terlihat lucu kalau aku yang kurus ini "mengancam" Robert yang tinggi besar.

"Lu kok ngejago banget sih! Apa yang lu andelin?" kata Robert sambil mendorong dadaku. Aku terdorong ke belakang. Kupegang tangan Robert yang mendorongku untuk menjaga keseimbanganku agar aku tak jatuh. Robert menarik tangannya sambil menjambret seragam sekolahku. Akibatnya aku kehilangan beberapa kancing baju dan saku seragamku sobek lepas.
"Hyaaattt..." teriakku.
Sambil mundur, aku melancarkan sebuah tendangan sabit ke arah rusuk Robert dan masuk telak. Robert terdorong ke belakang membentur dinding WC. Belum sempat dia memperbaiki posisi, kususul seranganku dengan sebuah pukulan ke arah hidungnya. Sekali lagi, telak menghajar hidungnya hingga darah mengalir dan membasahi buku-buku jari tangan kananku. Kurasakan rusuk kiriku nyeri dan aku terhuyung ke belakang. Tak kusadari bahwa sebuah pukulan Robert juga sempat mampir telak di rusuk kiriku.

Kejadian itu sangat cepat. Tiba-tiba datang dua orang dari kelas dua atau kelas tiga yang dengan cepat dan sigap memegangi tangan kiri kananku.

"Lu mau ngejago di sekolah ini ya!!!" bentak salah seorang dari mereka yang memegangi tangan kananku dengan kedua tangannya. Secara refleks aku menendang perutnya yang kususul dengan tendangan kaki kiriku ke arah satu orang lagi yang memegangi tangan kiriku. Kedua orang itu terhuyung ke belakang sambil memegangi perut mereka.

"Kalian nggak usah ikut-ikutan!!! Ini urusan gue sama dia!!!" bentakku tak kalah keras. Aku sedikit mundur dan memasang sikap "Putri Berhias" menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi. Kedua "senior" yang aku tendang perutnya tidak bergerak maju, mereka masih memegangi perut mereka sambil meringis kesakitan. Robert membuat kuda-kuda "kamae" dengan kedua tangannya mengepal di depan dada setelah terlebih dahulu menyeka darah yang mengucur dari hidungnya. Menilik sikapnya, aku menduga dia paling tidak pernah belajar beladiri, mungkin karate atau taekwondo. Darah segarnya masih mengalir dari hidungnya yang pecah kuhantam.

Beberapa detik, Robert dan aku berdiri saling bersiap untuk menyerang, seperti dua ekor ayam jago yang saling mengukur kekuatan lawan. Kejadian itu tidak berlangsung lama, karena secara bersamaan dan dengan cepat, beberapa temanku menyerbu masuk ke dalam WC laki-laki. Aku masih ingat, Dadang sahabatku sejak SMP, memelukku dan seperti menyeretku untuk keluar dari WC dibantu oleh Bobby yang menarik celana abu-abuku dari belakang. Beberapa orang juga merangkul dan memeluk Robert di sisi lain.

"Lu kalau mau ribut jangan di sini! Nanti aja pulang sekolah! Bisa-bisa lu kena skors kepala sekolah!" kata Dadang dengan tegas di telingaku. Sayup-sayup kudengar makian dan tantangan Robert dari dalam WC. Aku di bawa kembali ke kelasku. Iwan, yang dijuluki "Anak Tangsi" karena ayahnya adalah seorang perwira TNI AD, mendatangiku. Wajahku masih tegang. Baru sekarang kurasakan kembali nyeri di rusuk kiriku.

"Frank... Gue tau lu orangnya panasan dan nggak bisa terima perlakuan si Robert. Cuma gue minta, kalau memang lu berdua mau berantem, jangan bawa-bawa senjata. Gimana-gimana lu berdua khan masih satu sekolah." Anjurannya bijaksana juga. Aku sendiri tak pernah terpikirkan untuk berkelahi dengan menggunakan senjata pada waktu SMA dulu. Aku berjanji untuk menyanggupinya.

Di depan kelas satu empat dan satu lima banyak berkumpul murid-murid laki-laki untuk memastikan bahwa Robert dan aku tidak kembali berkelahi dan melakukan kebodohan. Masing-masing berkerumun dan mendengarkan cerita yang mereka dapatkan dari para saksi mata yang kebetulan melihat perkelahian singkatku dengan Robert.

Pulang sekolah aku menunggu Robert di tikungan gang dekat kantor telefon yang pasti akan dilaluinya untuk pulang ke tempat kosnya. Ada banyak teman-temanku, ya laki-laki ya perempuan, yang juga menunggu sambil berkerumun dan ngerumpi. Rupanya mereka semua ingin melihat "pertandingan" gratis. Hingga pukul setengah tiga sore aku menunggu, Robert tak pernah kelihatan batang hidungnya. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Banyak temanku yang tadinya ingin menonton sudah membubarkan diri karena menunggu terlalu lama dan akhirnya sisanya juga membubarkan diri begitu aku memutuskan untuk pulang. Hingga kini Robert dan aku tidak pernah lagi berbicara sepatah kata pun, dan kami belum pernah berkelahi lagi sejak kejadian di WC SMA dulu. Belakangan, kuketahui bahwa Robert adalah seorang karateka Lemkari (Lembaga Karate-do Indonesia) pemegang sabuk hitam Dan 1 dan pernah menjadi juara junior kumite (pertarungan) bebas sekota Medan. Aku sendiri waktu kejadian itu baru kurang lebih setahun belajar silat yang kutekuni hingga kini dan masih tingkat Dasar Dua.

Keesokan harinya Keisha pagi-pagi datang menemuiku di kelasku. Aku sudah kegirangan. Aku pikir Keisha akan menghargai usahaku kemarin "membela" dirinya terhadap gangguan Robert. Rupanya aku salah!
"Frank... Gue mau bicara ama lu!" kata Keisha agak judes. Aku agak heran juga dengan sikapnya yang di luar dugaanku.
"Ada apa?"
"Gue nggak butuh bantuan lu ngebelain gue segala!"
"Bantuan apa?" tanyaku pura-pura tidak mengerti.
"Apa-apaan lu kemarin pake acara berantem sama si Robert gara-gara si Robert suka ngegodain gue!" Keisha makin sengit. Aku agak tersinggung Keisha berkata demikian.

"Aaah... Sudahlah! Aku kemarin memang berantem sama si Robert, tapi bukan karena dia suka ngegodain kamu! Aku berantem karena dia ngedorong aku sampai aku hampir jatuh!" kataku sambil berdiri dan keluar menuju ke arah kantin. Di depan pintu kelas, Keisha masih berusaha menahanku.
"Hei... Jangan ngabur lu Frank! Mau ke mana lu? Gue belum selesai ngomong!"
"Aku mau ke kantin, mau ikut? Kita bisa ngobrol di sana. Aku traktir deh!" kataku sambil tersenyum dan memonyongkan bibirku yang seolah-olah menciumnya dari jarak jauh. Aku langsung ngeloyor pergi ke luar kelasku menuju kantin. Keisha tambah mendongkol.
Sempat terdengar makian Keisha ke arahku. Aku hanya tertawa kecil tak menghiraukannya. Aku memang paling tidak suka "berkelahi" dengan perempuan. Apapun alasannya. Lebih baik aku pergi.

----------------

Los Angeles, Musim Gugur 1996

Sejak Keisha menelefonku pertama kali, Keisha dan aku jadi sering berhubungan lewat telefon dan email. Terkadang kami bisa mengobrol berjam-jam di telefon. Aku pindah dari asrama kampus ke rumah Mitsuko tahun 1994 sejak aku lulus S1 dan tinggal bertiga bersama Jeanne dan Mitsuko. Pernah juga Jeanne dan Mitsuko menanyakan kepadaku siapa orang yang baru saja kutelefon agak lama. Aku jawab saja bahwa dia adalah temanku satu SMA dulu di Indonesia. Sejak saat itu Jeanne dan Mitsuko tidak pernah lagi bertanya-tanya.

Seperti ceritaku pada Keisha, setelah lulus S1 tahun 1994 aku meneruskan kuliahku ke tingkat master dan sekaligus mengambil dua jurusan, yaitu MBA dan Teknik Mesin. Program MBA kuselesaikan tahun 1995 dan program Teknik Mesin baru saja kuselesaikan bulan Mei tahun ini. Ketua Jurusanku menawarkan bea siswa untuk program doktor kepadaku. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku menerima tawaran itu dan juga bekerja sebagai salah satu staf pengajar mahasiswa S1. Jeanne sendiri menyelesaikan program S1 Akuntansinya tahun 1995 dan langsung diterima kerja di sebuah biro akuntansi publik. Sementara Mitsuko baru saja lulus S1 Matematika bulan Mei tahun ini. Mitsuko sekarang bekerja sebagai seorang guru Matematika dan Fisika di sebuah sekolah menengah atas.

Keisha dan aku makin dekat dalam artian obrolan kami makin berbobot, bercerita tentang pribadi dia, keluarganya dan bahkan segala macam persoalan dan permasalahannya. Dia juga menceritakan betapa hubungannya dengan ibundanya tidak semulus hubungannya dengan ayahnya. Dia tidak terlalu terkejut ketika mengetahui bahwa aku mempunyai dua orang kekasih, satu dari Cina dan satu dari Jepang.

"Kei... liburan Thanksgiving nanti aku bakalan ada acara nih di Chicago." Kataku pada suatu percakapan telefon dengan Keisha.
"Emang kamu ada acara apaan di Chicago?"
"Jurusanku nyuruh aku ke sana buat ikutan acara temu ilmiah tentang teknologi jet dan propulsi. Kamu sendiri ada acara nggak buat liburan Thanksgiving nanti?"
"Sampai saat ini sih nggak ada. Hmm... menarik juga ya kalau kita bisa ketemu di Chicago? Emangnya kamu udah fix bakalan ke sana?"
"Ya, ini jadwal harianku plus tempat nginepku udah ada di tanganku sekarang ini. Aku baru dapet hari ini." Aku memang kala itu sedang menelefon Keisha sambil membaca jadwal acara untuk ke Chicago menghadiri semacam konferensi asosiasi insinyur teknik se-Amerika Serikat, sebagai wakil pelajar dari UCLA. "Aku bakalan nginep di salah satu hotel dekat downtown." Kataku lebih lanjut.

"Wah, hotel-hotel di downtown hampir semuanya bagus-bagus. Jauh dari tempat konferensinya Frank?"
"Nggak juga tuh. Katanya sih ada shuttle bus-nya. Gimana? Mau ketemu di Chicago?"
"Nantilah aku kabari. Masih sebulan lagi khan? Aku pengin juga sih ketemu kamu di Chicago sana. Dari tempatku paling sekitar sembilan jam naik Greyhound."
"Kalau memang kamu bakalan ke Chicago, aku nanti di sana akan sewa mobil sendiri dari airport. Rencananya aku ke sana bareng sama tiga orang temanku yang lainnya. Biar mereka bareng-bareng. Kalau kamu mau, kamu juga bisa ikutan ke konferensi itu sambil iseng liat-liat."

"Lihat nantilah Frank. Aku mesti ke perpustakaan kampus sebentar nih sebelum tutup. Sorry ya Frank, kita udahan dulu. Besok aku telefon kamu lagi."
"Ya udah kalau gitu. Sampai besok ya Kei."
"Daaag Frank..." kata Keisha menutup percakapan telefon kami malam itu. Aku pun membalasnya, dan kemudian meletakkan gagang telefonku ke tempatnya. Aku tersenyum sendiri.

... and I want you here with me...
from tonight until the end of time.
You should know, every where I go,
You're always on my mind, in my heart, in my soul...
Baby, you're the meaning in my life, you're the inspiration...

Peter Cetera melantunkan lagu "You're the Inspiration" di CD player yang secara iseng kudendangkan. Aku merasa sepertinya aku sedang kasmaran lagi. Seolah-olah bara api yang tersimpan sejak SMA dulu kembali perlahan menyala di dada.

--------------

Chicago, Liburan Thanksgiving 1996

Chicago, yang dijuluki "Kota Berangin" (windy city) oleh masyarakat Amerika Serikat karena anginnya yang nyaris tak pernah berhenti, memamerkan kemegahan dan gemerlap lampu-lampu malam yang kulihat dari jendela kamarku. Hotel yang kutinggali terletak di dekat downtown kota Chicago. Dari ketinggian lantai kamarku, aku bisa melihat keindahan Danau Michigan yang dihiasi bayangan rembulan. Jalanan di depan hotel tampak lengang, tentu saja, jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Terus terang aku cemas, karena hingga saat itu Keisha belum menelefon ke hotel. Kami sepakat bahwa Keisha akan menelefon ke hotel setibanya di stasiun bus Greyhound untuk kujemput dan kuantar ke hotel. Dia tidak keberatan untuk tinggal sekamar denganku. Kuingat percakapan kami di telefon saat dia mengabarkan bahwa dia akan pergi ke Chicago untuk menemuiku.

"Frank, kemungkinan besar aku bakalan bisa pergi ke Chicago nih!" kata Keisha suatu hari di telefon.
"Bagus! Gimana rencanamu?" tanyaku penuh antusias bercampur girang.
"Kalau memang liburan Thanksgiving nanti aku nggak banyak pe er dan kerjaan, rencananya aku bakalan ke Chicago naik Greyhound. Aku mulai libur hari Kamis, jadi pagi-pagi aku bisa berangkat dan sampai di Chicago masih siang atau paling telat sorean. Aku bisa langsung ke hotelmu dan ketemu kamu di sana."

"Aku nanti bakalan sewa mobil di sana. Gimana kalau aku jemput kamu?" aku menawarkan untuk menjemput Keisha dengan mobil yang akan kusewa, "terus, aku bisa pesan kamar dengan double bed dan kamu bisa tinggal satu kamar denganku kalau kamu memang nggak keberatan." Kataku hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
"Frank, aku terima tawaranmu untuk tinggal satu kamar denganmu kalau memang kamu nggak keberatan. Itung-itung bisa ngirit ongkos nginep," Keisha menjawab sambil sedikit tertawa, "tapi kamu nggak perlu jemput aku karena aku bisa naik taksi dan aku sendiri nggak tahu bakalan sampai jam berapa di Chicago. Aku juga nggak mau mengganggu jadwalmu. Kita ketemu aja di lobby hotel tempatmu menginap. Kalau kamu belum pulang, aku bisa nunggu."

"OK, gitu juga nggak apa-apa, Kei."
"Thanks a lot lho Frank!"
"Ah, sama-sama Kei... Toh hotelnya bukan aku yang bayar ini." Kataku sambil pikiranku melayang jauh ke depan, membayangkan Keisha bakalan tidur sekamar denganku. Baru memikirkannya saja, hatiku jadi berdebar lebih kencang. Seperti apa ya Keisha sekarang?
Tiba-tiba lamunanku dibuyarkan oleh bunyi dering telefon di kamar hotelku. Secara refleks aku segera bergegas mengangkat gagang telefon.

"Hello..." kataku penuh harap agar si penelefon adalah Keisha. Ternyata... "Frank... Ini aku Frank! Aku ada di Greyhound Bus Station," suara Keisha. Aku lega. "nanti aku ceritakan kenapa aku bisa sampai telat begini. Aku bisa minta tolong untuk dijemput Frank?"
"Tentu Kei! Kamu nggak apa-apa khan?"
"Nggak, aku sehat, cuma aku agak capek nih!"
"OK, jangan ke mana-mana ya Kei! Aku sesegera mungkin ke tempatmu. Kamu tunggu di tempat duduk di depan loket ya, biar gampang aku nemuin kamu." Kataku bersemangat.

"Terima kasih banyak ya Frank, aku tunggu kamu di tempat duduk di depan loket." Keisha mengulang permintaanku.
"Sampai ketemu Kei..." aku menutup gagang telefon setelah Keisha membalas salamku. Aku bergegas membuka buku telefon halaman kuning. Kucari alamat stasiun bus Greyhound di kota ini berikut lokasinya di peta. Kususuri jalanan utama yang akan kulalui dari hotel ke stasiun bus di peta dengan jari telunjuk kananku. Kucatat setiap perempatan dan pertigaan yang harus kulalui berikut nama jalannya. Kusobek halaman peta dari buku telefon halaman kuning dan kukantongi berikut catatanku. Aku mengenakan jaket kulitku dan meraih kunci mobil sewaanku berikut kunci elektronik hotel. Tak lupa kuraih pula radar detector mobil yang selalu aku bawa. Aku mematikan televisi hotel yang sedang menyiarkan acara berita CNN.

Aku sampai di garasi mobil di lantai bawah tanah hotel beberapa menit kemudian. Aku merasa sepertinya lift berjalan sangat lambat. Kunyalakan mobil sewaanku, Ford Contour keluaran terbaru. Kupasang radar detector yang kubawa. Biasanya aku tidak pernah ngebut di jalanan kecuali kalau terpaksa dan aku terburu-buru. Aku selalu menikmati perjalananku bila aku mengendarai mobil (apalagi motor!)

Begitu keluar dari pintu gerbang garasi dan berada di jalanan, aku segera menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobil transmisi otomatis yang kusewa berusaha untuk menuruti kemauanku. Akselerasi mobil ini tidak sebagus BMW 325i M3 milik Jeanne tentu saja. Pertama, jelas mesin standar Ford Contour bukan kelas yang sebanding dengan BMW 325i bermesin sport M3. Kedua, BMW milik Jeanne bertransmisi manual yang bisa kugeber hingga RPM tinggi untuk akselerasi, sedangkan transmisi otomatis tidak bisa. Belum mencapai RPM bergaris merah sudah "memaksa" pindah gigi secara otomatis. Karena alasan inilah maka mengapa aku tidak terlalu suka dengan mobil bertransmisi otomatis. Di tempat persewaan mobil, aku tahu bahwa mereka biasanya menyediakan hanya mobil-mobil Amerika dan bertransmisi otomatis (kecuali tempat persewaan mobil eksotis), tapi aku secara iseng menanyakan kalau mereka menyediakan mobil Toyota Supra atau paling tidak Toyota Celica dengan transmisi manual. Seperti dugaanku, jawaban mereka adalah "tidak". Ya sudah, akhirnya kupilih Ford Contour, paling tidak menurutku ini adalah yang terbaik dari pilihan yang ada.

Setiap kali aku menikung, selalu terdengar decit suara ban mobil yang berusaha tetap menapak pada aspal jalan. Kebetulan jalanan sudah relatif sepi dan lengang, jadi aku bisa dengan lebih leluasa "memburu waktu" untuk sesegera mungkin tiba di stasiun bus Greyhound. Setiap kali aku "harus ngebut", aku merasa bersyukur karena pernah mengikuti kursus singkat mengemudi secara profesional yang diadakan oleh salah seorang pembalap internasional yang bekerja sama dengan sebuah majalah otomotif internasional di Sacramento California.

Tak berapa lama, aku telah memarkir mobil sewaanku di halaman parkir stasiun bus Greyhound dan bergegas menuju ke loket. Ada banyak orang di dalam stasiun bus. Biasanya, yang kutahu, stasiun bus Greyhound di tempat lain tidaklah seramai ini, apalagi ini telah lewat tengah malam. Mungkin karena liburan Thanksgiving. Mataku mencari-cari sesosok tubuh yang kukenal.
Keisha... Hatiku berdebar kencang saat kulihat sesosok tubuh yang sangat kukenal dan pernah membuatku "jatuh bangun" karena rasa kasmaran sewaktu di SMA. Biarpun tubuhnya dibalut oleh jaket tebal, tapi dari pergelangan tangannya yang memegang buku masih kukenali tubuh kurusnya. Keisha mengenakan celana jins biru belel. Wajahnya tertutup buku. Ada headphone di kepalanya. Rupanya dia sedang mengisi waktunya dengan membaca buku sambil mendengarkan musik dari walkmannya, salah satu kebiasaannya yang aku tahu persis. Potongan rambutnya masih seperti dulu zaman di SMA, pendek sebahu. Kaca matanya masih model yang sama, atau paling tidak mirip dengan yang aku kenal. Aku diam-diam berdiri di depannya. Keisha untuk beberapa saat tidak menyadari karena mungkin sedang menikmati bacaannya.

"Heiiii... Sudah berapa lama kamu berdiri di situ?" tanya Keisha terkejut begitu dia menyadari kehadiranku. Aku hanya tersenyum. Kami berdua seperti terpaku. Untuk beberapa saat, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku. Dan Keisha sepertinya juga tertegun melihatku. Duuh... bibirnya yang penuh dan merah merekah alami tanpa polesan pemerah bibir masih tetap seperti dulu, malah sekarang kelihatan lebih seksi lagi karena seperti basah. Mungkin dia melapisinya dengan pelembab bibir, mencegah agar bibirnya tidak pecah di musim gugur yang kering ini. Mendadak, aku lupa dengan diriku sendiri. Lupa dengan Jeanne dan Mitsuko.

"Frank...," Keisha berdiri sambil menepuk lengan kananku. Aku salah tingkah, aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, tetapi Keisha malah memelukku. Aku jadi serba salah. Secara kikuk aku juga balas memeluknya. "Gila Frank! Kamu kok jadi gede gini? Makan apaan kamu bisa segede gini sekarang?" Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku membantu Keisha membawakan tas jinjingnya (duffle bag). Dia sendiri mengenakan tas punggungnya.
"Gimana kabarmu, Kei? Sorry kalau kamu terlalu lama nunggunya." Kataku berbasa-basi.

"Ah, Frank... Kok mendadak kamu jadi canggung gini sih? Ada apa?"
"Sorry Kei, rasanya kayak mimpi aja kita bisa ketemu di sini setelah sekian lama kita nggak ketemu sejak terakhir kali di SMA dulu dan akhirnya kita bisa ngobrol di telefon. Berapa tahun yang lalu ya itu?" "I ya ya Frank... Kita emang terakhir kali ketemu ya waktu perpisahan di SMA dulu. Itu tahun 1988 Frank, delapan tahun yang lalu. Tak terasa ya waktu bisa begitu cepat berlalu?" Keisha memegang tangan kiriku dan menggandeng tangan kiriku. Kudiamkan saja. Hatiku masih saja berdebar tidak karuan. Ada rasa "aneh" yang terasa naik turun di dadaku yang membuatku seperti susah berbicara.

"Gimana perjalananmu Kei?" tanyaku.
"Kamu pasti ketawa deh Frank kalau kuceritakan. Ceritanya aku khan kesasar! Harusnya aku turun di Chicago, tapi karena ketiduran, aku keterusan sampai ke sebuah kota kecil kira-kira dua jam dari Chicago! Bayangkan betapa kesalnya aku. Akhirnya aku turun di kota itu dan menunggu bus yang berangkat ke Chicago. Aku harus nunggu kurang lebih tiga jam. Jadi, tujuh jam kebuang percuma. Rasanya aku capek, mungkin karena ditambah dengan kesal ya Frank."
"Pantesan aja. Kamu tahu nggak Kei, aku cemas sekali memikirkan kamu karena sampai hampir tengah malam kamu nggak telefon. Aku sampai-sampai berpikir kamu kenapa-napa."
"Masa Frank?" Keisha bertanya sambil matanya berbinar-binar menatapku.
"Ya..." jawabku sambil mengangguk dan tersenyum.

Tak terasa kami sampai di pelataran parkir. Kubuka bagasi mobil sewaanku untuk menyimpan tas jinjing Keisha. Kemudian kubukakan pintu untuk Keisha. Setelah Keisha duduk, kututupkan pintu mobil. Keisha membukakan kunci pintu mobil untukku. Kami berdua memasang sabuk pengaman dan aku mulai menjalankan mobil yang kubawa.
Aku mengendarai mobil secara normal, sesuai dengan kecepatan maksimum yang diperbolehkan. Kulirik wajah Keisha. Nampak garis-garis kelelahan dari perjalanannya ke Chicago ini. Dari samping, bibirnya yang sensual benar-benar membuatku "kebat-kebit". Untuk beberapa saat, tak ada suara pun yang keluar dari kami berdua.

"Oh ya Kei, aku punya spesial kaset yang aku rekam dari LA. Mudah-mudahan kamu masih ingat dengan lagunya." Kataku membuka pembicaraan.
"Lagu apaan Frank?"
"Denger aja sendiri..." kemudian aku memasukkan kaset yang ada di tape mobil dan memutar kenop volume. Keisha memperhatikan sungguh-sungguh. Tak lama kemudian terdengar sebuah intro lagu dengan dentingan piano...

Citra biru... citra khayalku,
membawaku ke alam yang semu,
berkabut kelabu, aku semakin ragu...

"Frank! Citra Biru-nya Vina Panduwinata!" seru Keisha sambil matanya berbinar-binar. Keisha memang orangnya sangat ekspresif.
"Ya, masih ingat ada apa dengan lagu ini?" tanyaku ingin tahu.
"Tentu aja masih Frank! Aku sekarang kalau mendengar lagu ini jadi tersenyum sendiri. Tapi waktu dulu... wuuuu aku sebel banget! Rasanya benci banget kalau ingat lagu ini." (Duuuh bibir itu...)
"Kenapa sebel dan benci Kei?"
"Abis... aku inget banget gimana aku didaulat teman-teman untuk nyanyi di malam perpisahan SMA dengan iringan piano yang kamu mainkan. Aku bisa melihat matamu tersenyum nakal ngegodain aku, biarpun kamu waktu itu nggak ngomong apa-apa. Kalau nggak salah, kita ngadain acaranya di rumahnya si Bagas ya?"

"Hehehe... Ya, aku masih ingat banget kejadian di rumah si Bagas itu. Biarpun kamu keliatan sebel banget sama aku, tapi toh akhirnya kamu mau juga untuk didaulat nyanyi. Kamu tahu nggak, kejadian itu sangat membekas di ingatanku, tepi dengan hasil yang berbeda dengan punyamu." Aku tersenyum kepada Keisha. "Aku suka banget dengan suaramu yang merdu dan enak didengar, sebagaimana teman-teman yang lain juga setuju." Kataku lebih lanjut tanpa bermaksud untuk memuji.
"Ah, Frank... Kamu cuma ingin menyenangkan hatiku aja."

"Kei, kalau nggak gitu khan kamu nggak sering banget disuruh nyanyi sama banyak orang. Tahu nggak Kei, setiap kali aku mendengar lagunya si January Christy, yang kebayang di kepalaku adalah kamu. Aku punya sebuah fotomu yang aku suka sekali. Foto itu diambil oleh Bobby waktu kamu lagi istirahat makan sesudah acara OSIS waktu kita masih kelas satu. Di foto itu kamu sedang asyik makan, duduk di atas meja dengan kaki disilangkan, dan yang paling membuatku suka sekali adalah ekspresi kagetmu yang sempat terekam di foto. Matamu melotot dan bibirmu waktu itu sangat... mmm... menarik sekali!"

"Hahaha... aku ingat Frank, foto mana yang kamu maksud. Si Bobby memang kurang ajar sekali! Aku nggak berhasil merebut foto itu dari tangannya waktu dia pamerkan ke aku sesudah dia cetak, yang akhirnya aku tahu foto itu jatuh ke tanganmu. Aku sebel banget sama kamu dan Bobby waktu itu. Kamu masih menyimpan foto itu Frank?"
"Masih, tapi ada di Indonesia. Tersimpan rapi di sebuah album foto yang sangat istimewa buatku."
"Huuuu... segitunya!" aku hanya menjawab dengan senyuman. Aku meraih tangan Keisha. Jari-jari tangan kananku secara lembut dan perlahan memegang dan menggenggam jari-jari tangan kiri Keisha. Keisha tidak bereaksi.

"Kei..." aku menarik napas panjang.
"Frank..." perlahan Keisha membalas genggaman tanganku dengan memainkan jemari tanganku. Keisha melihat ke arahku. Kami berpandangan sejenak dan saling tersenyum. Ugh... rasa "aneh" itu kembali terasa di dadaku. Vina Panduwinata telah selesai menyanyikan lagu "Citra Biru"nya. Kemudian kaset yang kurekam untuk Keisha meneruskan dengan lagu kedua.
Kulihat Keisha tersenyum, "Frank kamu memang bener-bener kurang kerjaan pakai ngerekam lagu-lagu ini. Masih sebel kalau denger lagu ini Frank?" tanya Keisha tanpa melepaskan genggaman tangannya.
"Ah nggak tuh, malah, aku sekarang suka senyum-senyum sendiri kalau mendengar lagu ini. Lagian, Chrisye memang salah seorang penyanyi favoritku."

Memang, lagu yang sedang dimainkan berjudul "Hip-Hip Hura" karya Chrisye. Lagu ini mengingatkan Keisha dan aku akan malam perpisahan untuk kelas 3 sewaktu kami masih kelas satu. Keisha yang berpasangan dengan Bobby bersama dengan tiga pasangan lainnya menampilkan tari kreasi baru hasil koreografi salah seorang murid satu tiga. Nah, di dalam tarian itu, Keisha "menunjukkan" ke-sangat-akrab-annya dengan Bobby dengan penuh "flirting". Soalnya Keisha tahu bahwa di belakang layar, aku pasti menonton tarian dia. Parahnya lagi, Bobby juga menanggapi "permainan" Keisha dengan baik, sehingga seolah-olah memang di antara mereka berdua ada "apa-apanya". Waktu itu aku "dibakar" api cemburu. Aku merasa seperti dikhianati oleh Bobby, sampai-sampai seusai acara perpisahan itu aku menanyakannya kepada Bobby secara langsung. Dia hanya tertawa dan meninggalkanku tanpa memberikan jawabannya. Ternyata di kemudian hari aku baru tahu kalau Bobby pernah "hutang budi" kepada Keisha, dan Keisha meminta Bobby untuk membantu dia "membuat panas" aku. Tadinya Bobby tidak mau karena aku temannya, tetapi Keisha menggunakan "senjatanya" dan membuat Bobby tidak mampu menolak.

"Frank, aku pikir-pikir kamu itu lucu lho." kata Keisha.
"Kenapa?"
"I ya, zaman di SMA dulu kamu khan mati-matian naksir aku, tapi aku sama sekali nggak suka sama kamu. Kamu sudah aku tolak, sudah aku kerjain, dan sudah aku apain segala macam, tapi tetap aja kamu nggak bergeming. Emangnya kenapa Frank? Penasaran?"
"Siapa bilang aku nggak bergeming? Tunggu aja lagu berikutnya dari Ebiet G. Ade yang berjudul Seberkas Cinta Yang Sirna. Demen Ebiet nggak kamu Kei?"
"Nggak tuh... Terlalu melankolis lagu-lagunya."

"Waktu kamu tolak aku terakhir kali di rumah si Bagas itu, aku udah patah semangat dan patah arang. Akhirnya aku putuskan untuk melupakan kamu dan berkonsentrasi untuk ikutan Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, waktu itu belum ada istilah UMPTN yang baru ada setelah tahun 1989. Pen.), makanya aku bisa sangat menghayati lagu si Ebiet yang bakalan muncul sesudah lagu ini. Nah, ini... udah mulai."

Masih sanggup untuk kutahankan,
meski telah kau lumatkan hati ini.
Kau sayat luka baru di atas duka lama.
Coba bayangkan betapa sakitnya.
Hanya Tuhanlah yang tahu pasti,
Apa gerangan yang bakal terjadi lagi.
Begitu buruk telah kau perlakukan aku.
Ibu menangislah demi anakmu.

"Wow Frank... Segitunya kamu! Apa I ya aku begitu?" tanya Keisha.
"Sssssst... dengerin aja terusannya!"

Sementara aku tengah bangganya,
mampu tetap setia meski banyak cobaan.
Begitu tulusnya kubuka tanganku,
langit mendung gelap malam untukku.
Ternyata mengagungkan cinta,
harus ditebus dengan duka lara.
Tetapi akan tetap kuhayati,
hikmah sakit hati ini.
Telah sempurnakah kekejamanmu?

Aku tidak menyimak akhir dari lagu itu, karena Keisha menarik tanganku yang berada dalam genggamannya ke arah wajahnya. Secara lembut dan perlahan, punggung tanganku dikecupnya. Kulihat di matanya ada setitik air mata yang membuat matanya berkaca-kaca.

"Frank, sebegitu sakit hatinyakah kamu ke aku?" aku tersenyum mendengar pertanyaan Keisha.
"Dulu ya Kei, tapi sekarang sudah nggak lagi. Sudah lama aku kubur rasa sakit hati itu."
"Maafkan aku ya Frank kalau aku sudah membuat kamu begitu sakit hati dan menderita batin." Kata Keisha sambil mengecup punggung tanganku lagi. Aku menikmatinya. Sangat menikmatinya.
"Kei... aku sudah memaafkanmu sejak lama, sampai aku lupa. Kalau nggak begitu, apa sekarang kita bisa satu mobil dan bakalan satu kamar?"
Keisha kembali tersenyum. "I ya ya Frank! Aku kok jadi melankolis begini ya? Terima kasih ya Frank. Kamu baik sekali."
"Lho... baru tahu?" jawabku sambil bercanda.

Tak berapa lama, sampailah kami berdua ke pelataran parkir hotel di bawah tanah. Setelah mengunci mobil, aku kembali membawakan tas jinjing milik Keisha dan mempersilakan dia untuk menuju lift. Aku menekan tombol lantai kamarku.
"Welcome..." kataku setelah membukakan pintu kamarku dengan kunci elektronik hotel dan mempersilakan Keisha untuk masuk.
"Sorry Kei, waktu aku check in, aku minta non smoking double bed tapi kebetulan lagi nggak ada. Adanya cuma ini." Kataku sambil menunjuk ke arah tempat tidur ukuran King-size. Keisha mengangguk.
Jam alarm yang ada di atas meja di sebelah tempat tidur telah menunjukkan hampir pukul dua pagi. "Silakan kamu duluan ke kamar mandi kalau kamu mau Kei. Aku nanti sesudah kamu. Aku bisa cepat kok." Tawarku.

Keisha membuka tas jinjingnya dan mengambil perlengkapan kamar mandinya yang dikemas dalam sebuah kotak dari plastik bergambar bunga dan beberapa potong pakaian. Sekilas aku melihat dia secara cepat membungkus pakaian dalamnya di dalam lipatan piyama yang akan dipakainya. Tak berapa lama kemudian, Keisha sudah berada di dalam kamar mandi dan kudengar suara shower. Aku sendiri menyalakan tv dan melepaskan jaket, sepatu dan kaos kakiku. Kuatur suhu ruangan untuk tetap bertemperatur sekitar 75 derajat Fahrenheit (sekitar 25 derajat Celcius) dengan menekan tombol pengatur suhu ruangan.

Kubuatkan secangkir teh hangat untuk Keisha. Aku sendiri hanya minum segelas air putih. Kembali aku ke arah sofa dan duduk menonton acara tv yang tidak menarik. Aku mencari-cari saluran yang kira-kira bisa kunikmati. Pukul dua pagi, paling juga sebagian besar isinya infomercial. Akhirnya aku bosan sendiri. Aku melepaskan kaca mataku dan mengusap mukaku, kemudian meluruskan kedua kakiku dan kedua tanganku, mengeliat dan kemudian menggoyang-goyangkan seluruh tubuhku seperti kucing atau anjing yang berusaha untuk mengeringkan tubuhnya. Inilah cara cepat untuk menghilangkan kepenatan tubuh yang kupelajari dari Mas DSB, guruku.

"Aku sudah selesai Frank." Tiba-tiba Keisha mengejutkanku. Rambutnya yang masih agak basah berusaha dikeringkannya dengan handuk, wajahnya yang tampak berseri-seri tanpa kaca mata, dengan tubuh kurusnya yang dibungkus piyama satin berwarna hijau tua, membuatku tertegun. Belum lagi keharuman aroma segar shampoo dan sabun yang dipakainya yang menggelitik syaraf-syaraf indera penciumanku. Ini bukan Keisha Saraswati Buntaran yang kukenal, pikirku.
"Hei Frank! Kok jadi bengong gitu? Emang ada apa?" Keisha menyadarkanku dari ketertegunanku.
"Ah nggak Kei... Kamu... nggak deh!" jawabku sambil bangkit menuju kamar mandi dan tersenyum ke arah Keisha. "Aku kenapa Frank?" tanya Keisha lagi. "Nggak jadi... Itu aku buatkan kamu secangkir teh hangat." Jawabku sambil menunjukkan teh hangat yang kubuat untuk Keisha yang kuletakkan di atas meja tulis. Aku hanya mendengar sepotong suara Keisha berterima kasih kepadaku karena aku sudah berada di dalam kamar mandi dan menutup pintunya.

Ah, nyaman rasanya air hangat yang menyiram dengan deras tubuhku dengan tekanan yang pas. Bahu, tengkuk dan belikatku rasanya seperti dipijat. Rasanya penat dan capek yang kurasakan turut larut bersama siraman air hangat dari shower. Aku tidak berlama-lama di kamar mandi, hanya sekitar sepuluh sampai lima belas menit.
Aku keluar dengan hanya mengenakan celana pendek boxer, karena aku lupa membawa baju tidurku ke kamar mandi. Sepertinya kini giliran Keisha yang tertegun melihatku. Aku agak jengah dan malu juga dilihat Keisha seperti itu.

"Frank... Kamu latihan fitness ya?" tanya Keisha.
"Ah nggak, aku cuma latihan silat biasa. Paling juga sit up dan push up." Aku menjawab sambil menuju ke lemari pakaian untuk mengambil kimono tidurku dan mengenakannya. Keisha sudah tiduran di bawah selimut saat aku mengambil sebuah bantal untuk kupakai tidur di sofa.
"Mau ngapain kamu Frank?" tanya Keisha.
"Aku mau tidur di sofa." Jawabku singkat sambil tanganku mematikan tv.
"Ngapain tidur di sofa? Kamu tidur di sini aja bareng aku. Tempatnya cukup lebar buat kita berdua." Aku sepertinya tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. "Atau kamu memang nggak mau tidur sebelahan dengan aku?" sambung Keisha.

"Kamu serius Kei?" tanyaku sambil tidak percaya.
"Ya! Kalau ada yang harus tidur di sofa, harusnya aku yang harus tidur di sofa, karena ini khan kamarmu!"
Tanpa ragu lagi aku segera menyusul Keisha menyelinap di bawah selimut. Hatiku berdebar kencang, rasanya seperti mau loncat keluar. Aku menatap langit-langit kamar.
"Kei..." aku menggenggam jemari tangan kanan Keisha dengan tangan kiriku. Kubawa jemari tangan Keisha ke dadaku.
"Coba kamu rasakan Kei..." Aku masih menatap langit-langit.
"Kenapa Frank? Dadamu berdebar kencang. Kamu sakit?" tanya Keisha dengan nada kuatir. Aku menggeleng sambil tersenyum ke arahnya. Kutatap Keisha dalam-dalam. Aku menarik napas panjang.

"Entahlah Kei... Sejak aku ketemu kamu di stasiun bus tadi, aku rasanya seperti tak karuan. Apa ini yang namanya cinta ya Kei? Aku nggak tahu Kei... Apa ini cintaku yang dulu ke kamu, yang lama terpendam dan terkubur, yang sekarang bangun lagi?" Keisha melepaskan genggamanku, dan tangan lembutnya mengusap dadaku, lembut, perlahan. Jantungku rasanya seperti tak kuat lagi memompa. Keisha mencium pipi kiriku. Perlahan... lembut. Kubalas dengan mencium keningnya. Keisha memejamkan matanya. Sepertinya dia menikmati ciumanku di keningnya. Perlahan aku turun mencium mata kirinya, kususuri perlahan dengan bibirku hingga berakhir di mata kanannya. Kuelus lembut rambutnya dan kumainkan rambutnya dengan jemari tanganku. Kukecup hidungnya, kemudian bibirku perlahan menyusuri pipinya. Kukecup perlahan. Pelan-pelan, aku menyusuri pipinya. Ketika hendak kucium bibir Keisha, dia memalingkan wajahnya. Keisha perlahan membuka matanya.

"Ssstt... Frank..." Keisha meletakkan telunjuk kanannya di bibirku.
"Kenapa Kei?" tanyaku ingin tahu. "Jangan dulu Frank... Kamu capek, aku capek, dan kamu harus bangun untuk pergi ke konferensimu itu. Ayo tidur Frank!" Duuuh... rasanya... Dan Keisha memelukku malam itu (eh... mungkin lebih tepatnya pagi, karena itu sekitar pukul tiga dini hari). Keisha mencium dadaku sebelum akhirnya terlelap dalam pelukanku.
Pagi itu aku bangun sekitar pukul delapan kurang seperempat saat alarm di sebelah tempat tidurku berbunyi. Aku masih dalam posisi memeluk Keisha yang juga masih memelukku. Kucium lembut keningnya, dan perlahan aku melepaskan pelukanku. Aku harus bersiap-siap ke konferensi. Bus jemputan dari hotel ke tempat konferensi akan berangkat tepat pukul sembilan. Teman-temanku satu sekolah janjian akan bertemu di lobby bawah seperti kemarin.

Keisha tiba-tiba bangun dan bergegas menuju ke kamar mandi. "Pagi Frank... Sorry ya Frank, aku masuk kamar mandi duluan. Cuma sebentar kok." Aku cuma bisa melihat kelebatan Keisha yang segera menutup pintu kamar mandi. Aku menyiapkan baju dan setelan jas yang akan kupakai. Untung saja kemarin malam aku sudah menyetrika kemeja yang akan kupakai pagi ini.
"Nah, aku sudah segar sekarang Frank. Kamu mau aku pesankan makan pagi dari room service?" Keisha yang baru keluar dari kamar mandi langsung mencium pipiku. "Aku makan pagi di bawah aja Kei. Terima kasih. Kamu sendiri kalau mau pesan, silakan aja. Masukkan tagihannya di bill-ku aja." Keisha tidak menjawab, dia menuju ke arah mesin pembuat kopi dan menyalakannya.

"Thanks Frank. Aku sih gampang. Aku bikinkan kopi ya Frank. Pakai gula dan krim?"
"Boleh Kei. Terima kasih. Aku suka pakai gula tiga bungkus, tanpa krim. Aku berberes dulu." Jawabku sambil kemudian masuk ke kamar mandi. Aku cuma mencuci muka dan menggosok gigiku. Aku segera mengenakan pakaian dalamku dan mulai mengenakan kemeja biru lengan panjang, menyusul celana panjang berwarna abu-abu muda, celana setelan jasku. Aku menyemprotkan parfum di belakang kedua telingaku dan pergelangan tangan, mengusap after shave di pipi dan dagu. Aku tak perlu menyisir rambut, karena potongan rambutku sangat pendek dan tidak ada bedanya kalau kusisir atau tidak. Hanya kusisir dengan jari-jari tanganku. Setelah selesai mematut di kaca, aku keluar dari kamar mandi.
Kulihat Keisha sedang mengaduk kopi untukku. Kemudian Keisha menghampiriku dan mengancingkan kemejaku di bagian leher, lalu Keisha mengambil dasi yang sudah kusiapkan dan dia melingkarkannya di leherku.

"Kopimu sudah siap Frank. Sini biar aku pasangkan dasimu." Tangan Keisha dengan trampil melibat dan memasang dasi di leherku, "Dasimu bagus Frank. Desainnya aku suka."
"Terima kasih Kei. Dasi ini adalah hadiah ulang tahunku tahun lalu." Tentu saja aku tidak memberi tahu Keisha bahwa dasi Gucci ini adalah pemberian Jeanne. Dan memang, baru kusadari bahwa pakaian yang kukenakan hari ini semua adalah pemberian Jeanne dan Mitsuko. Mulai dari kemeja Calvin Klein, setelan jas double breasted Hugo Boss, ikat pinggang Bruno Magli, kaus kaki Johnston & Murphy dan sepatu Salvatore Ferragamo. Wah, aku tiba-tiba merasa bersyukur dengan perhatian mereka berdua. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba lewat di kepalaku, tapi perasaan itu dengan cepat hilang.

"Kamu rencananya hari ini mau ke mana Kei?" tanyaku sambil menuju tempat di mana Keisha meletakkan kopi untukku. "Aku nggak punya rencana yang pasti. Paling juga jalan-jalan ke mall atau ke sekitar Michigan Avenue." Jawab Keisha. Aku mencicipi kopi yang dibuat Keisha.
"Thanks buat kopinya. Rasanya pas!" Perlahan, kunikmati kopi buatan Keisha.
Setelah meneguk satu tegukan kopi, "Kalau kamu sempat, mampir aja ke konjen kita di Michigan Avenue. Alamat pastinya aku lupa, tapi bisa kamu cari di buku telefon." Aku meneguk satu tegukan lagi, "Kamu bawa aja kunci kamar yang di atas meja itu, aku punya satu lagi kok."
"Kamu bakalan pulang jam berapa Frank?" tanya Keisha.

"Nggak tahu, tergantung dengan teman-temanku. Kalau kamu mau, kamu bisa pakai mobil sewaanku. Nggak usah kuatir soal asuransi... Aku sudah masukkan namamu sebagai second driver waktu aku sewa mobil itu. Cuma, jangan lupa kamu fax fotokopi SIM-mu ke Hertz. Nomernya ada di dekat lampu meja itu. Kamu bisa pakai mesin fax di business center di bawah."
"Ah Frank... Kamu kok baik dan percaya banget sama aku sih?"
"Udahlah Kei, nggak usah kamu sebut-sebut lagi kalau aku baik. Nanti kepalaku jadi besar lho! Khan repot nantinya!" aku tersenyum, "Aku cuma berpikir praktis aja. Mobil udah disewa, terus ngapain dianggurin aja? Lagian, aku sudah bayar asuransi full cover, jadi kalaupun mobil itu kenapa-napa, udah ditanggung asuransi. OK... Aku pergi sekarang ya Kei, udah hampir setengah sembilan." Aku mengambil tas kerjaku. Keisha menghampiriku, kemudian dia memelukku. Kucium keningnya. Keisha memejamkan mata.

"Hati-hati ya Frank. Selamat berkonferensi" Kemudian Keisha mengecup pipiku. Aku bergegas meninggalkan kamarku dan menuju lift, untuk kemudian berusaha mengejar makan pagi sebelum bus berangkat.
Hari ini rasanya waktu berjalan sangat lambat. Konferensi yang kuhadiri dengan para pembicara yang sangat ahli di bidangnya terasa sangat membosankan dan hambar. Berulang kali aku melihat pergelangan tanganku, berharap agar acara bisa segera berakhir. Teman-temanku dengan antusias masih membicarakan topik yang baru saja dibahas saat rehat minum kopi tiba. Aku bergegas menuju ke sebuah telefon umum. Ku telefon kamar hotelku. Tak ada yang mengangkat, berarti Keisha belum pulang, pikirku. Aku tidak meninggalkan pesan di mesin jawab. Aku juga menyempatkan untuk menelefon Jeanne dan Mitsuko. Mereka rupanya sedang tidak berada di tempat tinggal masing-masing. Tentu saja, pikirku terlambat, pukul tiga sore waktu Chicago berarti pukul satu siang di Los Angeles, pasti mereka sedang berada di suatu tempat. Aku berhasil menghubungi mereka di telefon genggam masing-masing. Pembicaraan kami tidak lama.

Sesi terakhir dari konferensi hari ini terasa semakin membosankan dan panjang. Akhirnya pukul lima sore, konferensi hari ini selesai. Teman-temanku mengajakku untuk pergi ke sebuah bar untuk minum-minum. Aku menolak dengan halus. Pertama, aku tidak suka minuman beralkohol (pernah mencoba, dan aku memang tidak suka), kedua, aku ingin cepat-cepat bertemu dengan Keisha lagi. Aku langsung kembali ke hotel dengan bus antar-jemput.
Setiba di hotel, aku menuju ke sebuah telefon internal hotel dan menekan nomor pesawat kamarku. Dua kali deringan dan telefon diangkat. Aha! Keisha sudah pulang.

"Halo..." suara merdu Keisha terdengar di telefon. Aku girang.
"Hai Kei... aku udah di bawah nih. Aku ke atas ya sekarang!" kataku.
"Hai Frank! Ya... aku tunggu!" setelah meletakkan gagang telefon, aku bergegas menuju lift.
Kuketuk pintu kamarku. Tak lama kemudian pintu terbuka. Aku terkejut dan tercengang melihat Keisha. Dia mengenakan sebuah gaun malam berwarna hitam dengan baju luaran berwarna putih. Bibirnya dipolesi dengan lipstik tipis dengan make up yang tidak menyolok. Aku kagum melihatnya. Benar-benar bukan Keisha yang aku kenal. Aku mencium wangi harum parfum yang sepertinya aku kenal. Ya! Ini seperti wangi Mitsuko. Tak salah, pasti parfum yang dipakai Keisha adalah Issey Miyake (belakangan kuketahui bahwa dugaanku ternyata benar). Sejenak aku tertegun dan tak mampu berbicara.

"Hai Frank! Gimana konferensinya?" Keisha menyambutku sambil meraih tas kerjaku. Pipiku diciumnya.
"Terus terang... sangat membosankan!"
"Lho kenapa? Oh ya, ada lemonade kesukaanmu di dalam kulkas." Aku membuka lemari es dan menuangkan lemonade ke dalam gelas.
"Topiknya sih menarik, tapi pikiranku nggak di sana." Aku minum lemonade secara pelan-pelan. "Pikiranku pengin buru-buru ketemu kamu lagi."
"Hahaha... Frank... Apa kamu juga selalu begini ke semua cewek yang kamu suka?" tanya Keisha sambil tertawa. Aku harus menjawab bagaimana? Aku memilih untuk tidak menjawab, malah aku mengalihkan pertanyaan Keisha dengan sebuah pertanyaan, "Kamu dandan begitu mau pergi ke mana Kei?"

"Frank, aku tadi pas jalan-jalan, ketemu sebuah resto Itali yang aku pikir makanannya pasti enak. Abis, aku baca di buku panduan tentang Chicago, restoran itu dapat rekomendasi empat bintang dan harganya masih masuk akal. Jadi, aku mampir ke sana dan memesan tempat buat kita berdua nanti untuk jam tujuh." Keisha menjelaskan rencananya sambil membukakan jas yang kupakai dan kemudian menggantungnya di gantungan baju di dalam lemari. Aku melepaskan dasi yang kupakai lalu kugulung dan kumasukkan dalam koperku.
"Wah... bagus juga rencanamu. Aku setuju aja dengan pilihanmu. Aku juga tadinya punya rencana untuk makan malam bareng kamu, tapi aku belum punya pilihan. Tadinya aku mau minta saranmu, ternyata kamu malah sudah dua langkah ke depan." Aku membuka kemejaku dan kumasukkan ke dalam laundry bag. "Sekarang aku mau mandi dulu. Badanku rasanya lengket nih!"

Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat sepuluh waktu aku keluar dari kamar mandi. Tanpa malu-malu, aku keluar kamar mandi hanya dengan mengenakan kaus dalam dan celana dalam. Diam-diam kuperhatikan Keisha yang sedang mengamatiku dari sofa. Dia seolah-olah tidak perduli, walaupun aku tahu dia terkadang mencuri-curi pandang ke arahku. Aku malam ini memilih kaus turtle neck lengan panjang berwarna hitam dan celana panjang hitam. Jadi, temanya mungkin "hitam-hitam" malam ini.
Tak sampai sepuluh menit, aku sudah siap untuk pergi. Sebelum keluar kamar, aku menyambar jaket kulitku (yang juga berwarna hitam). Keisha mengomentari bahwa kami berdua seperti akan pergi untuk manggung acara vocal group. Keisha menggandeng tangan kiriku ketika keluar dari kamarku hingga ke mobil. Aku tak banyak bicara, hanya mengomentari setiap pertanyaan Keisha tentang berbagai hal.

Hari Jumat malam, harusnya jalanan lumayan ramai. Mungkin karena liburan Thanksgiving, jadinya tidak begitu ramai. Baru kusadari bahwa penyelenggara konferensi yang aku ikuti termasuk "berani", karena mengambil waktu bertepatan dengan liburan Thanksgiving. Biasanya, orang-orang Amerika Serikat lebih senang berkumpul dan liburan bersama keluarga. Kalau aku pikir, konferensi ini termasuk sukses, melihat banyaknya peserta yang datang. Aku mengendarai mobil menyusuri jalanan di kota Chicago. Letak restoran Italia yang dimaksud Keisha ternyata tidak terlalu jauh dari hotel. Perjalanan hanya kutempuh kurang dari setengah jam.

Kami menikmati hidangan khas Italia sambil bercerita panjang lebar tentang apa saja. Keisha memesan sup asparagus sebagai hidangan pembuka dan shrimp fettuccini sebagai menu utamanya. Aku agak terkejut juga saat Keisha memesan anggur merah. Keisha mengatakan bahwa dia sangat menikmati anggur merah dan dengan "bangganya" dia bisa menyebutkan nama-nama anggur merah favoritnya. Aku sendiri tidak suka minum minuman beralkohol, biarpun itu "hanya" segelas atau sebotol bir. Sebagai hidangan penutup, Keisha memesan sepotong tiramisu. Seingatku, waktu itu aku memesan sup kepiting, kemudian spaghetti meat balls dengan saus spesial buatan restoran ini ditambah saus pesto. Untuk hidangan penutup aku memilih sepotong strawberry cheese cake kegemaranku dengan menikmati secangkir cappuccino bersama biscottinya.

Aku adalah seorang peminum kopi dan teh. Biarpun aku seorang peminum kopi yang lumayan fanatik, tapi aku tidak sampai kecanduan. Aku bisa saja berhari-hari tidak minum kopi dan tubuhku tidak sampai "menagih". Sebaliknya, aku bisa saja minum tiga-empat gelas kopi pekat, tapi kalau aku ingin tidur, ya aku tinggal tidur saja. Sepertinya kopi tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap tubuhku. Bicara soal kopi, hingga saat ini menurutku memang belum ada kopi yang pernah kurasakan bisa menandingi kopi-kopi dari Indonesia. Mulai dari yang paling "ringan" (kopi Bali) hingga kopi paling "keras" (kopi Medan). Keistimewaan kopi dari Indonesia menurutku karena kadar keasamannya yang rendah, sehingga tidak terlalu mempengaruhi sistem pencernaanku. Tidak seperti kopi dari Hawaii (Kona Hawaii) yang kadar keasamannya tinggi, sehingga sedikit saja aku meminumnya, rasanya seperti minum obat pencahar. Kalau soal rasa, belum pernah aku meminum kopi yang bisa mengalahkan rasa "kopi luwak", yaitu kopi Jawa yang ditumbuk dari biji-biji kopi yang ditelan bulat-bulat oleh seekor musang (luwak dalam Bahasa Jawa) dan dikeluarkan kembali dalam bentuk utuh melalui kotorannya. Kopi semacam ini sudah jarang sekali.

Tak terasa kami ngobrol hingga pukul sembilan malam. Akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan restoran ini. Keisha tidak ingin segera kembali ke hotel. Keisha dan aku akhirnya hanya berkeliling mengendarai mobil menikmati Chicago di waktu malam. Tak banyak yang kami bicarakan dalam perjalanan ini. Pukul setengah sebelas kami sudah kembali menuju hotel dan setengah jam kemudian kami sudah sampai di kamarku.
Keisha segera masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Ketika keluar dari kamar mandi, Keisha sudah mengenakan piyamanya. Kini giliranku untuk berganti pakaian dan bersiap untuk tidur. Seperti biasa, aku mengenakan kimono untuk tidur dan hanya mengenakan celana dalam di dalamnya.
Aku berbaring di sebelah Keisha. Kembali ada rasa aneh yang menjalari dadaku. Rasa hangat, rasa bergetar. Keisha memegang tanganku di balik selimut.

"Frank..." kata Keisha perlahan.
"Hmm..." jawabku sambil melihat ke wajahnya, yang berjarak sangat dekat.
"Aku... aku mau ngomong sesuatu, tapi malu mau ngomonginnya..."
"Ada apa Kei?" aku mengelus punggung tangan Keisha dengan jemariku.
"Malu Frank aku mau ngomonginnya..." Keisha tampak ragu-ragu sekali.
"Omongin aja Kei... Aku siap ngedengerinnya. Jangan kuatir."
"Frank... Kamu... kamu mau pegang nggak Frank?" tanya Keisha malu-malu sambil tangannya menuntun tanganku ke arah dadanya. Aku langsung mengerti maksudnya.
"Kei... Kei... gitu aja kok malu. Jelas aja aku sama sekali nggak keberatan! Mana ada kucing nolak ikan?" langsung aja aku menghadapi Keisha. Kucium lehernya yang beraroma segar sabun pencuci muka, sementara tanganku perlahan meraba bukit dadanya yang tidak terlalu besar. Aku meremas lembut bukit dada Keisha yang sebelah kiri. Perlahan, mungkin malah cenderung seperti mengelus. Keisha mengerang pelan, "Frank..., enak Frank..." Aku tahu Keisha tidak memakai bra, itu bisa kurasakan dari rabaanku.

Perlahan kubuka kancing-kancing piyama Keisha. Bibirku masih menciumi sekitar leher dengan sesekali kugigit-gigit kecil dagunya. Terpampanglah sepasang "bukit" (susah juga disebut "bukit" karena nyaris rata) kembar Keisha dengan putingnya yang berwarna coklat muda dan sudah tegang. Ciuman bibirku perlahan turun dari leher ke dada kiri Keisha. Kukecup perlahan puting kirinya, kujilat perlahan dengan ujung lidahku. Keisha mengerang lagi. Kemudian kukulum putingnya yang sudah tegang itu, kuisap dan kumainkan dengan lidahku, kujawil-jawil dengan lidahku. Keisha mendesis-desis keenakan sambil tangannya menyisir rambut kepalaku.
Selagi Keisha sedang keenakan mendesis-desis sambil memejamkan mata, aku dengan nekat menyergap bibirnya yang seksi dan sensual itu. Kucium bibir Keisha yang merah merekah alami yang sedang menikmati sensasi yang kuberikan. Kukulum bibirnya. Aku sudah bersiap bahwa dia akan marah. Ternyata Keisha membalas kuluman bibirku. Kami berciuman, saling berpagutan, saling mengulum. Keisha malah memainkan lidahnya di dalam mulutku sambil kedua tangannya memegangi kepalaku.

Kami saling bergumul. Aku memeluk erat tubuh Keisha. Aku tumpahkan semua rasa rindu yang mungkin pernah aku pendam sejak lama. Ada rasa cinta dan sayang yang menjalari hatiku saat itu. Mungkin ini yang membedakan antara "making love" dan "just sex". Kami saling berciuman seolah-olah tak mau melepaskan diri satu sama lain.
Perlahan, kulepaskan bibirku dari bibir Keisha. Kembali aku memainkan bukit dada Keisha dengan bibir dan lidahku. Kali ini yang sebelah kanan. Lidahku mengisap dan menjawil-jawil puting bukit dada Keisha yang sebelah kanan, sementara ibu jari dan telunjuk kananku memainkan putingnya yang sebelah kiri. Kuputar-putar dan kupilin-pilin dengan lembut dan mesra puting kiri Keisha. Dia kembali mengerang-erang, mendesis-desis keenakan, dengan sesekali memanggil namaku.

Kususuri dada Keisha hingga ke pusarnya. Kujilati sekitar pusar Keisha, dia melenguh kegelian dan menggeliat. Lidahku menjalar-jalar hingga terhalang oleh celana piyama Keisha. Kuturunkan celana piyama Keisha hingga ke panggulnya. Ada rambut-rambut yang sangat halus di daerah sekitar pertengahan antara pusar dan selangkangan Keisha. Celana dalamnya yang berwarna putih perlahan aku hendak singkapkan.
Keisha menahan tanganku, "Jangan Frank...!" katanya lemah. Aku biarkan celana dalamnya, tapi tanganku kemudian menarik celana piyama Keisha hingga lepas. "Jangan kuatir Kei... Aku tidak akan melakukan apa yang kamu tidak mau." Kataku sambil terus menciumi dan menjilati pusar Keisha dan sekitarnya, sementara tangan kiriku memilin-milin puting kanan Keisha.

Kukecup dan kucium selangkangan Keisha. Celana dalamnya sedikit basah. Aku mencium wewangian lembut yang khas dari selangkangan Keisha. Dia masih mendesis-desis. Lebih-lebih saat pahanya aku susuri dengan jari-jari tanganku yang kemudian kususul dengan lidahku yang memutar-mutar menyusuri setiap sentimeter dari pahanya yang mulus.
Keisha memiliki kaki yang jenjang dan mulus berwarna coklat yang sangat muda, nyaris putih. Tak ada bekas-bekas luka atau pun warna yang berbeda (discolorization) atau pigmentasi pada kulitnya. Jangan ditanya bagaimana perasaanku waktu itu. Keisha melihatku dengan sedikit keheranan karena aku memperhatikan kedua kakinya. "Kenapa Frank?"

"Nggak ada apa-apa Kei. Aku sedang mengagumi keindahan kakimu yang jenjang dan mulus ini." Keisha tersenyum. Ada semburat merah di wajahnya.
"Ooouuuggghh... Frank!" lenguh Keisha sambil meremas rambutku saat lidahku menusuk selangkangannya. Lidahku mendesak masuk celana dalam Keisha dan menjawil-jawil klitorisnya. Badan Keisha sebentar mengejang sebentar melemas. Kedua kakinya kuangkat tinggi-tinggi sehingga membentuk huruf "V". jari-jari tanganku menjalari dan menyusuri belakang Keisha, sementara lidahku masih menjilati daerah selangkannya yang masih ditutupi celana dalam berkain tipis (sutra? Yang jelas bukan bahan katun). Lama juga aku "mengerjai" selangkangan Keisha dengan lidahku. Celana dalam Keisha menjadi basah, campuran antara cairan kami berdua, dari "mulut" Keisha dan dari lidahku.

Kugigit-gigit kecil kedua paha dalam Keisha sambil kedua tanganku meremas-remas pantatnya. Sesekali kuvariasi dengan remasan, jawilan dan pilinan jariku terhadap bukit dadanya. Keisha seringkali menggelinjang kegelian saat lidahku menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang sensitif.
Akhirnya perlahan kutarik kedua tangan Keisha supaya Keisha duduk. Kulepas baju piyama Keisha lalu kupeluk Keisha dari belakang. Kedua tanganku bermain-main di kedua bukit dada Keisha, sambil lidahku menjilati tengkuk dan belakang telinganya. Sekali-kali kutiup perlahan ke arah telinganya. Setiap kali kutiup telinganya, Keisha merinding. Kugigit-gigit lembut bahu kanan Keisha. Tampaknya Keisha sangat menikmati "pelayananku" ini. Keisha menengok ke arahku. Bibirnya yang terbuka mengundangku untuk melumatnya. Kami saling berciuman sambil tanganku tak lepas dari bukit dadanya.

Aku menjilati setiap bagian dari tulang belakang Keisha dengan tak lupa memperhatikan daerah tulang belikat. Saat lidahku sampai pada pinggangnya, aku menjilati daerah itu sambil jari-jariku menari-nari di badan sampingnya. Keisha menggelinjang kegelian.
Perlahan kutundukkan badan Keisha ke arah depan, sehingga kini Keisha dalam posisi menungging. Kembali lidahku beraksi di daerah kemaluan Keisha. Kembali Keisha mendesis-desis dan menceracau. Tanganku tak tinggal diam. Pantat Keisha kuremas-remas dan kumainkan yang sesekali aku gigit lembut.
Sampai suatu ketika, Keisha tak tahan lagi. Dia membalik ke arahku. Dipeluknya aku erat-erat dan dilumatnya bibirku. Kubalas sambil kedua titik "ming-men"-nya kuputar-putar dengan kedua jari telunjukku, kualiri sedikit getaran-getaran tenaga dalamku yang terasa hangat. Keisha mengejan dan memelukku erat sekali, bibirku digigitnya. Dua tiga detik kemudian, Keisha menjadi lemas. Keisha sudah "sampai" rupanya. Kulirik jam alarm di atas meja samping tempat tidur, "Hmm dua jam, not bad!" pikirku.

Keisha menciumi wajahku. Kubawa dia kembali berbaring di tempat tidur. Kami masih saling berpelukan.
"Frank... terima kasih! Kamu hebat! Kamu bisa sabar dan mengerti apa yang aku mau. Kamu nggak egois, kamu memberi tanpa meminta balasan!"
"Sssttt..." jawabku sambil kembali mengecup bibir Keisha, "I think I am still in love with you!" Keisha hanya tersenyum mendengar bisikanku.
"Terima kasih Frank. Tapi aku masih belum bisa menerimamu, kamu adalah seorang teman yang sangat baik buatku. Ada berbagai alasan yang aku nggak bisa cerita ke kamu. Mungkin belum saatnya." Aku tak menjawab, hanya memandangnya dengan senyumanku. Ada berjuta perasaan yang berkecamuk di dadaku saat itu, yang aku nggak tahu, yang aku nggak bisa jabarkan. Akhirnya kami berdua terlelap tak berapa lama kemudian.

EPILOG

Hari Sabtu, hari terakhir konferensi. Rasanya pagi ini aku bangun dengan sangat malasnya. Tapi aku harus bangun dan pergi ke konferensi bergabung bersama teman-temanku. Keisha terbangun saat aku kecup keningnya dan keluar dari selimut menuju ke kamar mandi.
Konferensi hari ini rasanya sama saja seperti kemarin, membosankan! Dan hari ini waktu juga terasa berjalan sangat lambat hingga pukul lima sore. Malam ini Keisha dan aku makan malam di restoran hotel, kemudian kami menonton sebuah film di bioskop sinepleks di sebuah mal. Pulangnya kami mampir ke kafe Starbuck untuk menikmati secangkir caffe latte dan cappuccino.

Malam ini kami melakukan lagi hal yang serupa seperti kemarin malam, namun kali ini aku yang memulai dan Keisha lebih aktif dibandingkan kemarin. Sengaja tidak aku ceritakan secara detil karena hampir sama seperti apa yang sudah aku ceritakan di atas. Keisha masih belum mau "menyerahkan diri" secara total kepadaku.
Hari Minggu keesokan harinya, aku mengantarkan Keisha ke stasiun bus Greyhound pagi hari sekitar pukul sembilan. Kutunggu hingga bus yang ditumpangi Keisha hilang dari pandanganku. Ada bagian dari hatiku yang terbawa oleh kepergian Keisha dari pandanganku. Aku sendiri hari ini mengembalikan mobil yang kusewa dan berkumpul kembali bersama teman-temanku di bandara O'Hare Chicago untuk kembali pulang ke Los Angeles.

Bersambung?

Seperti biasa, cerita ini akan berlanjut kalau masih ada yang berminat untuk mengetahui kelanjutannya. Silakan layangkan email ke untuk segala kritik dan komentar. Masih ingat Benny Chang, Hiro Yoshimitsu, Mitsuko Kajimura? More to come if you guys want it...

Salam,
Frankie Harahap
Keisha 2: Saint Louis Blues
Pengarang : "Frankie Harahap"
Tanggal : 23 Februari 2002 (dimuat di CeritaSeru tgl 20 April 2002)
Jenis : Seks Umum, Silat
Rating : Bagus Sekali

Sinopsis: Di musim panas 1997, Frank mengunjungi apartemen Keisha di St Louis. Di situ mereka menikmati hubungan seks yang hebat. Bagi penggemar Tao, Frank memberikan pengetahuan tentang bagaimana caranya memastikan seseorang wanita masih perawan atau tidak. Sebulan kemudian Frank bertemu Rani di Wichita dalam acara International Festival, yang melibatkan perguruan-perguruan silat manca negara. Kita disuguhi gambaran kehebatan silat tenaga dalam Indonesia. Di akhir cerita ada kejutan yang membuat kita semua bersedih. Apa itu?

Para pembaca CCS, terima kasih atas respon yang Anda sekalian berikan buatku (terutama yang telah lama menanti karyaku berikutnya). Harap maklum, keterlambatan bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah sibuknya aku dalam kehidupanku sehari-hari dan juga kesibukan kru CCS untuk membaca, menilai dan memuat karya-karya yang masuk hingga ke mailbox pembaca. Jadi, tentu saja karyaku juga harus antri menunggu giliran. Sekedar klarifikasi bagi kru CCS, karyaku yang lalu (Keisha 1) adalah sebuah kisah nyata, bukan fiksi. Mudah-mudahan setelah lama "absen", aku tidak kehilangan gaya penulisanku. Terima kasih Bung Wiro cs!

KEISHA 2: SAINT LOUIS BLUES

PROLOG

Sejak pertemuanku dengan Keisha di Chicago pada liburan Thanksgiving 1996 yang lalu, aku makin sering bertelefon dengan Keisha, tentu saja terkadang sambil sembunyi-sembunyi bila ingin berbicara lama di telefon. Biasanya aku lakukan di kantorku, pada saat aku sedang tidak terlalu sibuk. Seringkali juga aku melakukan "phone sex". Memang, kedengarannya aneh, tapi Keisha dan aku menyukainya. Mungkin karena seolah-olah aku "berselingkuh" dengan Keisha dari Jeanne dan Mitsuko. Padahal, kalau saja aku mau berterus terang, kemungkinan besar Jeanne dan Mitsuko tidak akan keberatan aku menjalin "hubungan asmara". Tapi hal itu tidak kulakukan, mungkin karena ada faktor "curi-curi" itu yang membuatku lebih bergairah? Aku yakin bahwa Jeanne dan Mitsuko kemungkinan besar mengetahui akan hal ini, tapi mereka tidak pernah menanyakan dan menyinggungnya.
Menurutku, cinta adalah sesuatu yang timbulnya dari hati dan perasaan yang paling dalam. Cinta adalah lawan dari benci, bila hati tidak terlalu banyak dipenuhi oleh rasa benci (benci dalam bentuk dan terhadap apa saja) maka rasa cinta akan semakin banyak dan kental. Cinta bisa timbul searah, dan bisa timbul dua arah. Kalau cinta timbul searah (berarti bertepuk sebelah tangan) dan ternyata berubah menjadi benci, maka menurutku, itu bukanlah cinta yang benar-benar, hanya nafsu. Wah, aku kok jadi melantur ngomongin soal cinta.
Untungnya Jeanne dan Mitsuko bukan seperti perempuan kebanyakan. Mereka percaya bahwa yang merekatkan kami adalah cinta. Tidak ada ikatan apapun di antara kami kecuali cinta itu. Kalau cinta sudah hilang, maka siapa yang kehilangan rasa cinta itu boleh bebas pergi melepaskan diri. Tapi hingga kini, cinta yang merekatkan kami itu untungnya tidak pernah pergi.
Salah seorang temanku pernah berkata, "Tahu apa kamu soal cinta? Kamu sendiri punya cewek banyak dan mencintai banyak perempuan. Cinta yang murni itu setia sampai mati pada satu orang!" Aku tidak setuju dengan pendapatnya. Cinta murni itu boleh kepada lebih dari satu orang. Kalau orang memilih untuk setia kepada satu orang saja, itu berarti pilihan dia untuk mencintai satu orang saja. Bukan berarti bahwa dia tidak boleh mencintai orang lain. Kalau orang bilang bahwa cinta itu hanya untuk satu orang saja, maka itu adalah cinta yang egois. Cinta yang hanya menurutkan bahwa "kamu hanyalah untukku seorang". Orang boleh saja tidak setuju dengan pendapatku ini, yang memang kedengarannya tidak lazim dibanding pendapat orang pada umumnya.
Ada lagi salah seorang temanku yang mengatakan bahwa aku adalah seorang playboy yang suka mempermainkan perempuan. Lagi-lagi aku tidak setuju dengan pendapatnya, terutama yang mengatakan bahwa aku suka mempermainkan perempuan. Seorang playboy senang berganti-ganti perempuan dan mempermainkan cinta. Sedangkan aku tidak berganti-ganti perempuan, tetapi lebih tepat kalau dibilang menambah. Kalau pun harus putus, itu karena memang putus secara baik-baik tanpa ada rasa sakit hati karena memang ada ketidakcocokan yang prinsip. Sedangkan aku tidak juga mempermainkan cinta, melainkan menambah cinta. Aku tidak senang mempermainkan perempuan, justru kebalikannya, aku adalah pelindung perempuan (sepertikata Jeanne dan Mitsuko). Kalau aku bercinta dengan perempuan, aku selalu jujur dan mereka tahu bahwa mereka bukanlah satu-satunya perempuan dalam hidupku. Dan itu kami lakukan atas dasar suka sama suka, dan sebagian besar juga atas dasar cinta kasih (tentu saja nafsu birahi juga turut andil di dalamnya).
Nah, biarpun aku sedang menjalin "hubungan gelap" dengan Keisha dan hidup bersama Jeanne dan Mitsuko, hatiku sempat bergetar lagi kala bertemu dengan Rani Park (Park Seung Ran). Aku bertemu Rani Park di Wichita, Kansas pada waktu aku mengunjungi guruku bulan Februari 1997. Pada awal pertemuan kami, aku tentu saja tidak pernah menyangka bahwa nantinya Rani akan tinggal bersamaku dan juga bersama Jeanne dan Mitsuko sebagai "istri"ku yang ketiga. Karena ini cerita tentang Keisha, maka aku tidak akan menceritakan Rani secara detil. Lagipula, aku tidak mendapat izin dari dia untuk menceritakan kehidupan seks kami kepada para pembaca, dan aku menghormati permintaannya.
Dari pembicaraan telefon dengan Keisha, aku berjanji padanya untuk mengunjungi tempat tinggal Keisha di St. Louis pada saat musim panas 1997. Pada waktu musim panas sebagian besar kegiatan sekolah akan libur, begitu juga dengan kuliahku, dan aku tidak harus mengajar pada musim panas nanti. Kepada Jeanne dan Mitsuko, aku mengatakan bahwa aku akan ke St. Louis pada musim panas nanti untuk mengunjungi teman SMA-ku, dan mereka tidak keberatan.

Musim Panas 1997

Aku mendarat di bandar udara St. Louis ini lebih cepat lima belas menit dari waktu yang diperkirakan. Aku segera menuju ke tempat pengambilan bagasi. Dari Los Angeles aku hanya membawa sebuah tas jinjing yang kumasukkan dalam bagasi dan sebuah tas punggung berisi kamera kesayanganku, Canon EOS 1N, berikut beberapa lensa dan lampu kilat. Memang, selain hobi beladiri, panjat tebing dan musik, aku juga senang memotret.
Aku hanya menunggu kurang dari setengah jam untuk mengambil bagasiku. Segera aku menuju ke tempat persewaan mobil Hertz. Dari Los Angeles aku sudah membuat sebuah reservasi untuk menyewa mobil ukuran sedang selama akhir pekan. Penyewaan mobil ini tidak berlangsung bertele-tele. Karena semua sudah siap, aku hanya menandatangani kontrak perjanjian sewa mobil. Setelah semuanya beres, pegawai persewaan mobil menyerahkan sebuah kunci mobil kepadaku.
Aku menghampiri sebuah sedan berwarna hijau, Dodge Neon, yang nomor serinya sama dengan nomor seri yang tercantum di gantungan kunci yang kupegang. Kubuka bagasi mobil dan kumasukkan kedua tasku ke dalamnya. Tak lama kemudian aku sudah meluncur di jalanan, meninggalkan bandar udara St. Louis menuju ke apartemen Keisha.
Jalanan di kota St. Louis pada hari Jumat malam ini agak padat, walaupun aku masih bisa dengan lancar mengendarai mobil sewaanku. Dari kejauhan, tampak "plengkung St. Louis" (the Arc) yang terkenal bermandikan lampu dengan latar belakang gedung-gedung tinggi downtown.
Dengan berpedoman pada selembar peta dan petunjuk yang diberikan oleh Keisha melalui telefon yang kucatat pada selembar kertas, aku akhirnya sampai juga di kompleks apartemen Keisha. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat aku keluar dari mobil sewaan yang sudah kuparkir di tempat parkir khusus tamu penghuni.
Kompleks apartemen Keisha berukuran sedang untuk ukuran kota St. Louis, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Di tengah kompleks apartemen ada dua buah kolam renang. Sebuah kolam renang dewasa dan satu lagi kolam renang dangkal untuk anak-anak. Kompleks apartemen ini juga dilengkapi dengan tempat latihan kebugaran dan sebuah sauna.
Aku berdiri di depan sebuah pintu. Kucocokkan lagi nomor yang tertera di pintu dengan catatan alamat Keisha yang kupunya. Biarpun aku mengenal alamat Keisha dengan baik di luar kepala, tapi aku ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa aku berada di depan apartemen yang benar. Ya, cocok, nomor 109, pikirku.
Tanpa ragu-ragu, aku mengetuk pintu yang berada di hadapanku. Aku mendengar suara langkah-langkah kaki menghampiri. Tak lama kemudian pintu itu terbuka, dan tampaklah wajah Keisha yang tersenyum lebar berseri-seri.
"Hai Frank! Ayo masuk!" kemudian Keisha memelukku erat dan mencium pipiku ketika aku memasuki apartemennya. Mau tak mau aku melepaskan tentenganku dan membalas pelukan Keisha.
"Apa kabar kamu Kei?" kataku setelah aku meletakkan bawaanku di dekat meja di ruang tamu.
"Aku baik-baik aja Frank. Gimana dengan penerbanganmu?"
"Aku mendarat lebih cepat lima belas menit dari waktu yang dijadwalkan."
"Oh ya? Naik apa kamu?"
"Continental. Emang Continental sekarang ini selalu tepat waktu atau lebih cepat dari yang dijadwalkan." Kataku terdengar seperti promosi.
"Mau minum apa Frank? Coke?" tawar Keisha.
"Air putih dingin tanpa es aja Kei. Terima kasih." Aku memandang isi apartemen Keisha. Apartemen Keisha ini termasuk kecil. Tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan kamarku waktu aku masih tinggal di asrama kampus, yang jelas lebih kecil dari apartemen ini. Keisha menempati sebuah apartemen dengan satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Ada sebuah dapur mungil yang berhubungan dengan sebuah ruang makan menyambung dengan ruang tamu. Di ruang tamu ini ada sebuah sofa "love seat", dua buah kursi dan sebuah meja pendek di tengahnya. Ada sebuah akuarium kecil (mungkin yang ukuran lima galon) berisi tiga ekor ikan mas koki. Di ruang makan selain ada meja makan dengan dua kursi, ada juga sebuah meja komputer yang bersandingan dengan sebuah rak buku. Di meja komputer itu ada dua buah komputer Macintosh. Satu adalah komputer Macintosh IIe (merupakan generasi pertama Macintosh) dan satu set Macintosh PowerPC keluaran terbaru pada waktu itu. Ada sebuah lukisan Bali yang bertemakan kehidupan masyarakat Bali di pedesaan bertengger di dinding ruang tamu. Apartemen Keisha ini tertata dengan rapi dan apik, dengan desain interior yang sederhana tapi membuat betah penghuninya.
Keisha menghampiriku dengan membawa sebuah nampan berisi segelas air putih dingin tanpa es dan semangkuk kecil puding coklat diguyur karamel. "Hayo... mikirin apa?" goda Keisha. Aku hanya tersenyum.
"Wah kebetulan nih. Aku demen banget makan puding karamel. Bikin sendiri Kei?"
"Iya dong. Gampang ini bikinnya. Kamu udah makan Frank?"
"Aku makan tuna sandwich waktu transit di Dallas tadi."
"Masih lapar? Mau aku siapkan makan? Aku kebetulan hari ini masak semur daging."
"Terima kasih Kei. Aku masih kenyang. Wah, kamu kok repot-repot segala pakai acara masakin aku semur daging kesukaanku?" kataku sambil becanda.
"Wuuu kege-eran kamu! Aku masak bukan karena kamu mau datang!" jawab Keisha sambil mencibir. Jantungku berdegub. Duh, bibir itu! Nggak nguatin! "Hari ini aku lagi kepingin makan semur daging. Tahu nggak Frank, gara-garanya aku baca majalah Femina lama yang dipinjami temanku. Di situ aku baca sebuah cerpen yang tokohnya lagi makan semur daging. Entah kenapa, aku jadi pengin banget makan semur daging."
"Ooooh... kirain, mau bikinin aku special meal. Udah ge er aja nih akunya." Aku menyuap sesendok puding karamel. Rasanya pas dan sesuai dengan seleraku. Tidak kusangka bahwa Keisha bisa memasak.
"Puding bikinanmu enak Kei! Boleh nambah nggak?" dalam sekejap puding karamel itu telah ludes masuk ke dalam perutku.
"Kamu ini doyan apa lapar?" tanya Keisha sambil mengambil mangkuk kosong dan menuju ke dapur. Aku meneguk air minumku, kemudian berdiri dan menyusul Keisha ke dapur. Dari belakang, kupeluk Keisha sambil kucium tengkuknya.
"Kei... tahu nggak, aku kangen banget sama kamu!" kataku sambil terus menciumi tengkuk dan belakang telinganya. Keisha membalik. Ia melingkarkan tangannya ke leherku. Entah bagaimana mulainya, bibir kami berdua sudah rapat menyatu, saling mengulum, saling memagut. Kami berdua sepertinya saling melepaskan rindu yang lama terpendam.
Tiba-tiba Keisha mendorong dadaku perlahan dan melepaskan pelukanku, "Udah ah Frank. Silakan masukkan tasmu ke dalam kamar dulu. Kalau kamu mau ke kamar mandi, aku sudah menyiapkan handuk. Pakai handuk yang berwarna kuning yang masih terlipat. Masih mau pudingnya lagi?" Keisha bertanya sambil matanya (aku tahu) mengerling nakal. Sebelum aku memasukkan tasku ke dalam kamar tidur Keisha, aku menghabiskan satu porsi lagi puding karamel bikinan Keisha.
Dinding kamar Keisha dicat dengan warna pink lembut. Selain sebuah tempat tidur berukuran full size (lebih kecil dari pada queen size), ada pula sebuah meja belajar yang tertata rapi dan sebuah meja rias kecil berikut sebuah cermin kecil. Ada boneka beruang berwarna coklat terletak di atas tempat tidur Keisha.
Aku meletakkan tas jinjing dan tas punggungku di sebuah sudut ruangan. Kukeluarkan peralatan mandi dan baju gantiku berikut pakaian dalam dari tas jinjingku. Alangkah nyamannya mandi di bawah pancuran air hangat saat tubuh lelah dari perjalanan jauh. Pikiranku sudah melayang membayangkan kenikmatan segar yang akan kunikmati. Keharuman wewangian potpouri menyergap hidungku saat kumasuki kamar mandi Keisha. Semua yang ada di dalam kamar mandi ini tertata dengan rapi sebagaimana barang-barang yang ada di ruangan lainnya.
Aku mulai membuka kran shower dan membasahi sekujur tubuhku. Belum sempat aku memakai sabun, aku terkejut karena tiba-tiba tirai shower terbuka sedikit, dan Keisha dengan tubuh hanya mengenakan celana dalam, ikut menyusulku untuk bergabung mandi dengan shower.
"Kei???" tanyaku bercampur terkejut dan senang. Memang sudah menjadi kebiasaanku kalau aku mandi pintu kamar mandi tidak pernah kukunci.
"Nggak keberatan khan Frank kalau aku ikutan mandi bareng kamu?" Keisha balas bertanya sambil menunjukkan wajah yang nakal. "Wuih... punyamu gede juga ya? Lagi tidur aja segitu... Gimana kalau udah bangun ya?" katanya lagi.
"Curang! Kamu udah ngeliat punyaku duluan, sementara kamu masih pakai celana dalam!" protesku.
"Hmm... nanti aja ya kalau mau lihat!"
"Sini!" ajakku. Dan akhirnya kami berdua berada di bawah siraman shower. Entah siapa yang memulai duluan, bibir kami sudah terlibat dalam suatu "french kiss". Perlahan tapi pasti, batang kelelakianku membesar. Tangan kiri Keisha dengan lembut memegang batang kelelakianku dan mulai memainkannya. Ada kenikmatan yang perlahan menjalari tubuhku. Ada rasa geli bercampur nikmat terasa di sekujur tubuhku.
Aku sendiri sibuk dengan lumatan bibirku dan remasan-remasan lembut di bukit kembar Keisha. Kurasakan makin lama puting Keisha makin mengeras. Tangan kiriku juga tidak tinggal diam. Pelan-pelan kususupkan tangan kiriku ke dalam celana dalam Keisha. Belum sampai ke selangkangannya, tanganku sudah ditarik kembali keluar oleh Keisha, dan diletakkan di selangkangannya dengan masih dilapisi oleh celana dalam yang sudah basah.
Keisha perlahan mengerang ketika tanganku mengusap bukit dan belahan selangkangannya. Jemari tangan kiriku bermain di daerah sekitar gerbang kewanitaan Keisha. Jari-jari tangan kananku tidak tinggal diam. Bukit dada Keisha yang kiri asyik kuremas, kuraba, kumainkan, dan putingnya terkadang kupuntir-puntir secara perlahan dan mesra.
"Uuughhh... Frank... Enak Frank!" aku kemudian memeluknya dari belakang, menciumi belakang telinganya dan akhirnya turun ke bahu kanannya. Bahu kanan Keisha aku gigit-gigit mesra, sementara tangan kiriku masih bermain di gerbang kewanitaannya yang masih dilapisi oleh celana dalam dan tangan kananku masih asyik memainkan puting bukit dada Keisha yang kanan.
Batang kelelakianku yang sudah sejak tadi tegak tegang kugeser-geserkan di pantat Keisha. Kemudian Keisha dengan tangan kanannya memainkan batang kelelakianku, mengurut dan mengocok dengan perlahan. Ada rasa nikmat yang menjalar di tubuhku. Aaah... rasanya geli saat Keisha memutar-mutar tangan kanannya di ujung batang kelelakianku.
Keisha membalikkan tubuhnya dan kemudian menarik kepalaku ke arah kepalanya. Bibirku dilumat Keisha dengan penuh nafsu. Lidahnya menjalar-jalar liar di dalam mulutku, bertarung bagaikan ular memainkan lidahku. Batang kelelakianku kudekapkan ke arah selangkangan Keisha dan kugeser-geserkan di sana. Kami tidak terlalu lama berciuman, Keisha mematikan kran shower dengan kaki kanannya. Ia mengambil selembar handuk dan keluar dari bathtub. Dengan masih dililit handuk, Keisha melepaskan celana dalamnya yang basah dan dilemparkannya ke dalam keranjang cucian tempat baju kotor.
Dengan kerlingan nakalnya, Keisha mengajakku untuk meneruskannya di atas tempat tidurnya. Ia hanya menggunakan bahasa isyarat kepala. Tanpa menunggu dua kali, aku juga menyambar sebuah handuk dan mengeringkan badanku, kemudian menyusul Keisha.
Keisha sudah menungguku di atas tempat tidurnya. Terlentang, tubuh bagian bawahnya masih dililit handuk. Aku keluar dari kamar mandi dalam keadaan telanjang, dengan batang kelelakianku yang tegak tegang mengangguk-angguk. Keisha tersenyum melihatku.
Perlahan aku menuju ke arah Keisha. Handuk yang melilit tubuh bagian bawahnya kubuka. Terpampanglah sebuah pemandangan yang sangat menarik hatiku, yang membuatku penasaran selama ini. Selangkangan Keisha membentuk sebuah bukit dengan belahan yang jelas. Di situ tumbuh rambut-rambut pubisnya yang halus dan dicukur dengan rapi, membentuk sebuah persegi panjang yang menutupi daerah klitorisnya. Daerah gerbang kewanitaannya bersih dari rambut pubis dan berwarna kemerahan segar. Gerbang kewanitaan Keisha ini yang sering disebut orang Amerika Serikat dengan istilah "camel's toe".
Gila! Perasaan hatiku waktu itu rasanya tidak karuan. Jantungku berdetak sangat kencang dan nafsuku rasanya tembus ke ubun-ubun. Perlahan kuarahkan kepalaku ke selangkangan Keisha. Aku mencium harum khas aroma gerbang kewanitaan Keisha yang dulu pernah kucium pada saat aku ke Chicago, kali ini tanpa dihalangi oleh selembar kain. Tidak puas-puasnya aku menciumi gerbang kewanitaan Keisha. Kujilati daerah klitoris dan gerbang kewanitaan Keisha. Keisha menjambak-jambak rambutku sambil menggelinjang dan mengerang.
"Oooooohhhh... Frank! Auuughhh...!!! Yaaaa... situ Frank! Enak Frank... Jangan udahan dulu Frank!!! Aaaaggghhh..." Keisha meracau tak karuan. Aku sendiri sangat menikmati gerbang kewanitaan Keisha. Rasanya tak bosan-bosannya aku menciumi, menjilati dan memainkan klitoris dan gerbang kewanitaan Keisha beserta daerah sekitarnya. Kuputar-putar dan kujawil-jawil klitoris Keisha dengan lidahku, membuat dia bergetar setiap kali lidahku melingkari daging kecil di selangkangannya. Batang kelelakianku sendiri sudah menagih ingin segera masuk, tapi masih kutahan, biarpun rasanya sudah berdenyut-denyut.
Setelah kurasakan bahwa daerah gerbang kewanitaan Keisha sudah cukup basah (baik oleh air liurku maupun oleh cairan kewanitaan Keisha sendiri), pelan-pelan klitoris Keisha kupuntir-puntir dan kugeser-geser dengan ibu jari dan jari telunjuk kananku. Keisha makin keras mengerang, dan dari gerbang kewanitaannya terasa semakin basah oleh cairan kewanitaan Keisha.
Secara perlahan, kumasukkan jari telunjuk kananku ke gerbang kewanitaan Keisha. Keisha mengejan sejenak saat jari telunjukku memasuki gerbang kewanitaannya. Tak jauh jari telunjukku memasuki gerbang kewanitaan Keisha, hanya kira-kira satu ruas jari. Lalu jari telunjukku aku tekuk membentuk kaitan. Ujung telunjukku menggeser-geser daerah yang disebut orang G-spot. Keisha menjepit telunjukku dan badannya menegang, kemudian melemas dan dia menggelinjang. Entah kegelian, entah merasakan kenikmatan yang sangat.
Dengan lembut daerah G-spot Keisha aku elus-elus dengan jari telunjuk kananku disertai permainan lidahku di klitorisnya. Keisha meracau dan mengerang, melenguh dan mendesis-desis, berulang kali menyebut namaku.
"Ooooohhh Fraaaankkk!!!" dari posisi terlentang, Keisha kubalikkan dan kusuruh berganti posisi menungging. Gerbang kewanitaannya aku jilati dan jariku masih asyik bermain-main dengan G-spotnya. Tangan kiriku tak mau ketinggalan, menyusup ke arah bukit dada Keisha yang sebelah kiri. Kumainkan putingnya yang sudah mengeras.
Akhirnya Keisha membalikkan badannya, "Sekarang Frank! Masukkan punyamu Frank! Aku udah nggak tahan lagi! Aku pengin kamu Frank!!!" Keisha menuntun batang kelelakianku menuju gerbang kewanitaannya. Ketika batang kelelakianku menyentuh gerbang kewanitaan Keisha, dia memutar-mutar ujung batang kelelakianku pada gerbang kewanitaan dan klitoris Keisha. Perlahan-lahan, kudorong penisku memasuki vagina Keisha. Ada rasa nikmat menjalari penisku. Keisha memeluk sambil menggigit kecil pundakku, kemudian melenguh. Penisku masuk senti demi senti, menikmati setiap sensasi yang timbul. Keisha memelukku dengan erat sambil melumat bibirku, memberikan sebuah "french kiss", sementara kakinya dilingkarkan di pinggangku.
Aku mulai mendorong maju mundur pantatku. Aaah... nikmat sekali! Penisku rasanya seperti dicengkeram oleh vagina Keisha dan terdengar suara berkecipakan setiap kali aku menghujamkan penisku. Keisha mendesis-desis sambil sesekali memanggil namaku. Setelah beberapa lama, aku mulai mempercepat dorongan pantatku, makin lama makin cepat.
"Aaaagghhh... aaaaggghhh... aaaaggghhhh..." erang Keisha setiap kali aku menusukkan penisku hingga menyentuh cerviksnya. Dengan teknik "tiga dangkal satu dalam", Keisha kubuat seperti melambung ke awang-awang. Aku sendiri juga mengalami sensasi dan kenikmatan yang luar biasa.
Dari posisi "misionaris", Keisha mendorong tubuhku untuk mengganti posisi agar aku berada di bawah. Keisha sekarang menduduki penisku dan gantian dia yang bergerak naik turun sambil kedua tangannya meremas-remas dadaku yang bidang. Tanganku sendiri juga sibuk memainkan peranannya di daerah dada dan pinggang Keisha. Dari perlahan, Keisha makin lama makin cepat memompa tubuhnya, bergerak naik turun. Ia memejamkan matanya sambil menggigit bibir bawahnya. Dari sela-sela bibirnya keluar desisan beberapa kali.
Setelah beberapa saat, aku bangun dan memeluk Keisha. Penisku masih berada di dalam vaginanya. Kulumat bibir Keisha dengan penuh nafsu dan kubantu pantatnya mengayun maju mundur sambil kuremas-remas. Keisha terengah-engah. Napasnya memburu. Puas mengulum dan melumat bibir Keisha yang sensual dan seksi, aku menyerang bukit dada Keisha. Puting dada Keisha kuisap, kusedot, kujilati, kujawil-jawil dengan ujung lidahku dan kumainkan dengan penuh nafsu. Keisha semakin bernafsu dan mengayunkan pantatnya makin cepat.
"Aaaaagggghhhh... Aku mau keluar Fraaaankkk!!!" Keisha mencengkeram punggungku dan mulain mengejan.
"Keluarin Kei... Keluarin...! Ini buat kamu!" kataku berbisik di telinga Keisha. Aku mulai berkonsentrasi. Kutekuk lidahku menyentuh langit-langit mulutku, kuatur napasku dan kukencangkan otot perutku. Pelan-pelan, ada rasa hangat mengalir dari titik "ming-men"-ku. Kuarahkan rasa hangat itu ke ujung penisku. Ada sensasi seperti rambatan ribuan semut mengalir, seperti aliran listrik statis. Kucium kembali mulut Keisha. Aku memejamkan mata dan memeluk erat Keisha. Keisha mengejan beberapa saat, mencengkeram erat punggungku dan menghujamkan kuku-kukunya ke punggungku. Aku merasakan ada aliran hangat di penisku dan vagina Keisha.
"Aaaaaauuuugggghhhhh Fraaaankkkk aaakkkkuuuu keluaaaarrr!!!" Keisha telah mencapai puncak kenikmatannya. Hampir satu jam, sementara aku sendiri belum merasa apa-apa. Tubuh Keisha terasa lemas dalam pelukanku. Pelan-pelan tubuh Keisha aku baringkan di pinggir tempat tidur, masih dalam posisi penisku di dalam vagina Keisha. Aku mulai memompa lagi perlahan dari pinggir tempat tidur.
"Gila Frank! Pelan-pelan Frank... Geli banget!" pinta Keisha.
"Sabar ya Kei... aku belum sampai nih!" kataku sambil terus memompa pantatku maju mundur. Keisha mandah saja kuhujami tusukan-tusukan penisku di vaginanya. Tubuhnya masih terasa lemas, dan dari vaginanya terasa sangat licin karena cairan pelumasnya yang banyak. Dari posisi ini, Keisha mengalami orgasme sekali lagi. Akhirnya setelah kurang lebih dua setengah jam lebih aku bertarung, aku berpikir untuk menyudahi saja. Selain aku sendiri mulai capek, aku juga kasihan dengan Keisha yang tampak kepayahan melayaniku.
Dengan posisi "rear entry (doggie style)", aku memacu penisku maju mundur makin lama makin cepat sambil kedua tanganku meremas-remas pantat Keisha dan sesekali merayapi punggung Keisha dengan jari-jari tanganku. Tiba-tiba aku merasakan desakan energi pada penisku. Aku mendongak dan memejamkan kepalaku. Kuatur energiku. Aaaahhhh... sejuta kenikmatan terasa merayapi sekujur tubuhku. Saraf-sarafku rasanya sangat peka. Tubuhku menggigil dan merinding sekujur tubuh.
"Aaaggghhhh Keeeeiiiii aku keluaaarrr!!!" erangku sambil memeluk erat tubuh Keisha dari belakang. Penisku mengejut dan terasa berdenyut-denyut. Aku merasakan seperti melihat sinar yang terang sekali, dan kemudian menjadi gelap. Aku biarkan penisku di dalam vagina Keisha untuk beberapa saat, masih berdenyut-denyut. Keisha menciumi wajahku.
"Sudah Frank? Puas? Enak Frank? Terima kasih ya Frank. Kamu hebat banget bisa tahan segini lama." bisik Keisha. Aku cuma mengangguk dan membalas dengan ciuman. Pelan-pelan kukeluarkan penisku dari vagina Keisha. Batang kelelakianku masih tegak tegang mengacung dan mengangguk-angguk ketika keluar dari gerbang kewanitaan Keisha. Aku merebahkan diri di samping Keisha. Keisha heran melihat batang kelelakianku masih tegak tegang mengacung ke atas seperti tiang bendera dan berdenyut-denyut, "Kok belum lemas Frank? Kamu belum keluar ya?" Tanya Keisha keheranan.
"Kalau orgasme, aku udah. Tapi kalau ejakulasi, aku sengaja tidak mau mengejakulasi spermaku." Jawabku. Keisha sepertinya tidak mengerti. Dia terlentang menyamping menghadapku, tangannya memainkan rambut-rambut di dadaku.
"Aku nggak ngerti, tapi sebodo ah, yang penting aku puas banget. Kamu hebat! Belum pernah aku mengalami orgasme seperti tadi, rasanya luar biasa sekali! Aku sampai keluar empat atau lima kali tadi, dan itu semua tanpa berhenti lagi. Hampir-hampir aku tidak sanggup lagi Frank. Nggak heran kalau kamu bisa hidup dengan dua cewekmu itu."
Aku mengelus-elus rambut Keisha, kemudian mengecup dahinya.
"Kei..." bisikku.
"Hmm...?"
"Gimana Kei? Kamu sayang aku Kei?"
Keisha mengeluarkan napas panjang, "Entahlah Frank, aku nggak tahu. Yang jelas, aku suka sekali sama kamu, dan aku menikmati sekali hubungan seks yang baru saja kita lakukan. Kita lihat aja gimana kelanjutan hubungan kita ini Frank. Mungkin, kita bisa disebut sebagai teman khusus. Aku saat ini nggak pengin jadi cewekmu, apalagi cewekmu yang ketiga. Yang penting, aku merasa bahwa kamu adalah seorang yang spesial buat aku."
Kemudian Keisha mencium ujung hidungku, "I love you as my special friend. Very special, at least for now." Bisiknya di telingaku, kemudian Keisha memeluk dan mencium pipiku.
"Frank..."
"Ya?"
"Pikiran kamu nggak berubah terhadapku, setelah kamu tahu aku seperti apa?" tanya Keisha berkesan hati-hati.
"Apa maksudmu?" aku balas bertanya.
"Aku bukan seperti perempuan yang kamu kira Frank. Aku sudah melakukan hubungan seks pra nikah, yang menurut norma-norma orang Indonesia adalah tabu."
"Aku sudah tahu akan hal itu sejak pertama kali kita bertemu di stasiun bus Greyhound, dan pendapat serta pandanganku tentang kamu tidak berubah. Aku masih mencintaimu. Aku masih sayang kamu. Aku tidak peduli dengan latar belakangmu, yang penting buatku sekarang adalah kamu yang sekarang, kamu yang aku kenal, dan kamu yang aku tahu." Aku mencium kening Keisha, "Aku sendiri bukan orang baik-baik dalam standar norma orang Indonesia. Aku hidup serumah dengan dua orang perempuan tanpa nikah dan aku melakukan hubungan seks dengan mereka berdua."
"Hah? Dari mana kamu tahu aku sudah nggak perawan lagi waktu kita ketemu di Chicago? Ngira-ngira sendiri?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Keisha. "Kamu nanti nggak percaya dengernya. Rada-rada nggak rasional juga sih buat orang kebanyakan."
"Huuu..." Keisha menjebikan bibirnya, buru-buru kusergap bibir sensual yang membuatku tergila-gila. Keisha segera melepaskan diri, "coba dulu cerita, baru nanti kamu bakalan tahu aku percaya apa nggak sama penjelasanmu." Lanjut Keisha sambil menarik selimut untuk menyelimuti kami berdua.
"Gini Kei... Kalau kata orang-orang pinter Cina kuno zaman dulu pada dasarnya waktu manusia lahir, dia mempunyai satu unsur yang dominan, yin atau yang. Biasanya laki-laki mempunyai unsur dominan yang dan perempuan mempunyai unsur dominan yin. Tapi itu bukan berarti kalau laki-laki berunsur dominan yin itu banci atau perempuan yang berunsur dominan yang itu tomboi. Nah dalam hubungan seks antara laki-laki dan perempuan, kedua unsur dominan itu saling bercampur dan saling melengkapi; sehingga tiap individu yang sudah pernah melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya akan mempunyai kedua unsur itu dengan rasio yang hampir sama."
"Terus, kalau ada cowok yang berunsur yin dan cewek yang juga berunsur dominan yin, atau keduanya berunsur dominan yang, gimana Frank?" tanya Keisha.
"Tetap sama aja, unsur yang resesif menjadi terbangkitkan, tidak peduli keduanya saat sebelum melakukan hubungan seks berunsur dominan yang sama. Pada akhirnya, keduanya tetap akan mempunyai kedua unsur yin dan yang itu hampir sama rasionya."
"Ada perkecualiannya Frank?" rupanya Keisha antusias dengan penjelasanku.
"Ada. Ada tiga macam orang yang mempunyai unsur hampir seimbang dalam tubuhnya. Pertama, dari hubungan seks dengan lawan jenis seperti yang sudah aku jelaskan. Kedua, orang itu mempelajari ilmu tenaga dalam dengan unsur yang berlawanan dengan unsur dominannya. Dan yang ketiga, orang yang memang terlahir dengan unsur dominan yang sama kuat, alias nggak punya unsur yang dominan. Tapi ini sangat jarang sekali. Nah, dengan metode eliminasi, aku bisa tahu bahwa kamu udah pernah melakukan hubungan seks pada saat kita ketemu di Chicago itu. Aku yakin kamu tidak terlahir dengan unsur yang sama kuatnya, dan kemungkinannya kecil sekali kamu mempelajari tenaga dalam yang berlawanan dengan unsur dasarmu karena aku tidak melihat dari matamu. Jadi, kemungkinan besar kesimpulannya bahwa kamu sudah pernah melakukan hubungan seks pada saat itu."
"Gimana kamu bisa tahunya Frank? Maksudku, dari mana kamu bisa merasakan hal itu? Apa kamu melihat apa yang disebut orang aura punyaku?"
"Aku nggak bisa ngeliat aura orang secara otomatis. Aku bisa melihat aura orang kalau konsentrasi penuh dengan latar belakang orang yang aku lihat itu berwarna putih atau hitam, misalnya tembok putih atau kain hitam. Aku hanya bisa merasakan bahwa seseorang itu mempunyai unsur dominan atau gabungan. Ya otomatis gitu aja, pokoknya terasa aja."
"Gimana rasanya?"
"Waah, susah juga ngejawabnya Kei. Sekarang gini, gimana sih rasanya angin? Atau, apa sih sebenarnya bau semur daging itu? Buat orang yang nggak pernah tahu, akan sulit sekali memahami rasanya angin atau bau semur daging dari penjelasan orang. Itu hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan." Keisha tiba-tiba mengubah posisinya. Ia naik ke tubuhku dan menghimpitku, menciumi telingaku.
"Ssssttt... aku kok pengin lagi ya Frank? Heran aku, biasanya aku langsung kecapekan kalau abis ML, tapi sama kamu kok rasanya aku jadi malah segar dan nafsuku naik lagi. Apalagi sambil mainin rambut-rambut di dadamu yang bidang dan keras." Bisik Keisha di telingaku.
Aku tersenyum, "Siapa takut? Mau berapa ronde lagi? Mau sampai pagi Kei?" tantangku.
"Hhhssssttt... don't talk! Let's get busy!"
Kemudian Keisha mulai menciumi aku dan kubalas. Akhirnya kami kembali bergumul mengarungi samudera kenikmatan. Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul lima pagi saat Keisha dan aku mengakhiri permainan kami. Kami berdua tidur terlelap dengan wajah penuh kepuasan.
Aku tidur sambil memeluk Keisha dengan kebahagian yang sukar sekali untuk bisa kulukiskan dengan kata-kata. Untuk saat itu, aku tidak peduli Keisha cinta padaku apa tidak, yang penting aku merasakan kedekatan dan perhatiannya yang besar. Biarpun dari mulutnya Keisha menyangkal bahwa dia mencintai aku, tapi aku tahu dari sikap dan tingkah lakunya bahwa dia sayang sekali kepadaku. Itu yang lebih penting buatku.

Aku bangun sekitar pukul sebelas siang. Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang aku alami tadi pagi. Keisha masih tidur dengan nyenyaknya, telanjang di sampingku. Kupeluk dia dan kukecup keningnya perlahan, dengan mesra. Keisha menggeliat dan balas memelukku, membenamkan kepalanya di dadaku. Rambutnya yang pendek kuelus-elus dengan mesra. Perlahan, dia membuka matanya, memandangku dengan senyum manisnya. Keisha mendongakkan kepalanya dan kemudian kami terlibat dalam sebuah ciuman yang hangat untuk beberapa saat.
"Frank... mandi yuk! Nanti abis mandi aku siapkan brunch."
Aku tersenyum dan mengangguk menerima ajakan Keisha. Kemudian Keisha menuntun tanganku ke kamar mandi. Keisha membuka kran shower dan menunggu hingga air menjadi hangat, sementara itu aku ke arah wastafel untuk menyikat gigiku. Keisha menyusul menyikat giginya setelah aku selesai. Air shower sudah cukup hangat saat aku memasuki bathtub.
Tak lama kemudian Keisha juga memasuki bathtub dan berdiri di hadapanku. Kami berdua bergantian membasahi diri di bawah pancuran shower yang deras. Keisha melingkarkan kedua tangannya di leherku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dahi kami berhimpitan. Keisha mengecup bibirku lalu ia berbisik, "Frank, quickie mau nggak?" Aku tidak menjawab, hanya tersenyum dan mengangguk.
Keisha kemudian melumat bibirku dan kami terlibat dalam suatu "french kiss" yang cukup lama. Setelah puas, Keisha melepaskan bibirku. Dia menciumi dadaku terus turun dan terus turun hingga ke pangkal batang kelelakianku. Dalam posisi berjongkok, Keisha memegang batang kelelakianku yang tergantung lemas. Perlahan, Keisha mengurut dan dan memainkan batang kelelakianku dengan tangannya. Perlahan pula, batang kelelakianku membesar dan mulai mengeras.
Kira-kira separo kapasitas maksimumnya, Keisha mengulum dan mengisap batang kelelakianku. Pertama secara perlahan dan lembut, tapi begitu batang kelelakianku tambah mengeras, Keisha juga menambah kecepatannya. Ia menyedot dan memainkan ujung kepala batang kelelakianku dengan lidahnya, tepat pada lubangnya. Tangan kanan Keisha membantu dengan mengurut-urut batang kelelakianku, sementara tangan kirinya memainkan bola-bolanya.
Aaahhh ada rasa geli yang nikmat merambati tubuhku.
Setelah terasa oleh Keisha bahwa senjataku sudah siap tempur, maka Keisha berdiri membalik membelakangiku. Kaki kanannya ditekuk dan diletakkan di pinggiran bathtub. Ia membungkuk. Tangan kirinya menopang tubuhnya pada dinding, sementara tangan kanannya memegang batang kelelakianku dan membimbingnya menuju gerbang kewanitaannya. Batang kelelakianku yang sudah tegak tegang perlahan kuarahkan ke gerbang kewanitaan Keisha. Perlahan tapi pasti, penisku memasuki vagina Keisha dari belakang. Keisha melenguh perlahan, "Uuuugggghhhh..." saat penisku berada di dalam vaginanya. Aku mulai memompa pantatku maju-mundur, perlahan.
"Cepetan dikit Frank! Aku pengin yang keras dan cepat! Aaaaggghhh... ya... yaaa... gitu Fraaaankkk!!!" aku mempercepat gerakan maju mundurku sesuai dengan perintah Keisha. Badang Keisha bergoyang-goyang, tangannya seperti berusaha mencengkeram dinding. Aku sedikit membungkukkan badanku supaya aku bisa dengan leluasa meremas-remas dan memainkan bukit dada Keisha.
"Remas-remas pantatku Frank! Mainkan pinggangku!" pinta Keisha. Aku pun memenuhi permintaan Keisha. Kuremas-remas pantat Keisha yang penuh dan kencang, sekalian memijat daerah pinggangnya. Sesekali pinggulnya kujadikan pegangan untuk memompa vaginanya dengan cepat. Vagina Keisha terasa berdenyut-denyut seperti mengisap penisku. Ada rasa geli-geli nikmat yang merambati batang penisku hingga ke sekujur tubuhku. Tiba-tiba Keisha mengejan dan mengerang keras.
"Fraaannkkk... Aku sampaiiiii!!!" erangnya sambil kemudian ia memaju mundurkan tubuhnya, membantu gerakan maju mundur pantatku. Beberapa saat kemudian Keisha melepaskan vaginanya dari penisku. Batang kelelakianku tampak mengacung dengan gagahnya, mengangguk-angguk. Keisha kemudian memelukku erat.
Keisha menciumi telinga kananku. Ia berbisik, "Frank, terima kasih ya. Enak sekali rasanya. Aku boleh minta sesuatu nggak Frank?"
"Apa Kei? Mau lagi?"
"Bukan Frank. Cukup, aku sudah puas. Kalau kamu nggak keberatan, aku pengin merasai manimu," bisik Keisha sambil tangannya meremas-remas pantatku. Aku terkejut mendengar permintaannya. Baru pertama kali ini aku menemukan seseorang yang jelas-jelas ingin mencicipi spermaku.
"Nggak salah denger aku Kei? Kamu pengin merasai air maniku?" tanyaku meminta penjelasan.
"Ya Frank. Kalau kamu nggak keberatan, aku pengin sekali merasai air manimu," jawab Keisha meyakinkan aku.
"Kalau kamu memang mau, demi kamu, aku rela dan mau memberikannya buat kamu Kei." Aku mulai mengurut dan mengocok batang kelelakianku, tapi Keisha merebutnya dari tanganku.
"Sini, biar aku yang bantu." Kemudian Keisha mengurut dan mengocok batang kelelakianku, sambil mulutnya mengulum dan menyedotnya. Uuugghhh... rasa geli kembali menjalariku. Kalau biasanya aku berkonsentrasi untuk menjaga supaya spermaku tidak memancar keluar, kali ini berbeda. Demi memenuhi permintaan Keisha (yang menurutku tidak lazim), aku kali ini berkonsentrasi agar spermaku bisa cepat keluar. Perlahan, rasa geli pada batang kelelakianku makin lama makin menguat. Tanganku memegangi kepala Keisha yang bergerak maju mundur dan sesekali tanganku menyisir-nyisir rambut Keisha. Tak berapa lama ada rasa seperti gelombang besar yang hendak keluar dari batang kelelakianku. Biasanya energi ini aku alirkan ke seluruh tubuhku, tapi kali ini kubiarkan mengalir melalui batang kelelakianku, keluar bersama muncratnya cairan kelelakianku.
"Keeeeeiiiii... aku keluaaaaarrrr...!!!" aku mengejan dan memuncratkan cairan kental putih yang banyak sekali. Keisha dengan rakusnya mengisap dan menelan cairan kelelakianku, mencuci bersih batang kelelakianku, tak menyisakan sama sekali cairan kelelakianku. Rasanya geli sekali yang nyaris tak tertahankan. Lututku rasanya tak kuat menopang tubuhku. Beberapa detik kemudian tubuhku rasanya lemas dan batang kelelakianku secara perlahan mengerut. Terakhir kalinya aku mengeluarkan cairan kelelakianku dalam suatu hubungan seks adalah dengan Yolanda di Bandung (baca: Jeanne Chang 3, pen.). Sejak aku mempelajari ilmu tenaga dalam dan teori tentang hubungan seks ala taoist, aku tidak pernah lagi "membuang-buang" spermaku. Dan baru pertama kali ini ada seorang perempuan yang menyedot dan meminum hingga bersih cairan kelelakianku. Sudah lama sekali aku tidak mengalami apa yang disebut oleh taoist "orgasme badani", yaitu orgasme yang didapat dari ejakulasi. Rasanya memang enak, tapi hanya sesaat dan setelah itu rasanya tubuhku menjadi lemas. Berbeda dengan orgasme yang tanpa disertai ejakulasi, tetapi malah sebaliknya energi orgasme itu aku alirkan ke seluruh tubuh, rasa nikmat itu bisa berlangsung lama dan lebih hebat, ditambah pula kesudahannya tubuh terasa ringan dan segar. Memang betul apa kata para taoist itu, bahwa bila orang sudah mengenal "orgasme jiwa", maka orang tidak mau lagi "orgasme badani".
Setelah membersihkan batang kelelakianku, Keisha kemudian berdiri. Dia memelukku. "Terima kasih Frank! Manimu rasanya lain dari yang lain, sangat berbeda dengan apa yang selama ini aku pernah rasakan," bisik Keisha. Aku sendiri berusaha menahan tubuhku yang lemas, mengumpulkan sisa-sisa energi. Keisha kemudian berkumur dengan obat kumur antiseptik. Kami berdua kemudian mandi bersama, saling menyabuni dan mengelus dengan mesra. Keisha berulang kali mendaratkan ciumannya di pipiku. Dari penuturan Keisha, dia percaya bahwa air mani laki-laki yang sehat, kuat dan pilihan kalau diminum perempuan bisa dipakai sebagai obat awet muda. Entah baca atau tahu dari mana Keisha tentang hal ini, aku tak menanyakan lebih lanjut. Aku kok rasanya nggak terlalu percaya. Ternyata tak terasa kami berada di bawah pancuran shower selama tiga puluh sampai empat puluh menit. Tak heran bila kulit tanganku menjadi berkeriput karena terlalu lama terendam air. Keisha dan aku keluar dari bathtub dan saling mengeringkan badan dengan handuk.

Hari ini Keisha mengajakku untuk mengunjungi "plengkung St. Louis" (the Arc) di dekat downtown St. Louis dan di tepi sungai Mississippi. Dari atas the Arc, aku bisa melihat situasi kota St. Louis. Di sana aku mampir pula ke "floating McDonald", yaitu restoran hamburger McDonald yang mengambang di atas sungai Mississippi. Tak ketinggalan aku melampiaskan hobi memotretku. Dari melihat-lihat the Arc dan sekitarnya, Keisha mengajakku untuk berkeliling kota St. Louis. Kami berputar-putar di daerah downtown yang tak jauh dari the Arc. Malamnya Keisha mengajakku untuk menonton film yang pukul tujuh.
Di dalam bioskop, aku sempat "mengerjai" Keisha hingga gerbang kewanitaannya menjadi sangat basah. Selesai dari menonton film, Keisha mengajakku untuk buru-buru kembali ke apartemennya, karena dia masih sangat terangsang sekali.
Akhirnya begitu tiba di apartemen Keisha, kami kembali bergumul di ruang tamu dan di ruang makan. Kami berdua kembali mengarungi samudera kenikmatan hingga ada kalau empat atau lima ronde. Kali ini, aku kembali menggunakan "ilmu"ku. Malam ini kembali kami lewati dengan saling berpacu dalam nafsu dan rasanya tak bosan-bosannya kami melakukan hubungan badani hingga akhirnya Keisha terkapar lemas di pagi hari. Aku sendiri biarpun tidak sampai lemas, tapi capek juga harus "berolah raga malam" dengan berbagai posisi yang cukup menguras tenaga. Seperti misalnya posisi waktu dalam keadaan berdiri aku harus mengangkat Keisha dan dia memompa tubuhnya yang menggelayut di pinggangku. Pagi ini aku tidur sekitar pukul setengah tiga pagi.
Aku bangun pukul delapan pagi. Keisha rupanya sudah bangun lebih dulu dariku. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan segera mandi dengan cepat. Aku harus segera menuju bandara karena pesawatku berangkat pukul sebelas tepat. Selesai mandi Keisha menyuruhku untuk sarapan dulu. Dia sudah menyiapkan sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi dan secangkir kopi tubruk.
Pukul sembilan, aku sudah bersiap di depan pintu apartmen Keisha, pamit untuk pulang ke Los Angeles. Keisha memelukku erat sekali, seakan-akan tidak mau melepaskanku. Kami berciuman sebelum akhirnya aku menguatkan hati untuk pergi. Saat pesawatku tinggal landas dari bandara St. Louis, aku merasa ada yang hilang dari hatiku. Aku merasa sebagian dari jiwaku tertinggal di kota St. Louis, tertinggal di tempat Keisha. Di dalam pesawat, aku membuka sepucuk kartu dari Keisha yang baru boleh kubuka ketika aku sudah berada di pesawat dan sudah tinggal landas.
Hatiku bergetar saat membaca isi yang ada di dalam kartu, "Frank, I love you" dan ditandatangani oleh Keisha disertai gambar dua hati. Ada sepucuk surat yang diselipkan dalam kartu.

Frank Sayang,
Terima kasih atas kunjunganmu ke tempatku. Kamu begitu baik padaku dan kamu tunjukkan rasa cintamu yang demikian besar terhadapku. Aku bisa merasakannya Frank. Terima kasih atas rasa cintamu yang demikian besar itu, I'm honored.

Entahlah, aku tidak mengerti perasaanku sendiri terhadapmu. Di satu sisi, aku suka sekali kepadamu. Tapi di satu sisi, aku tidak ingin ada keterikatan denganmu. Biarlah waktu saja yang akan menentukan ya Frank. Yang jelas, aku saat ini sayang sekali kepadamu. Aku cinta kamu Frank, dan aku merindukan kamu. Kamu orang yang pertama yang bisa mengerti aku, memanjakanku, sanggup memenuhi apa yang aku inginkan, tapi bisa juga menentukan sikap tanpa harus terbudak olehku. Aku mengagumimu Frank. Terima kasih kamu sudah mau bersabar untukku.

Peluk ciumku yang paling hangat,
(tanda tangan Keisha)
Kei

Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di leher saat habis kubaca surat dari Keisha. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Seperti kata Keisha, biarlah waktu saja yang akhirnya menentukan hubungan kami ini. Biarlah hubungan kami ini tetap unik, seperti kata Keisha, yang menyebut hubungan kami ini sebagai "best friends plus".

-------

Sebulan setelah aku mengunjungi Keisha, aku mengalami hal yang tak pernah kusangka sebelumnya. Secara tak sengaja aku bertemu kembali dengan Park Seung Ran (Rani Park) di perpustakaan UCLA. Dari penuturannya, Rani mengatakan bahwa dia sedang sibuk untuk mendaftar ke fakultas pasca sarjana (graduate school) mengambil program MBA-nya. Terus terang, mendengar hal itu aku merasa senang. Dari sikapnya, aku pikir Rani juga senang bisa bertemu denganku kembali.
Perkenalanku dengan Rani terjadi saat aku mengunjungi guruku di Wichita, Kansas. Waktu aku datang ke Wichita, kebetulan bertepatan dengan acara tahunan International Festival di Wichita State University. Guruku mengajakku untuk menonton, karena dari Indonesia beliau akan turut berpartisipasi mengisi acara demonstrasi silat bersama teman-teman beliau sesama anggota P3 (Persatuan Pesilat PERMIAS) Wichita Kansas.
Rani menarik perhatianku karena pada waktu giliran wakil dari Korea Selatan tampil, Rani tampil sangat mengagumkan dan tampak cantik sekali malam itu. Pada waktu itu Korea Selatan menampilkan demonstrasi ilmu beladiri Korea yang dikemas dalam bentuk cerita fragmen. Aku tidak terlalu kagum dengan pertunjukan teknik-teknik tendangan tinggi ala taekwondo dan pemecahan papan-papan kayu. Bukan hal yang aneh, pikirku. Seperti demonstrasi taekwondo pada umumnya.
Hingga saat Rani keluar ke panggung. Rani mengenakan baju tradisional Korea yang seperti kimono, langsung menarik hatiku atas kecantikannya dan gerakannya yang luwes dan lemah gemulai. Ceritanya dia diganggu oleh berandal-berandal yang tadinya memperagakan gerakan-gerakan taekwondo dan pemecahan. Rani bisa membela diri dan membuat lawan-lawannya tak berkutik. Teknik yang digunakan merupakan teknik-teknik bantingan dan kuncian semacam aikido. Dugaanku, kemungkinan besar kalau bukan teknik-teknik dari Hwarangdo, tentu dari Kuk Sool Won. Ternyata dugaanku benar. Rani merupakan salah satu pelatih dari Kuk Sool Won, sebuah aliran beladiri Korea yang didirikan oleh Grandmaster In Hyuk Suh. Rani sendiri merupakan salah satu murid langsung dari Grandmaster In Hyuk Suh. Yang lebih mengagumkan lagi, Rani dengan santainya menghantam hancur tiga susun beton yang masing-masing setebal kira-kira lima sentimeter dengan tangannya yang halus.
Waktu aku ke belakang panggung menemuinya, tim demonstrasi silat Indonesia belum tampil, jadi dia belum melihat kemampuan pesilat-pesilat Indonesia yang tidak akan kalah memukau penonton. Sewaktu kuajak berkenalan, dia hanya menanggapinya dengan dingin dan biasa saja. Aku katakan bahwa salah satu pesilat yang akan demo nanti adalah guruku.
Sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat saat tim silat Indonesia selesai memperagakan demonstrasi silat beserta olah kanuragannya. Peragaan silat dari Indonesia terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah demonstrasi jurus gabungan satu dan dua dari P3 yang diciptakan oleh lima orang anggota P3 (masing-masing sudah bertingkat pelatih) dari lima perguruan silat besar di Indonesia. Jurus gabungan pertama biasanya diperagakan oleh anggota muda P3 karena relatif lebih mudah dan tidak memerlukan gerakan yang harus dilambari dengan tenaga dalam. Jurus kedua biasanya diperagakan oleh anggota-anggota P3 yang sudah lebih tinggi tingkatannya dan sudah bisa menggunakan tenaga dalam mereka. Kalau kelima orang yang mula-mula menggabungkan jurus-jurus dari perguruannya masing-masing itu mendemonstrasikan jurus gubahan mereka itu, hasilnya sangat berbeda. Setiap hentakan, sapuan, tendangan dan pukulan mereka bisa mengeluarkan angin yang cukup kuat! Tidak perlu heran, karena biarpun mereka saling menghormati satu sama lain, tapi rasa "superioritas perguruan" di antara mereka pasti ada, biarpun mungkin hanya mereka simpan dalam hati saja. Biasanya demonstrasi jurus-jurus silat ini tidak terlalu menarik perhatian penonton pada umumnya (kecuali yang mengerti ilmu beladiri).
Terus terang saja kalau dari segi akrobatik, gerakan-gerakan silat kalah bagus dengan kungfu atau taekwondo misalnya. Di silat, tendangan tidak perlu tinggi-tinggi melewati kepala. Ini hanya satu contoh.
Demonstrasi silat bagian kedua ini yang biasanya membelalakkan mata banyak penonton. Di bagian kedua para pesilat P3, terutama yang sudah tingkatan pelatih ke atas di perguruannya masing-masing, unjuk gigi dengan "memamerkan" olah kanuragan. Biasanya hal-hal yang seperti ini "ditabukan" di perguruan silat kami, tetapi di Amerika Serikat ini, guruku "memberanikan diri" memperagakan "kebodohannya" demi memperkenalkan seni silat dari Indonesia. Begitu juga para pelatih dari perguruan silat lainnya. Guruku memperagakan solo teknik permainan senjata kipas andalannya, mematahkan batangan kikir dengan dua jarinya, berdiri di atas tumpukan telur, membengkokkan tiga besi cor untuk bahan penguat beton bertulang dengan lehernya, dan yang membuat orang ada yang sampai menjerit karena ngeri adalah saat guruku membengkokkan sebatang besi cor dengan mata kirinya! Sementara teman-teman beliau yang lain juga tidak kalah dalam berunjuk gigi, misalnya: mematahkan batangan kikir hanya dengan sabuk, mementalkan orang, mematahkan batangan kikir dengan tulang kering, tidak mempan dibacok golok tajam, dan beladiri terhadap keroyokan empat orang bersenjata lawan tangan kosong. Keaslian bahan-bahan yang digunakan semuanya itu dibuktikan sendiri oleh beberapa penonton sebelum aksi dimulai, dan ketika selesai para penonton dipersilakan untuk memeriksa kembali hasilnya.
Aku mengatakan kepada Rani bahwa dengan kedua jarinya guruku bisa membuat bolong beton yang dihancurkan Rani. Kebetulan waktu aku bicara, di dekat Rani ada sisa-sisa beton yang tidak dipakai untuk berdemo tim Korea Selatan.
"Could you do that like your teacher?" tanya Rani dengan wajah yang sukar aku tebak maksud pertanyaannya.
"No, but I can do this..." kataku sambil menempelkan telapak tangan kananku ke sebuah beton. Aku berkonsentrasi dan mengeluarkan ilmu "Guntur Geni", menyalurkan ke telapak tangan kananku. Akibatnya, ada bekas hangus terbakar bergambar telapak tanganku pada beton itu dan sedikit mengeluarkan asap. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalamku, pinggiran beton setebal lima sentimeter kupatahkan dengan mudah. Patahan beton kemudian kuremas hancur menjadi bubuk dengan ilmu "Brajamusti"ku. Rani seperti tidak percaya melihat apa yang aku peragakan. Dia antara takjub dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Hasil dari sedikit "show off" itu membuahkan makan malam bersama Rani di sebuah restoran Jepang (restoran ini Rani yang memilih) dan menonton film midnight di sebuah bioskop sinepleks. Aku bilang padanya bahwa aku tinggal di Los Angeles dan hanya berkunjung sebentar saja di Wichita ini. Pada saat itulah aku terakhir kali bertemu dengan Rani sebelum akhirnya aku pulang ke Los Angeles. Selama di LA, aku hanya sekali saja menelefon Rani, itupun dia sedang tidak berada di apartemennya. Aku meninggalkan pesan untuk menelefonku balik, tetapi dia tidak pernah melakukannya. Aku pikir, dia tidak tertarik padaku, jadi ya aku juga tidak berusaha untuk menelefonnya kembali.
Di Perpustakaan UCLA inilah untuk yang kedua kalinya aku bertemu dengan Rani. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang gembira bertemu denganku. Aku sendiri senang sekali bisa bertemu kembali dengan dia. Dari pertemuan ini aku mendapatkan alamat rumahnya, nomor telefon dan alamat emailnya. Aku beberapa kali menelefon dan mengajaknya makan siang di kampus.
Akhirnya, kukenalkan Rani kepada Jeanne dan Mitsuko. Di luar dugaanku, Mitsuko ternyata teman satu klub tenis dengan Rani dan mereka mengenal dengan baik satu sama lain. Pertama kalinya Rani tidak suka bahwa ternyata aku mempunyai dua orang pacar. Dia pikir dia adalah seorang yang spesial. Aku tegaskan bahwa dia memang spesial untukku, tapi bukan berarti bahwa itu harus satu-satunya dalam hidupku.
Jalan hidupku bersama Rani sangat cepat dan agak berliku. Aku memberanikan diri meminta Rani untuk pindah dan tinggal bersamaku, bersama Jeanne dan Mitsuko. Pertama kali Mitsuko keberatan, tapi Jeanne tidak keberatan hanya dengan syarat bahwa sikapku tidak berubah terhadap mereka dan aku bisa berlaku adil. Aku menyanggupinya. Mitsuko dengan manjanya juga akhirnya tidak keberatan, asal dia juga masih bisa bermanja-manja kepadaku katanya.
Dari Rani sendiri, tadinya dia tidak mau dengan ideku, tapi entah karena aku yang pandai berbicara atau kharismaku yang besar, Rani akhirnya mau juga pindah ke rumah kami bertiga. Jadilah kami tinggal berempat sejak bulan November 1997.
Sementara itu hubunganku dengan Keisha makin lama makin mengendur dengan kesibukan kami berdua. Keisha makin sibuk dengan kuliahnya dan dengan kehidupannya sehari-hari. Aku sendiri juga sibuk dengan penulisan desertasi, riset, mengajar, dan kehidupanku sehari-hari. Nyaris dua puluh empat jam dalam sehari rasanya tak cukup waktu buatku. Musim semi 1998 waktuku benar-benar habis untuk mengejar desertasi agar bisa lulus dalam sidang mempertahankan desertasiku bulan Mei 1998. Keisha dan aku sama sekali seperti putus hubungan. Hanya memang kadang-kadang aku rindu padanya, tapi rasa rindu itu buru-buru hilang karena ketiga gadisku dengan setia mengisi hidupku dalam alam nyata, sementara bagiku Keisha adalah gadis dalam bayangan.
Akhirnya bulan Mei 1998 tiba dan hari ini adalah hari di mana aku harus menghadapi sidang untuk mempertahankan desertasiku. Tim yang mengujiku adalah para profesor yang sangat ahli di bidangnya masing-masing, dengan pengalaman akademis yang mungkin lebih lama dari waktu aku hidup. Entahlah, biasanya aku bisa bersikap akrab dengan mereka semua, tapi kali ini rasanya kok mereka sepertinya bersikap dingin kepadaku. Mungkin ini hanya perasaanku saja, pikirku. Dosen wali yang sekaligus juga pembimbingku bersikap simpatik sekali hari ini.
Puji syukur kepada Tuhan yang telah memberikan aku ketenangan dan kejernihan pikiran. Aku bisa mempresentasikan desertasiku dan mempertahankannya dengan baik. Aku lulus! Aku berhak menyandang gelar doktor atau PhD dengan namaku! Orang yang pertama kali kukabari akan kelulusanku adalah ibundaku. Kuinterlokal beliau dan kukabari bahwa aku telah berhasil menyandang gelar doktor di bidang Teknik Mesin. Ibuku menangis terharu mendengar kabar dariku. Setelah ibundaku, orang kedua yang kukabari adalah adik perempuanku. Dia juga merasa bangga sekali, terdengar dari nada bicaranya. Baru kemudian ketiga gadisku.
Malam ini kami berempat merayakan keberhasilanku meraih gelar doktor dengan makan-makan di sebuah restoran yang mahal. Aku lupa menelefon Keisha.
Keesokan harinya aku baru ingat untuk mengabari Keisha. Aku menelefon rumahnya, tapi ternyata telefonnya sudah terputus. Aku bingung. Kok si Keisha tidak memberi tahu aku kalau dia mau ganti nomor telefon? Aku mengirimkan email kepadanya, menanyakan nomor telefonnya yang baru dan mengabarkan bahwa aku sudah lulus program doktorku. Beberapa jam kemudian ketika kubuka mailbox-ku, ada sebuah email dari postmaster server sekolah Keisha yang mengatakan bahwa rekening Keisha sudah ditutup. Aku jadi tambah bingung dan cemas.
Ada apa gerangan dengan Keisha? Mengapa dia tidak memberi tahu aku kalau ada apa-apa dengan dia? Aku mencoba mengirim email ke rekening permanennya di Hotmail, tetapi hingga malam hari saat kubuka mailbox-ku, tak ada balasan dari dia.
Akhirnya esok harinya aku mencoba untuk menanyakan kabar Keisha kepada Adriana, salah seorang sahabat baikku sejak SMP yang juga merupakan sahabat dekat Keisha. Adriana sekarang bekerja di Virgina, di sebuah perusahaan piranti lunak sebagai seorang pemrogram. Adriana dan aku pernah sekelas sewaktu kami di SMP. Sejak saat itulah aku bersahabat erat dengannya. Ketika SMA, Keisha pun menjadi sahabatnya. Yang lucunya, Keisha sangat tidak menyukaiku habis-habisan, sementara aku kebalikannya, dan Adriana harus mendengarkan cerita dari Keisha dan aku yang sangat bertolak belakang. Adriana banyak membantuku untuk mendekati Keisha, tetapi tidak berhasil banyak. Lulus SMA Keisha diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung yang sama denganku, hanya bedanya dia masuk jurusan Matematika.
Aku menekan nomor telefon Adriana. Kudengar nada panggil tiga kali sebelum terdengar suara seorang perempuan, "Hello..." Aku tahu itu suara Adriana.
"Na... Ini aku Na, Frank. Apa kabar kamu?"
"Oh hai Frank! Kabarku baik-baik aja. Kamu sendiri apa kabar Frank? Tumben telefon. Ada apaan nih?"
"Aku punya kabar gembira yang aku ingin bagi. Aku baru aja lulus program doktorku!" seruku penuh antusias.
"Wah hebat! Selamat ya Frank! Selamat!" ada nada riang di suaranya.
"Terima kasih Na. Sorry aku akhir-akhir ini memang sibuk sekali sehingga aku nggak sempat ngabari kamu. Harap maklumlah."
"Aku ngerti kok Frank. Apalagi kamu tinggal sama tiga cewekmu itu, huuu so pasti sibuk banget ya. Hahaha..." Adriana menggodaku.
"Ah kamu. Ngomong-ngomong, si Keisha ke mana sih? Aku nyoba telefon dia tapi telefonnya disconnected. Nyoba kirim email ke alamatnya yang di kampus, mental. Nyoba kirim emailnya yang di Hotmail, nggak dibalas."
"Frank..." ada perubahan dalam nada bicara Adriana. Suaranya seperti tercekat. Ada jeda.
"Kenapa Na? Ada apa dengan Keisha?" ada perasaan yang tidak enak menyergap hatiku.
Adriana sepertinya menahan untuk tidak menangis, suaranya bergetar.
"Keisha... Frank, Keisha..." Adriana tidak meneruskan kata-katanya, malah akhirnya sesenggukan. Aku tambah penasaran.
"Kenapa dengan Keisha Na? Kenapa?"
"Frank... Huhuhu... Keisha... Keisha sudah pergi meninggalkan kita Frank..." Kalau ada petir saat itu, mungkin aku tidak terlalu terkejut mendengarnya. Tapi berita ini sungguh di luar dugaanku.
"Haaaah??? Apaaaa??? Apa maksudmu Na?" aku mencoba untuk tetap tenang. Jantungku rasanya berhenti berdetak.
"Huhuhuhu..." Adriana terisak, "kira-kira bulan Februari yang lalu, Keisha dibunuh orang di apartemennya. Aku pun baru tahu setelah dikabari oleh salah seorang pelajar Indonesia di St. Louis." Tangis Adriana kemudian meledak setelah mengatakan berita ini kepadaku.
Aku terdiam beberapa saat. Kalau pun ada guntur menggelegar saat itu, tidak akan membuatku seterkejut sekarang ini.

Bersambung?

Aaahhh... bagian berikutnya makin sulit untuk menuangkannya dalam kata-kata (biarpun sudah siap). Dada ini rasanya masih nyeri bila mengingatnya. Surat terakhir Keisha masih tersimpan rapi, yang isinya terpatri dalam hatiku. Seperti biasa, kirimkan email Anda ke:


Jabat erat,
Frankie Harahap

Komentar Wiro:
Ini cerita yang sangat bagus. Pengarang cerita sangat menguasai ilmu Tao dan persilatan. Terlebih dengan meninggalnya Keisha, membuat cerita ini abadi dalam hati kita semua. Dua ibu jari untukmu, Frank!


KEISHA 3: CRY FOR HELP

"Siapa yang melakukannya, Na???" tanyaku bercampur geram. Perasaanku
campur aduk antara marah, sedih, dan entah apa lagi. Pikiranku menjadi
keruh. Rasanya antara percaya dan tidak percaya dengan berita yang
kudengar dari Adriana.
"Aku nggak tahu Frank. Polisi St. Louis hingga sekarang belum bisa
menyingkap kasus ini," jawab Adriana. Adriana sudah bisa mengatasi
tangisnya, tinggal sesenggukan.
"Maafkan aku ya Frank yang lupa ngasih kabar ke kamu. Aku benar-benar
nggak ingat waktu aku mendengar berita itu sendiri." Aku mendengar
suara isak yang tertahan. Aku tidak mampu berkata-kata. Rasanya lidah-
ku kelu mengetahui akan tragedi ini. Tadinya aku akan mengabari berita
gembira atas keberhasilanku meraih gelar doktor dengan keberhasilanku
mempertahankan desertasiku. Ternyata malah aku yang mendapatkan berita
yang sangat mengejutkan dari Adriana.
"Terima kasih Na, kamu sudah memberi tahu aku berita yang sangat
mengejutkan buat kita berdua ini. Aku harus mengumpulkan kekuatanku
agar aku bisa menghadapi kenyataan ini. Sahabatmu Keisha merupakan
salah satu orang yang sangat spesial dalam hidupku, dan kamu tahu
itu," kataku sambil menahan agar perasaanku tidak membuat mataku
berair. Tapi aku tak berhasil. Setitik air mata menetes dari mataku.
"Aku berjanji dengan sekuat kemampuanku untuk bisa menebus ini semua.
Kita cuma bisa membantu dengan doa untuk Keisha ya Na..." aku berhenti
sejenak untuk menarik napas panjang.
"Ya Frank. Kita cuma bisa berdoa buat Keisha agar dia tenang dan
tentram di alam sana."
"I ya Na. Udahan dulu ya, nanti aku sambung lagi." Aku meletakkan
gagang telefon setelah Adriana memberikan salam. Aku duduk termangu di
sofa, masih tidak percaya dengan berita yang baru kudapat.
Rasanya baru kemarin aku ngobrol di telefon dengan Keisha, dan rasanya
baru kemarin aku memadu kasih dengannya. Tak bisa kubayangkan sekarang
Keisha sudah berada di Jakarta, beristirahat dengan tenang di sebuah
taman pemakaman umum. Yang membuatku lebih sakit hati dan menyesal
adalah penyebab kematiannya. Diperkosa dan dibunuh! Betapa pedih
perihnya aku saat itu (hingga kini kalau kuingat itu).
Aku beranjak dari sofa dan menuju lemari es. Kubuka sekaleng teh bunga
seruni dingin dan langsung kutenggak habis isinya. Setelah membuang
kaleng bekas teh bunga seruni itu, aku menuju ke kamarku. Kubuka
lemari tempat penyimpanan arsip-arsip pentingku. Akhirnya kutemukan
apa yang kucari, sebuah kertas berisi sebuah nomor telefon. Kuangkat
gagang telefon. Dengan sedikit ragu, aku menekan tombol nomor-nomor
sesuai yang tercantum di kertas yang kupegang. Terdengar sebuah dering
yang kemudian langsung diangkat.
"Haik!" terdengar nada tegas beraksen Jepang di seberang telefonku.
"Moshi-moshi Mr. Yoshimitsu. This is Frankie Harahap. O genki desu-
ka?" Ya. Nomor telefon yang kuhubungi adalah nomor telefon privat Hiro
Yoshimitsu, kepala klan Yoshimitsu yang juga seorang yakuza. Dia
memberikan nomor privatnya saat setelah pertarungannya dengan Benny
Chang selesai dan mereka saling mengangkat sahabat (baca dalam seri
Mitsuko Kajimura). Nomor yang diberikan ini adalah nomor yang pasti
diangkat oleh dia langsung tanpa melalui sekretaris atau orang lain.
Hiro Yoshimitsu menegaskan bahwa nomor ini hanya boleh digunakan bila
sangat mendesak dan penting yang membutuhkan perhatian dia.
"Oooh Mr. Harahap, watashi-wa genki desu! How are you today? What's
going on?"
"I'm fine Mr. Yoshimitsu, thank you. Please call me Frank. I have an
urgent need to see you. It's very important, and I really need your
big help and favor. May I come and see you in private please?"
Tanpa ragu, Hiro Yoshimitsu menjawab cepat, "Of course. I'll meet you
in my office right now. You just come straight to my office and talk
to the receptionist that I am expecting you. I'll see you in few
minutes!"
"Thank you very much Mr. Yoshimitsu. I'll be in your office as soon as
possible. Right now." Aku segera bergegas mengambil jaket kulit dan
helmku setelah meletakkan gagang telefon. Dengan menggunakan motor,
aku bisa bergerak lebih cepat dibanding bila harus menggunakan mobil.
Jarak dari daerah Beverly Hills ke Little Japan lumayan jauh dan
terkadang macet bila sedang jam sibuk.
Ternyata memang benar bahwa sesuatu itu tidak ada yang abadi. Begitu
juga teman dan musuh. Tidak ada teman yang abadi dan tidak ada musuh
yang abadi. Hiro Yoshimitsu pernah memerintahkan orang-orangnya untuk
menekan ayah Mitsuko lewat Mitsuko. Karena kebetulan Mitsuko sedang
berada di lingkungan yang tidak mudah untuk ditekan, maka orang-orang
Hiro Yoshimitsu mengalami kesulitan untuk melaksanakan tugasnya.
Selain harus berhadapan denganku yang melakukan perlawanan habis-
habisan dan mati-matian, mereka juga harus menghadapi Benny Chang dan
anak buahnya yang tidak rela melihatku dan Mitsuko harus mengalami
nasib yang buruk. Sekarang, nyatanya malah aku minta tolong kepada
orang yang dulu nyaris membunuhku (paling tidak melalui anak buahnya).
Untuk jelasnya, silakan baca kisahku dengan Mitsuko Kajimura, ada di
arsip CCS.
Aku melarikan Kawasaki Ninja-ku seperti kesetanan. Untungnya tidak ada
patroli polisi yang mencegatku dan memberiku surat tilang. Kantor Hiro
Yoshimitsu di daerah Little Japan kucapai dalam waktu yang relatif
singkat. Aku memarkir motorku di tempat parkir VIP. Sebodo, pikirku.
Mau diderek, itu terserah nanti urusannya.
Aku menemui resepsionis di lobby, seorang Jepang yang manis dengan
rambut digelung dengan sepasang anting-anting perak di telinganya. Dia
tersenyum ke arahku, "How may I assist you?"
"My name is Frankie Harahap. Mr. Yoshimitsu is expecting me in his
office." Seorang laki-laki Jepang yang tadinya berdiri di belakang
resepsionis maju menghampiriku.
"Mr. Harahap, please follow me." Kata laki-laki Jepang itu sambil
sedikit membungkukkan badan dan menyilakanku untuk mengikutinya.
Kuikuti dia menuju lift yang paling ujung. Rupanya ini lift khusus,
karena begitu pintu lift terbuka dan kami masuk, dia memasukkan sebuah
kartu elektronik ke slot yang tersedia dan menekan tombol lantai yang
akan kami tuju. Hiro Yoshimitsu berkantor di lantai paling atas yang
hanya bisa diakses secara terbatas.
Kuperhatikan orang yang mengantarkan aku ini. Seorang laki-laki Jepang
bermata sipit seperti Jepang pada umumnya. Rambutnya dipotong sangat
pendek. Dia mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan dasar kemeja
lengan panjang putih dan berdasi hitam. Tingginya hanya sebatas teli-
ngaku. Badannya termasuk tegap, kemungkinan besar dia juga berlatih
beladiri. Kemungkinan besar karate atau jiujitsu, melihat buku-buku
jarinya yang kekar. Jari-jarinya kulihat masih lengkap, berarti dia
belum pernah melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas yang diem-
bankan kepadanya.
Hiro Yoshimitsu dalam kesehariannya bergerak di bidang bisnis elektro-
nik dan kendaraan bermotor. Bisnis lainnya yang juga membuatnya
berkembang adalah bisnis tempat-tempat hiburan dan beberapa restoran
Jepang di Los Angeles, San Francisco, New York, Seattle, Chicago, dan
Miami. Hiro Yoshimitsu juga memiliki kasino dan bisnis prostitusi
(yang "halal") di Las Vegas dan Reno.
Pintu lift terbuka saat kami telah mencapai lantai tujuan kami. Kami
berdua keluar dari lift dan menuju ke sebuah pintu yang dibukakan oleh
seorang penjaga dengan sedikit membungkuk. Di depan pintu itu berjaga
dua orang yang berpakaian sama dengan orang yang mengantarku ini.
Penjaga satunya lagi juga ikutan sedikit membungkuk saat kami melewati
mereka. Kami memasuki sebuah ruangan yang agak luas dengan desain
interior Jepang modern. Ada seperangkat sofa set dari kulit, beberapa
hiasan kaligrafi Jepang di dinding, sepasang perangkat kendo lengkap
dengan pedang bambu untuk bermain kendo, dan ada pula satu set pedang
samurai (katana, wakizashi dan tanto) terpajang bersama sebuah helm
perang zaman Shogunat Tokugawa di ruangan yang kami masuki. Ada suara
gemericik air yang keluar dari sebuah air terjun mini di sebuah taman
kecil yang dilengkapi dengan sebuah kolam ikan berisi ikan koi, leng-
kap dengan pancuran bambu. Di sebuah sudut ruangan, ada sebuah meja
dan seorang perempuan Jepang duduk di sebuah kursi di belakang meja
itu. Aku menduga bahwa perempuan itu adalah sekretaris pribadi Hiro
Yoshimitsu. Perempuan itu sukar untuk kuduga usianya, yang jelas dia
sudah tidak muda lagi, namun masih terlihat cantik tanpa make up yang
tebal.
Pengantarku mengetuk pintu yang terbuka tak jauh dari meja sekretaris
Hiro Yoshimitsu. Kami memasuki ruangan kerja Hiro. Pengantarku mem-
bungkuk dalam-dalam begitu melihat Hiro Yoshimitsu. Hiro tersenyum ke
arahku. Aku melihat ada seorang perempuan Jepang cantik di belakang
meja kerja Hiro. Masih muda!
"How are you Mr. Yoshimitsu?" aku mengulurkan tangan untuk berjabat
tangan dengan Hiro yang berjalan menghampiriku.
"Frank, glad to see you again after a long time. As you can see, I
grow older since last time we met. Have a seat!" kata Hiro Yoshimitsu
sambil menjabat tanganku dan menepuk pundakku. Aku menjabat tangannya
sambil sedikit membungkuk. Memang, Hiro Yoshimitsu tampak lain diban-
ding terakhir kali aku melihatnya. Di kiri-kanannya sudah tampak
rambutnya yang memutih. Dia terlihat lebih tua namun masih tetap tegap
dan gagah ketika bergerak. Hiro Yoshimitsu mengenakan setelan jas
berwarna abu-abu tua dengan dasar kemeja biru tua berdasi merah marun
dengan motif kotak-kotak kecil.
"Mariko, come here and meet Frankie Harahap!" kata Hiro sambil melam-
baikan tangannya ke arah perempuan muda Jepang yang cantik itu. Ia
berjalan menuju ke arah kami. Aku berdiri saat dia berdiri di hadapan-
ku. "Frank, this is Mariko, my daughter." Sudah kuduga. Pasti kerabat
dekat dari Hiro Yoshimitsu.
"How do you do Ma'am?" kataku sambil menjabat tangannya yang halus.
"Pleased to meeting you Mr. Harahap." Jawab Mariko Yoshimitsu.
"Please call me Frank or Frankie."
"In this case, please don't call me ma'am. I am too young to be called
ma'am. You can call me Mariko or Mary." Kata Mariko sambil tersenyum
kepadaku dan mengambil tempat duduk di sisi ayahnya.
Aku tidak bisa langsung mengutarakan maksud kedatanganku karena Hiro
mengajakku untuk berbincang-bincang berbagai topik yang diselingi
dengan lelucon-lelucon ringan. Kami bertiga ngobrol bagaikan sebuah
keluarga yang sudah lama tak bertemu. Hiro Yoshimitsu di mataku mem-
buyarkan citra tentang yakuza yang sering kubaca di buku atau kutonton
di film. Hiro yang kukenal sangatlah ramah dan senang bercerita, tak
terlihat sama sekali kalau dia ini adalah seorang yang bisa sangat
berbahaya dan kepala sebuah mafia Jepang yang ditakuti banyak orang.
Dia tampak seperti layaknya orang tua Jepang yang sering kulihat.
Siapa yang menyangka bahwa Hiro Yoshimitsu di suatu saat bisa menjadi
seorang yang keras dan kejam?
Aku jadi teringat akan sebuah teori perang klasik Cina yang dikarang
oleh Sun Tzu, yaitu "bersikaplah keras terhadap lawan yang lemah dan
bersikaplah lemah terhadap lawan yang keras". Apa dia ini sedang
menjalankan taktik ini terhadapku? Apakah aku bisa percaya kepadanya?
Mengapa aku bisa sampai ke tempat ini dan ingin meminta bantuannya?
Bukankah di masa lalu dia ini hampir saja merenggut nyawaku dan nyawa
seorang kekasihku lewat tangan-tangan anak buahnya? Atau dia masih
menganut teori "kalau kau tidak bisa mengalahkan musuhmu, jadikan dia
kawanmu"? Ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di kapalaku sebelum
akhirnya aku bisa memutuskan untuk mengambil resiko meminta bantuan
Hiro Yoshimitsu. Waktu sajalah yang akan membuktikan bahwa aku bisa
percaya kepadanya atau tidak.
Sekretaris Hiro datang membawa sebuah nampan berisi sebuah teko dengan
tiga cawan. Dia meletakkan teko di meja di hadapan kami. Mariko me-
nuangkan isi teko itu ke dalam cawan kami masing-masing, dimulai dari
cawan milik Hiro. Isinya ternyata adalah sen-cha, teh hijau Jepang,
aku kira teko tadi berisi sake.
Setelah kira-kira setengah jam berbincang-bincang, akhirnya Hiro
memutuskan untuk memulai urusan "bisnis" denganku.
"Mariko, my dear, would you please excuse us for a moment? I would
like to speak to Frank in private." Mariko segera beranjak dari kur-
sinya dan mencium kening ayahnya. Mariko mengerling ke arahku dan
menebar senyuman, "It's nice to meeting you Frank!" dan dia kembali
menjabat tanganku. Aku berdiri membalas jabatan tangannya, "The pleas-
ure is mine, Mariko!"
Mariko meninggalkan ruangan kerja ayahnya.
"So, please tell me what can I do for you Frank?" tanya Hiro begitu
Mariko tak kelihatan dan dia menutup pintu ruang kerja ayahnya. Aku
menarik napas panjang, "Mr. Yoshimitsu, before I tell you what my
problem is, would you please treat this as confidential?"
"You can talk to me Frank." Hiro menarik badannya dan bersandar di
kursi, menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya, dan merapatkan
jari-jari tangannya satu sama lain di depan dada.
"Thank you Mr. Yoshimitsu." Aku diam sejenak, "I had a friend. I could
call her a close friend. We had been friends since we're in high
school." Aku menarik napas panjang lagi, "Aprroximately three four
months ago she was brutally raped and murdered in her apartment."
"I'm so sorry to hear this Frank! Please accept my condolence." tak
ada keterkejutan di wajahnya. Mungkin bagi seorang Hiro hal ini meru-
pakan hal yang biasa dalam hidupnya.
"Thank you Mr. Yoshimitsu." Aku membetulkan posisi dudukku, "The St.
Louis Police Department until right now still doesn't have any clue
who did it. I think this is not just regular crime done by regular
person."
"Why don't you tell me earlier about this Frank?"
"I just knew this news today myself when I called one of my best
friends and she told me about this news that shocked me. As soon as I
could handle myself on ground, I called you right away, and here I
am."
"Three four months ago... St Louis... It's getting colder every
day..." gumam Hiro sambil matanya menerawang sejenak ke langit-langit
ruangan kerjanya. "OK Frank, we'll see what I can find for you. Don't
worry, he will not rest easy since now on!" Hiro tersenyum kepadaku.
"Thank you very much Mr. Yoshimitsu. I owe you!"
"No... no... no...! Please don't mention it. I've promised you and
Benny to help you anytime you need my help, and I will keep my prom-
ise! So, once again, please don't mention it."
Setelah berbasa-basi sejenak, Hiro Yoshimitsu secara halus mempersila-
kanku untuk meninggalkan ruang kerjanya. Aku sendiri juga tidak ingin
berlama-lama dengannya. Aku jadi berpikir, memang kalau orang mempu-
nyai kekuasaan terhadap sesuatu, apapun bentuknya, bisa dengan "see-
naknya" mengatur sesuai dengan apa yang dia mau. Seperti Hiro contoh-
nya. Dia bisa mengatur kapan aku bisa mengutarakan maksud kedatangan-
ku, kapan dia mau menyudahi pertemuan kami, tanpa aku bisa menolak dan
tidak merasa tertekan.
Kembali aku diantar oleh orang yang tadi mengantarku. Rupanya dia
menungguku di luar. Kulihat Mariko sedang berada di taman mungil
memberi makan ikan-ikan koi. Melihatku keluar dari ruang kerja ayah-
nya, dia datang menghampiriku setelah meletakkan makanan ikan yang
dipegangnya pada tempatnya.
"Frank, would you care for lunch with me today?" aku agak terkejut
mendengar ajakannya. Rasanya ingin kuterima ajakannya, tapi aku harus
melakukan suatu pekerjaan lain.
"I'd love to, but I am afraid I have another business that I have to
take care. How about a rain check?" tawarku.
"That's fine. Shall we call it for one o' clock tomorrow afternoon?"
"Perfect. I will pick you up at one o' clock tomorrow afternoon. Where
do you want me to pick you up?"
"How about if we meet at the lobby downstair?"
"Very well. I will meet you tomorrow afternoon at one o' clock at the
lobby downstair. I'll see you tomorrow Mariko." Kataku sambil kembali
menuju ke arah lift. Mariko tersenyum kepadaku dan menatap kepergianku
ke arah lift. Aku berusaha keras untuk tidak kembali menengok. Be cool
Man! Pikirku.
Si Jepang yang "mengawalku" mengantar hingga pintu lobby dan mengucap-
kan selamat siang kepadaku dengan hormat dan sedikit membungkuk.
Mungkin sudah ada "pakem"nya untuk berlaku demikian terhadap tamu-tamu
Hiro Yoshimitsu. Aku melihat Kawasaki Ninjaku masih ada di tempat
parkir VIP. Baguslah kalau motorku tidak diderek. Mungkin mereka tahu
bahwa itu adalah motor salah satu tamu Hiro Yoshimitsu dan tentu saja
mereka tidak berani gegabah.
Aku melihat jam tanganku. Sudah hampir pukul satu siang. Kemungkinan
Benny sudah kembali ke kantornya, pikirku. Jarak dari Little Tokyo ke
Chinatown tidak terlalu jauh kalau kutempuh dengan motor. Akhirnya aku
memutuskan untuk pergi menuju kantor Benny di Chinatown.
Sebelum memasuki wilayah pecinan Los Angeles, aku mampir dulu ke
sebuah restoran Indonesia (bagi yang tinggal di LA pasti tahu nama
restoran ini) untuk makan siang. Restoran ini selalu penuh dengan
pengunjung yang sebagian besar orang Indonesia pada saat jam makan
siang seperti sekarang ini. Aku mengambil tempat di sudut dekat tempat
berkaraoke kalau malam hari. Hari ini aku memesan telur bumbu bali dan
kari ayam. Aku makan dengan lahap dan cepat.
Selesai makan, aku mencoba menelefon Benny dengan telefon selularku di
depan restoran. Dua kali deringan, ada jawaban di seberang sana,
"Wei!"
"Ben, this is Frankie Harahap. Ni how ma, Man?"
"Frank! What a surprise! I'm fine, thanks. What's up?"
"Not too much. I need to talk to you in private."
"What's going on Frank? Is everything okay?"
"Well, to be honest, I'm not in good situation right now and I need
your help."
"Don't tell me this is regarding a woman."
"Unfortunately, it is."
"Where are you now?" tanya Benny.
"I'm in front of Indonesian restaurant near Chinatown. I'll be in your
office in five minutes."
"Meet me in my herb store. I'm not in my office right now."
"OK Ben, I'll meet you in your herb store. See you in five minutes!"
kataku dan kemudian menyudahi pembicaraan telefon setelah saling
menutup salam. Aku kemudian mengendarai motorku ke arah toko obat
milik Keluarga Chang. Toko obat milik Keluarga Chang ini tergolong
besar dan mewah di daerah pecinan Los Angeles, lengkap dengan jasa
pengobatan akupunktur, herbalist dan pijat qigong.
Sejak lulus S1 dari UCLA, Benny kemudian dipercaya oleh ayahnya untuk
memegang berbagai bisnis keluarganya di Los Angeles dan San Francisco.
Benny sudah tidak tinggal lagi di apartemennya yang lama (yang satu
kompleks apartemen dengan adiknya, Jeanne) dan pindah ke sebuah rumah
yang megah di luar pecinan. Benny dan aku sudah sangat jarang bertemu,
kecuali dalam acara khusus keluarga yang melibatkan Jeanne. Tentu saja
Mitsuko Kajimura, Rani Park dan aku juga sudah dianggap bagian dari
keluarga besar Chang. Hingga saat ini, aku hanya mengetahui kegiatan
luar Benny. Di balik kegiatannya yang "kelihatan", tentu saja aku
tidak tahu dengan pasti. Yang jelas, keluarga Chang di kalangan ma-
syarakat Cina di Los Angeles dan San Francisco sangatlah disegani atau
lebih tepatnya ditakuti. Aku pun tidak punya keinginan untuk mengeta-
hui lebih lanjut apa sebenarnya yang dilakukan oleh Benny. Biarlah,
toh kupikir itu juga bukan urusanku dan aku pun tidak ingin ikut-
ikutan.
Kurang dari lima menit aku sudah sampai di depan rumah obat milik
Benny. Kuparkir motorku di tempat parkir.
"Hi Ling! You look wonderful today! Ooops I forgot, you always look
wonderful!" sapaku pada seorang gadis cantik yang sedang menjaga toko
sambil tersenyum dan menjinjing helmku. Lingfung Chang atau sering
dipanggil Ling-Ling atau Ah Ling adalah saudara sepupu Benny, anak
dari pamannya. Aku mengenal Ling-Ling pada suatu pertemuan Keluarga
Besar Chang. "Benny is expecting me."
"Hi Frank! It has been a long time since last time you visited here.
No more herbs hunting, huh?" Ling-Ling tersipu menjawab sapaanku. Dia
memang selalu memerah pipinya kalau perasaannya berubah. Menurut
Jeanne, diam-diam gadis berumur 18-19 tahun ini menyukaiku. "We just
got a mixed herbs called 'imperial qi'. It's good for strengthening
your qi."
"No, thanks Ling. Probably next time. I'm here to meet Benny. So, is
he inside?"
"Hmmm..." wah, Ling-Ling tampak manis sekali saat merengut seperti
itu.
"Okay... Yes, Benny is expecting you inside. Just go ahead. So, how's
ta cie (maksudnya Jeanne)?"
"She is fine, thanks. Okay, I'm going inside to see Benny. I'll see
you later, my little butterfly!" kataku sambil memencet perlahan
hidung mungil Ling-Ling dan kemudian menuju ke dalam. Dia hanya ter-
senyum. Ling-Ling tidak keberatan kupanggil dengan sebutan "Kupu-Kupu
Kecil" karena dia lincah dan tampak ringan serta ceria. Bagaikan kupu-
kupu yang bergerak kian kemari.
Aku memasuki gang kecil yang mempunyai beberapa pintu. Ruangan-ruangan
itu adalah ruangan praktik akupunktur dan pijat qigong. Di akhir gang,
ada ruangan yang agak luas dengan seperangkat sofa dari kulit dan
sebuah akuarium besar berisi sebuah ikan arowana perak berukuran cukup
besar. Ada seseorang yang menungguku di depan sebuah pintu.
"Ah So! Glad to see you. Is everything okay with you?" sapaku berbasa-
basi terhadap Ah So, salah satu pelayan merangkap penjaga toko obat
ini. Ah So tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk dan tangannya
mempersilakanku untuk memasuki sebuah ruangan. Ah So tidak bisa berbi-
cara karena lidahnya dipotong oleh lawan-lawan Benny sewaktu terjadi
bentrokan antar triad beberapa tahun silam. Beruntung bahwa dia tidak
terbunuh dalam peristiwa itu. Kudengar dari cerita Jeanne, istri dan
anak Ah So meninggal secara mengenaskan karena dibunuh dalam perang
antar triad yang sama. Tadinya Ah So ini merupakan salah satu kepala
sebuah "tong" (ranting terkecil dari sebuah triad) di bawah triad
Benny. Karena kejadian itu, kemudian Benny memutuskan untuk menarik Ah
So dari jalanan dan dipercaya untuk menjaga toko obat ini.
Aku memasuki ruangan yang ditunjuk Ah So. Kulihat Benny Chang berdiri
dan menyambutku dengan senyuman yang lebar. Benny yang sekarang sudah
berbeda dengan Benny yang pertama kali kukenal. Dia sekarang tidak
pernah lagi mengenakan kaos dan jins, selalu bersetelan jas mahal
dengan sepatu yang selalu mengkilap. Benny juga sudah tidak pernah
lagi mengendarai motornya. Dia sekarang hanya turun naik kendaraan
operasionalnya, yaitu sebuah Mercedes Benz S600 berwarna hitam dengan
kaca film yang juga hitam pekat. Mobil operasional ini konon kabarnya
dipesan khusus dengan kaca anti peluru dan tahan ledakan granat
tangan. Pernah dia mengeluh kepadaku bahwa dengan posisinya sekarang
ini, dia merasa kehilangan sebagian dari kebebasannya.
"Frank, did you lose your weight? You look a little slimmer since last
time I saw you. So, how are you, Bro?" Benny menjabat erat tanganku
sambil mendekapku seperti layaknya seorang sahabat atau saudara.
Memang, kami berdua sudah saling mengangkat saudara sejak aku serius
berhubungan dengan adiknya, Jeanne.
"Other than in mourning right now, I'm fine. Your sister keeps me busy
and happy all the time," jawabku sambil membalas pelukannya. Kemudian
aku duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Benny tampak sedikit terke-
jut mendengar bahwa aku sedang berkabung.
"Mourning, Frank? Who's died?"
"One of my best friends. She was brutally raped and murdered," jawabku
singkat. "That's why I need to talk to you privately."
"I'm so sorry to hear this Frank. I didn't know that this is about
murder. I thought when you mentioned about girl's problem, you just
screwed up with some girls or so." Benny berjalan ke arah lemari es
kecil dan mengambil sebotol air mineral dan sebotol Sprite. Dia mem-
berikan air mineral itu kepadaku. Dia sudah hafal setiap kali ditawari
minum, aku selalu memilih air mineral. "So, tell me the story Frank.
When and where this happened and... who's this girl?"
Aku meneguk air mineral setelah tentu saja membuka tutupnya, "She was
my high school friend. I used to have crush on her, but it didn't work
out and we became best friends. I lost her contact for awhile and when
I called my other best friend whom also her best friend this morning,
I heard this terrible tragedy," aku meneguk lagi seteguk air mineral,
"she said it happened about three four months ago in her apartment in
St. Louis."
"What the police said?"
"As far as I know, they are still looking for the guy. I believe this
is not just a regular crime."
"Why do you think so?"
"Come on Ben. This is twentieth century! How about DNA test, finger-
prints, pubic hair, et cetera et cetera? And I had a strong feeling
that somebody strong was behind this thing. Perhaps another organized
crime?"
"Wow Frank, you're too serious. This guy might be just lucky son-of-a-
bitch. But anyway, I'll help you. Don't worry Bro, I'll take care of
this. Remember, somebody messes with you, he messes with me!" kata
Benny sambil menunjuk hidungnya.
"Thanks Ben. I know that I can count on you."
"Your welcome. Oh, by the way, congratulation on your graduation. So,
you are a doctor now, huh?" Benny berjalan ke arah meja kerjanya dan
membuka sebuah laci.
"Well, for now a PhD without a decent job. I am looking for one
though."
Benny mengambil sebuah kotak dari kayu berukir naga dari laci meja
kerjanya dan menyerahkan kepadaku. "Here's a present from me for your
graduation. Once again, congratulation. I wish I could have a strong
commitment to study like you."
"You don't have to give me a present. But thanks anyway. Hey..." aku
terkejut ketika membuka kotak itu. Isinya adalah sebuah kunci mobil
dengan gantungan kunci dari emas berlogo Toyota dan sebuah kartu nama
seorang agen mobil di sebuah dealer mobil Toyota.
"What is this Ben?" tanyaku tak mengerti.
"Well, I know you like Toyota Supra. So, I give you one, red colored
with turbo engine. I hope you like it," jawab Benny enteng.
"Are you kidding me? Are you serious Man?" tanyaku masih tak percaya
dengan pendengaranku sendiri.
"Yup! But you have to pick it up yourself. Make an appointment with
the guy on the card to pick up your car. I think it is better for you
to drive a car than ride a bike when you go for an interview," kata
Benny sambil tersenyum.
"Man... I can't say anything but thank you very much!"
Hari itu aku bersama Benny selama kurang lebih dua jam. Kami membica-
rakan berbagai macam topik, termasuk tentang Jeanne dan diselingi
dengan lelucon-lelucon segar Benny. Pada saat terakhir, Ling-Ling juga
turut bergabung dengan kami untuk mengobrol.

Setelah dari tempat Benny, aku kembali pulang. Aku capek secara men-
tal. Ketika aku pulang, Rani dan Mitsuko juga sudah pulang dan mereka
menyambutku. Seingatku, Jeanne pada waktu itu sedang pergi mengantar
ayahnya yang kebetulan sedang berlibur ke Los Angeles. Ini salah satu
keberuntunganku dan kebahagianku mempunyai tiga orang perempuan yang
"kuat" dan bisa hidup rukun satu rumah denganku. Mereka bisa membaca
kelelahan mental yang kuhadapi, tapi mereka dengan sangat pandainya
bisa membuatku sejenak melupakan kepenatan pikiranku.
Rani hari ini membawakan makanan kesukaanku yang dibelinya di sebuah
restoran Korea, yaitu bulgogi (daging manis pedas) dan asinan sawi
khas Korea, kimchi. Mitsuko menceritakan tentang kegiatannya semenjak
keluar dari rumah hingga pulang. Diam-diam ternyata Mitsuko juga
menyiapkan air mandi untukku. Mitsuko tentu saja tahu kebiasaanku
untuk mandi berendam air hangat dalam bath tub yang penuh busa sabun
mandi dengan keharuman lavender, terutama kalau aku sedang capek dan
suntuk. Akhirnya aku memutuskan untuk berendam dulu sebelum makan
malam bersama Mitsuko dan Rani. Aku berendam di kehangatan air mandi
penuh busa harum sambil memejamkan mata. Alunan musik klasik dari
petikan gitar yang keluar dari tape mengiringi pikiranku yang
melayang-layang entah ke mana. Tak terasa hampir setengah jam aku
berendam dan kulitku mulai mengkerut karena terlalu lama berada dalam
air sabun. Kubilas tubuhku dan sekalian keramas dengan air pancuran
hangat.
Aku keluar dari kamar mandi dengan tubuh terasa segar. Segera aku
menuju ke ruang makan. Mitsuko dan Rani sudah menungguku sambil berca-
kap-cakap tentang urusan perempuan.
"Are you feeling better Frank?" tanya Rani.
"Yes. Thank you for both of you," kataku sambil menghampiri mereka
berdua. Kukecup kening Mitsuko dan kemudian Rani, baru aku duduk di
kursi makanku. Memang, di meja makan ini kami mempunyai kursi masing-
masing. Meja makan kami berbentuk bujur sangkar. Aku duduk di kursi
yang satu sisi dengan tembok ruang makan, Jeanne biasanya duduk di
hadapanku, Mitsuko duduk di sebelah kananku, dan Rani duduk di sebelah
kiriku.
"So, how's your day?" tanyaku kepada mereka berdua.
"It's just like regular day. One of my students got sick because of
food poisoning, but he's okay. Jeanne stopped by during lunch to drop
off a take out lunch for me." Mitsuko menjawab pertanyaanku. Sejak
lulus S1 jurusan Matematika dari UCLA tahun 1996, Mitsuko bekerja
sebagai seorang guru sekolah menengah atas. Ia mengajar mata pelajaran
matematika dan fisika. Seperti biasa, kami memang selalu bercerita
tentang apa saja yang sudah kami kerjakan seharian pada waktu makan
malam. Biasanya cerita dimulai dari Jeanne, kemudian Mitsuko, disusul
oleh Rani dan terakhir baru aku yang menceritakan apa yang aku kerja-
kan seharian.
"What happened to that boy? Did he got an expired food or unclean
food?" tanyaku menanggapi cerita Mitsuko sambil menyuap sesumpit
kimchi. Rani meletakkan sebuah piring berisi nasi ke hadapanku, "Thank
you My Dear..." kataku kepada Rani.
"Well, I didn't know exactly what happened. I heard that he has a very
sensitive digestive system. So, most likely he got a stomach upset
from unclean food, so bad that he needed a medical attention."
"How about that young guy, what's his name? Mike? Was he doing any-
thing stupid this time?" aku bertanya kepada Mitsuko sambil menyendok-
kan beberapa potong daging manis bulgogi ke piringku dan mengambil
beberapa potong oseng-oseng kailan yang dimasak secara cepat oleh
Mitsuko saat aku mandi. Mitsuko mencibirkan mulutnya. Ini ciri khas
dia kalau dia tidak suka. "Yes, Mike. He asked me to go out this
afternoon for lunch."
"What???" aku terkejut. Mungkin karena hari ini mentalku sedang tidak
siap, mendengar hal yang harusnya aku bisa lebih bersabar, aku jadi
tersinggung.
"Relax Frank," Mitsuko mengelus punggung tangan kananku, "of course I
didn't accept his request, and thank God Jeanne came in at the right
moment." Rani tersenyum melihatku. Mitsuko melanjutkan ceritanya, "I
told him that I am engaged. And he backed up and apologized."
Kemarin Mitsuko menceritakan kepadaku bahwa ada seorang guru baru yang
masih muda dan suka kepadanya. Biarpun Mitsuko sudah menunjukkan
secara tidak terus terang bahwa Mitsuko tidak mau, tetapi Sang Guru
Muda ini masih tetap berusaha mendekati Mitsuko.
"Good! Because right now I'm not in the mood to whack someone for a
stupid thing." Kembali aku menyendokkan sesuap nasi.
"What is the matter Honey? Is everything all right?" tanya Mitsuko dan
Rani hampir bersamaan. "Care if you talk to us? Who knows we might be
able to help you." Rani mengelus pipiku. Aku menghembuskan napas
panjang, kemudian meminum seteguk air.
"Something terrible happened to one of my friends. But before I tell
you my story, as usual I would like to hear your story first Seung
Ran." Kataku menjawab pertanyaan Rani.
"Today's the same. Just went to campus for some classes and nothing
special. I had one test on International Business class. I thought I
did it very well. Now, tell us yours."
Aku menyelesaikan suapan nasiku yang terakhir dan meminum habis air
putih yang tersedia sebelum kumulai ceritaku. Aku ceritakan sejak
mereka semua meninggalkan rumah dan aku sendirian menelefon Adriana
untuk mencari kabar tentang Keisha. Lalu kuceritakan bahwa dari Adria-
na aku mengetahui berita yang sangat mengejutkanku, tentang Keisha
yang diperkosa dan dibunuh oleh orang yang tak dikenal hingga kini.
Mitsuko dan Rani terkejut mendengar ceritaku. Mereka sampai tak mampu
berkata-kata. Kuceritakan pula bagaimana aku menghubungi Hiro Yoshi-
mitsu dan Benny untuk minta tolong mereka. Mitsuko tambah terkejut
mendengar nama ini kusebutkan.
"Hiro Yoshimitsu that old Yakuza?" tanya Mitsuko seakan tak percaya
dengan pendengarannya sendiri. "Yes!" jawabku meyakinkan.
"Who is this Guy?" Rani bertanya kepadaku. Mitsuko yang menjawab
dengan menceritakan secara singkat kejadian yang pernah dialaminya
dulu saat awal-awal dia bertemu denganku. Rani menunjukkan wajah yang
seakan-akan tak percaya. "And you asked for his help, Frank? Do you
trust him?" Rani meminta penjelasanku.
"Yes, I did ask him for his help, but to trust him, I gave him a
chance to prove it to me first. I'm still on my guard. I think I'm on
win-win situation with him. That's why I also asked Benny for help."
Kemudian aku meneruskan ceritaku saat aku bertemu dengan Benny dan
diberi kejutan hadiah kelulusan sebuah mobil. Mitsuko dan Rani ikut
merasa senang. Ada satu hal yang aku tidak ceritakan kepada mereka
berdua, yaitu tentang Mariko. Tapi aku bilang kepada mereka berdua
bahwa aku mempunyai janji makan siang untuk urusan bisnis dengan
kelompok Hiro Yoshimitsu. Dalam hal ini aku tidak bohong, karena
Mariko adalah dari kelompok Hiro Yoshimitsu dan aku makan siang untuk
membicarakan urusan bisnis.
Selesai makan aku duduk di sofa sambil menonton acara tv. Mitsuko dan
Rani menemaniku sambil bercakap-cakap. Rani menawarkan untuk memijat
pundakku, yang tentu saja aku terima tawarannya. Sebagai seorang yang
mengerti beladiri, Rani juga memahami teknik-teknik memijat untuk
melemaskan otot-otot yang kaku. Aku menerima pijatan Rani di pundak,
leher dan kepalaku. Rasanya nyaman dan sebentar saja aku merasa
mengantuk, padahal jam baru saja menunjukkan kurang dari pukul sembi-
lan malam. Akhirnya aku mengajak mereka berdua untuk menemaniku tidur
di kamar. Walaupun aku tahu bahwa Mitsuko dan Rani belum mengantuk,
mereka mau juga beranjak untuk menemaniku tidur. Mereka tahu bahwa
pada dasarnya aku ini senang dimanja (siapa sih yang nggak senang
dimanja?) Mereka hanya menemaniku hingga aku benar-benar tertidur
dengan pulasnya. Biasanya mereka akan kembali meneruskan apa-apa yang
mereka mau kerjakan, dan kembali menemaniku bila mereka sudah benar-
benar mengantuk.

Keesokan harinya aku bangun pagi seperti biasa. Pukul lima pagi aku
sudah bangun, mencuci muka dan keluar rumah ke halaman belakang. Tiap
pagi aku melakukan sedikit olah raga, pernapasan dan latihan silat
yang kemudian kututup dengan latihan meditasi. Terkadang Jeanne dan
Rani ikut pula berlatih bersamaku bila mereka tidak malas. Pagi ini
rupanya Rani ingin latihan bersama menemaniku. Rani bergabung bersama-
ku setelah aku menyelesaikan satu set latihan pernapasan untuk me-
nguatkan "gwakang". Udara pagi Los Angeles di musim panas ini terasa
sejuk segar mengisi rongga dadaku yang terasa hangat.
Badanku sudah mulai berkeringat saat Rani memulai pemanasan untuk
kemudian melanjutkannya dengan gerakan-gerakan dasar beladiri Korea
yang dipelajarinya. Biasanya, setelah itu Rani akan mengajakku untuk
berlatih bersama. Bagiku, lebih tepatnya aku dijadikan sebagai "kor-
ban" latihan kuncian dan bantingan ala Kuk Sool Won Rani, dibandingkan
sebagai mitra latih.
Sementara Rani masih melakukan senam pemanasan, aku melanjutkan dengan
set kedua teknik pernapasan "gwakang" yang kulatih. Udara yang masih
agak dingin membuat tubuh panasku seperti mengeluarkan asap baik dari
badan maupun hembusan napas dari hidungku. Selesai melakukan set
kedua, Rani juga sudah selesai dengan senam pemanasannya.
"Let's practice fight as usual, Frank!" ajak Rani.
"OK, but this time I won't let you win easily."
"You can try!" kata Rani sambil mengerling dan tersenyum. Kalau sudah
begitu, luluh rasanya hati ini. Kemudian Rani merapatkan kedua kakinya
dan sedikit membungkuk, memberi hormat. Aku juga merapatkan kedua
kakiku, merapatkan kedua tangan di dada dan menundukkan kepala,
menghormat ala silat. Rani memasang kuda-kuda kamae seperti seorang
karateka. Aku sendiri berdiri menyamping dengan sikap "Garuda".
"Hiyaaa..." sebuah tendangan sabit menyambar keras ke arah kepalaku.
Rani tidak memberi kesempatan kepadaku. Begitu tendangan pertamanya
tak mengenai sasaran, Rani kembali melancarkan sebuah tendangan dengan
kakinya yang satu lagi. Kali ini arah sasarannya adalah pundak kananku
yang diserang dengan tendangan "bal cha-gi" (tendangan cangkul atas).
Belum sempat aku mengatur posisi, tiba-tiba sebuah tendangan belakang
yang dilakukan secara berputar sambil melompat mengancam ulu hatiku.
Tiga kali tendangan yang tak terduga dan dilakukan dengan cepat serta
perhitungan matang, akan sangat sulit untuk dielakkan oleh orang yang
kurang pengalaman. Dengan sedikit menggesut sambil kedua tanganku
melakukan teknik "Tolak Putri Berhias", aku berhasil menggagalkan
tendangan Rani yang mengarah ulu hatiku. Sebuah sapuan luar dilan-
carkan Rani begitu tendangannya tidak mengenai arah sasarannya. Aku
menghindarinya dengan teknik "Lompat Tipuan Putri". Rani terus melan-
carkan serangan-serangan kakinya ke arahku dengan tidak main-main. Ada
kalau sekitar sepuluh sampai lima belas kali tendangan yang susul
menyusul sebelum akhirnya dia berdiri mengatur napas.
"Oh, come on Frank! You can do better than just running around." Rani
memprotes tindakanku yang hanya menghindari serangannya. Aku terse-
nyum, "My Dear, you can practice your kicking techniques, while I'm
practicing my techniques of serang hindar or attack and evade. This is
a specialty of my martial art training. If someone attacks, we try to
evade and counter-attack, but in this case, I just evaded your attacks
without trying to counter-attack. In higher levels, we could use a
technique called papasan or attacking the attacker even before he or
she attacks us by stopping the line of attacks."
"Show me! Huuup!" Rani melancarkan sebuah tendangan samping ke arah
pinggangku. Aku menangkis tendangan samping Rani dengan teknik "Hempis
Tutup Bunga Sepasang" yang kemudian kuteruskan dengan teknik "Gesut
Pukul Satria".
"Look carefully! This is what I meant by serang hindar. You attacked
me, I evaded and now I counter-attack you," Rani mengelak ke samping,
sehingga seranganku tidak mengenai sasaran. Sebelum Rani melancarkan
sebuah pukulan lurus ke arah leher belakangku, aku sudah terlebih
dahulu mengetahui arah sasaran pukulan Rani. Dengan cepat aku melaku-
kan teknik "Melingkar Papas Putri Bersedia" sehingga pukulan Rani yang
tanggung tertahan tubuhku. Dengan sedikit mendorongkan badanku, Rani
terhuyung ke belakang.
"Now, this is what I meant by papasan. See... after I counter-attacked
you and you evaded and tried to attack me again, I cut your line of
attack before even fully extended. So, in this case, you're out of
balance because of your own power. Got it?"
"Yes! It's very interesting." Rani menghampiriku sambil membuka kedua
tangannya lebar-lebar, hendak memelukku. Aku pun membuka kedua tangan-
ku untuk menerima pelukannya, sesuatu yang belum pernah dia lakukan
selama kami berlatih bersama. Begitu kami saling mendekat, tiba-
tiba... "Huuup...!" Rani menyambar tangan kananku dengan cepat, kemu-
dian memutarnya dengan teknik seperti irimi tenkan dalam beladiri
Aikido. Mau tidak mau aku harus mengikuti arah tanganku, sehingga aku
seperti melambung dan sedetik kemudian aku telah terkapar di tanah
berumput. Jatuh dan tanganku sudah terkunci oleh Rani.
"Now, I got you on guard. Say you surrender!" kata Rani sambil terse-
nyum penuh kemenangan.
"Well, Sweetheart, I'm sorry to disappoint you, but I'm not lost yet!"
jawabku sambil sedikit meringis saat Rani merapatkan kunciannya.
"What do you mean you're not lost yet? I got you locked down like this
and if I wanted, I could break your arm!"
"Sweetheart, the principal of lock and unlock is very simple. To lock
down is to make natural movement become unnatural, so it will hurt the
opponent. On the other hand, to unlock a lock down is to make the
unnatural movement to become natural. One more thing. Actually, when
you lock down an opponent, you are in disadvantage because at least
you lose one of your weapons against your opponent. For example in
this situation you lose two more of your weapons just to lock down one
of my arms. With both arms to grab my arm and a leg to put me down on
my back, you only have one leg left to use, while I still have three
more weapons to be used against you."
"It's very confusing. Show and prove me that you can escape!"
"Look carefully!" dalam posisi terkunci tanganku, aku menggetarkan
punggungku untuk melepaskan diri dari jejakan lutut Rani. Dengan
hilangnya keseimbangan, kuncian tangan Rani menjadi mengendur. Aku
meliukkan tubuhku mengikuti arah putaran tanganku sehingga tanganku
terbebas. "This is what I meant by to make unnatural movement become
natural, so I could easily open your lock. Now, since I have more
weapons than you do, I can use it against you!" Begitu selesai ucapan-
ku, aku gantian membalikkan tangan Rani, memutarnya dan gantian dia
yang terkunci tangannya. Kupeluk dia dan kujitak perlahan dahinya,
kemudian kucium lembut bibirnya. Rani menerima dan membalas ciumanku.
"I love you Sweetheart..." bisikku. Belum sempat Rani membalas, tiba-
tiba terdengar suara Mitsuko dari depan pintu belakang. Kulihat dia
berkacak pinggang, pura-pura marah.
"Hey... hey... hey... What are you guys practicing? Come on! Break-
fast's ready!" Aku melepaskan kuncianku terhadap Rani.
"Let's eat breakfast!" bisikku pada Rani. "We're coming!" teriakku
kepada Mitsuko. "Go ahead! I'll join you in about five minutes!"
Kemudian aku menuju ke sebuah batu hitam ceper, tempatku biasa melaku-
kan meditasi. Aku menutup latihanku pagi ini dengan melakukan hening
penutup seperti biasa.

Kami bertiga sarapan sekitar pukul enam lebih, menikmati nasi goreng
buatan Mitsuko dengan lauk telur mata sapi dan dendeng manis buatan
Indonesia yang dibeli Jeanne di Pecinan Los Angeles. Mitsuko dan Rani
lebih menikmati beberapa potong roti panggang dengan olesan selai.
Mitsuko sangat menyukai selai srikaya buatan Indonesia sejak pertama
kali aku kenalkan dia dengan selai itu.
Akhirnya, hampir pukul tujuh pagi, aku ditinggalkan oleh Mitsuko dan
Rani sendirian di rumah. Mitsuko harus pergi ke sekolah walaupun dia
sudah tidak mengajar lagi karena sekolah sudah mulai liburan musim
panas. Sedangkan Rani ada urusan di kampusnya yang tak begitu jauh
dari tempat kami tinggal. Kuputuskan untuk browsing internet dan
memeriksa isi mailbox-ku.
Singkat kata, hari ini aku menelefon agen Toyota yang namanya tertera
pada kartu nama yang diberikan Benny kemarin. Dengan sangat ramahnya
dia mengajukan pertemuan denganku sekitar pukul sembilan pagi. Aku
menemuinya dengan menumpang sebuah taksi, karena kata si agen Toyota
itu, mobil yang dipesan Benny sudah siap pakai dan semua urusan sudah
beres. Saat aku datang, aku disambut bagaikan orang penting saja. Si
Agen Mobil yang menemuiku tampak demikian ramahnya. Dia mengantarku ke
bagian belakang gedung, tempat di mana mobil yang dipesan Benny untuk-
ku tersimpan. Aku sepertinya tak percaya dengan pandangan mataku
sendiri. Ternyata mobil yang dipesan Benny sebagai hadiah kelulusanku
adalah sebuah Toyota Supra model terbaru dan tercanggih di kelasnya,
dengan mesin twin turbo serta segala macam asesoris tambahan berikut
6-disc CD changer! Warna yang dipilih Benny adalah merah menyala
metalik.
Langsung saja setelah selesai menandatangani berbagai macam surat-
surat, aku mengendarainya keliling kota Los Angeles. Tujuan pertama,
kantor Benny. Aku tidak berlama-lama di kantor Benny, karena bagaima-
napun juga, Benny sedang bekerja dan aku tidak mau mengganggunya.
Kulihat jam tanganku begitu keluar dari kantor Benny. Masih ada waktu
sekitar satu jam lagi sebelum janjianku dengan Mariko di lobby kantor
ayahnya. Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke daerah Little Tokyo. Aku
hanya berputar-putar di daerah Little Tokyo menikmati mobil baruku,
melewati Alameda dan Temple. Lima belas menit sebelum pukul satu, aku
mampir ke sebuah toko di daerah "Historic Little Tokyo" dan membeli
dua batang bunga mawar berwarna merah jambu dan kuning.
Di Los Angeles, daerah Little Tokyo juga berbatasan dengan daerah
"Civic Center" yang merupakan daerah perkantoran pemerintah. Daerah
ini merupakan kompleks perkantoran pemerintahan terbesar kedua setelah
Washington DC di Amerika Serikat. Tidak heran, karena di sinilah pusat
pemerintahan "county" (semacam "kabupaten") terbesar di Amerika Seri-
kat, yaitu Los Angeles County, yang juga merupakan kota nomor dua
terbesar di Amerika Serikat. Di daerah ini ada juga beberapa kantor
pemerintahan milik negara bagian California dan gedung-gedung federal.
Setelah memarkir mobilku di tempat parkir, aku bergegas menuju ke
lobby tempat aku janjian bertemu dengan Mariko. Aku melirik ke perge-
langan tanganku sekali lagi, memastikan bahwa aku tidak terlambat.
Lima menit lagi, pikirku, masih belum terlambat. Ternyata Mariko belum
ada di lobby. Aku tidak perlu menunggu lebih lama, karena begitu pintu
lift terbuka, ternyata Mariko ada di dalamnya. Aku pikir pasti dia
baru dari tempat ayahnya.
"Hi Frank! Been here long?"
"Hi Mariko! No, in fact, I just got here. Shall we go now?"
"Let's go! I'm hungry." ajak Mariko sambil tersenyum. Hari ini Mariko
menurut perasaanku tampak lebih cantik dibanding kemarin. Rambutnya
yang panjang digelung dengan sebuah tusuk konde yang indah. Dia menge-
nakan kemeja dengan blazer dan celana panjang.
"So, how's your day?" tanya Mariko saat kami berjalan menuju ke arah
mobilku.
"Not too bad, and it's getting better!" jawabku sambil tersenyum
semanis mungkin. Gila, nih anak nggak kalah dengan Mitsuko, pikirku.
Ada satu perasaan yang membuatku untuk menjaga jarak dengannya. Entah
apa, saat itu yang jelas aku tidak akan mendekati Mariko untuk tujuan
lain selain karena hubunganku dengan ayahnya.
Saat kubukakan pintu mobil, aku segera menyambar dua batang bunga
mawar yang kuletakkan di kursi penumpang dan menyerahkannya kepada
Mariko. "These are for you. Yellow means for our friendship and pink
means for your success." (ah, itu khan bisa-bisanya aku aja).
"Thank you Frank!" Mariko mencium kedua bunga mawar itu dan duduk di
kursi penumpang. Kemudian dia membukakan kunci pintu mobilku.
"Thanks Mariko!" kataku sambil kemudian duduk di kursi pengemudi dan
menstarter mobil.
"This is a new car!" kata Mariko, "and it's still wrapped with plastic
and smelling new!"
"Yes, I just got it this morning. It's a gift!" jelasku. Mobil telah
meninggalkan halaman gedung menuju jalan raya. "By the way, where do
you want to go for lunch?" tanyaku.
"Anywhere is fine with me. Do you have preference?" Mariko balas
bertanya. "I can eat almost any food." Sambung Mariko sambil terse-
nyum. Akhirnya kami berdua memutuskan untuk makan siang di sebuah
restoran Meksiko di daerah Pueblo. Mariko banyak bertanya tentang
diriku. Dia bercerita bahwa ayahnya pernah menceritakannya tentang
pertarungannya dengan Benny Chang dulu dan menyinggung namaku sebagai
salah seorang yang dibela Benny. Sejak itu Mariko ingin sekali berke-
nalan denganku dan/atau Benny. Kebetulan ketika aku datang mengunjungi
ayahnya, Mariko sedang berada di kantor ayahnya. Dari Mariko kuketahui
bahwa dia adalah lulusan Universitas Waseda di Jepang. Kemudian Mariko
memegang dua buah perusahaan milik ayahnya dan dipercaya sebagai salah
seorang manager pemasaran.
Akhirnya aku mengantarkan Mariko kembali ke gedung ayahnya sekitar
pukul tiga sore. Termasuk lama juga untuk sebuah acara makan siang.
Ada kesan tersendiri yang kuperoleh tentang Mariko. Dia bagaikan bunga
mawar liar yang indah, tetapi berduri tajam. Cantik, tetapi menyimpan
kekerasan dan (mungkin) kekejaman watak yang diturunkan ayahnya.
Bagaimana kelanjutan hubunganku dengan Mariko? Aku sendiri bertanya-
tanya saat pulang kembali ke rumah. Yang jelas, seperti kataku sebe-
lumnya, aku tidak ingin kehidupan pribadiku menjadi bagian dari kehi-
dupan pribadi Mariko. Terlalu riskan, menurutku.

Bersambung...

Nah, nantikan kelanjutan dari penggalan perjalanan hidupku di bagian
keempat yang merupakan bagian terakhir dari kisah Keisha. Tentu saja,
bila masih ada yang sudi membaca kisah perjalanan hidupku. Untuk itu,
silakan kirim email ke: frankie@arsipceritaseru.com
Bung Wiro telah berbaik hati membuatkan alamat email ini buat saya.

Jabat erat,
Frankie Harahap
KEISHA 4: ISTIRAHATLAH DENGAN TENANG, KEI...

Los Angeles, akhir Mei 1998

"Frank, let me introduce you to one of my colleagues. Frank, this is
Henry Wong. Henry, this is Frankie Harahap. He's the one I've been
talking about."
"Pleased to meeting you, Frank!"
"Hi, how do you do Henry?"
"I'm doing good. Thank you, and how about yourself Frank? Benny told
me about you a lot."
"Well... I'm fine. I hope Benny mentioned good things about me." Aku
tersenyum sambil menjabat tangan Henry Wong yang lebih dulu mengu-
lurkan tangan.
"Don't worry Frank, all he's talking about is always a good thing. He
praised you!"
Sabtu pagi di halaman belakang rumah Benny Chang. Benny mengundangku
untuk datang pagi-pagi sekitar pukul enam pagi untuk mengajakku berla-
tih tanding. Memang, kadang kala kami saling berlatih tanding untuk
sekedar mencari keringat atau latihan biasa.
Saat itu sudah sekitar pukul tujuh ketika Henry Wong datang menemui
Benny diantar oleh salah seorang pegawai yang bekerja pada Benny.
Menurutku saat itu agak "aneh" juga seseorang menemui Benny dengan
pakaian ringkas dan sepatu semacam "big boss" di pagi hari. Aku pikir
pasti orang ini juga bakalan latihan bersama dengan kami. Benny memang
mempunyai hobi yang berhubungan dengan beladiri, termasuk melakukan
"tanding persahabatan" alias pibu. Koleksi buku tentang beladirinya
lumayan banyak, hampir sebanyak yang dimiliki oleh Mas DSB, guru
silatku.
Ternyata dugaanku tidak meleset.
"Frank, Henry is also a great martial artist. I told him about you and
he's eager to meeting you for a friendly match, if you don't mind. So,
I also told him that sometimes we practice our martial arts together
in my place. He asked me if one day he could join us. Of course, I
wouldn't mind at all. How about you?" Benny menjelaskan maksud keda-
tangan Henry. Henry tersenyum kepadaku, sebelum aku menjawab pertanyan
Benny, Henry mendahuluinya.
"I'm not that good, just practice one or two self defence techniques.
I keep learning and practicing, especially from other styles. I never
met a silat practitioner before, so I was very interested when Benny
told me about you."
Aku suka dengan orang ini. Merendahkan diri berarti meninggikan mutu,
pikirku. Justru dengan orang seperti ini aku harus berhati-hati,
karena pepatah "air tenang menghanyutkan" itu hampir seratus persen
benar.
"So I'm not that good either, Henry. Benny just exaggerated about me
to you. A friendly fighting or match for practice and learning each
other is one of my hobbies. But, I have to apologize if I'm going to
disappoint you because I'm not what you expected. Anyway, I'll try to
do my best."
"You're too modest Frank. Please let me know whenever you're ready."
Henry kembali tersenyum.
"I'm ready anytime. Shall we practice now?" aku menawarkan Henry untuk
memulai pibu. Aku memang senang bertanding persahabatan seperti ini.
Apalagi sekarang ini tubuhku sudah siap dan baru saja melakukan pema-
nasan dan latihan ringan. Kalau harus tarung jalanan, aku amat memben-
cinya, walaupun dengan berat hati kadangkala harus kulakukan juga.
"Good... You guys are ready to know each other. I'll watch you two
from there." Benny kemudian berjalan menjauhi kami berdua, menuju ke
sebuah gazebo kecil.
Henry dan aku berdiri berhadapan. Aku mengatupkan kedua telapak ta-
nganku di depan dada dan mengangguk, menghormat cara pesilat. Henry
juga melakukan hormat dengan cara mengepalkan tangan kanannya yang
ditutup dengan tangan kirinya kemudian keduanya dimajukan ke depan
dada. Hmm... gaya penghormatan beladiri Cina Selatan, pikirku. Henry
memasang kuda-kuda. Kaki kanan di belakang, badan menyamping, tangan
kanan terkepal di pinggang dan jari-jari tangan kiri seperti membentuk
hurul "L" dengan tangan setengah tertekuk. Tampak kokoh dan kuat. Aku
sendiri memasang sikap "Garuda". Kaki kiri di depan, badan menyerong
condong ke belakang, tangan kiri di depan dada dengan telapak tangan
terbuka, tangan kiri juga dengan telapak tangan terbuka lebar kutekuk
di atas kepala.
"Please, go ahead Frank!" kata Henry menyilakan aku untuk menyerang
lebih dulu. Taktik yang bagus. Dengan menyerang terlebih dahulu meru-
pakan pembukaan kelemahan terlebih dahulu juga.
"No, please you can attack me first!" jawabku sambil terus berkonsen-
trasi memperhatikan pundak dan pinggulnya. Dari melihat pundak dan
pinggul seseorang, bisa diketahui bagian tubuh lawan mana yang akan
lebih dahulu menyerang.
"Okay, if you insist. Please be careful! Hiiyaaa...!!!" Henry tiba-
tiba melompat ke depan ke arahku dengan cepat. Jari-jari tangan kiri-
nya yang tadinya membentuk huruf "L" berubah menjadi cakaran yang
menyerang ulu hatiku. Tenaganya kuat, dilihat dari angin pukulan dari
kibaran baju panjangnya yang berbunyi keras. Aku ingin mencoba tena-
ganya, maka sengaja aku tidak menghindar, melainkan memutar dengan
teknik "melingkar tebang satria" yang kususul dengan pukulan "satria"
ke arah kepala Henry.
Duuukkkk!!! Gila! Lengan Henry keras sekali! Tulangku agak nyeri
ketika membentur lengannya, terasa seperti menghantam besi saja! Wah,
ternyata Henry tidak main-main dan "punya isi". Segera kukumpulkan
tenaga "gwakang" untuk mengusir sedikit rasa nyeri di lengan kananku.
Boleh juga nih orang, pikirku. Aku makin bersemangat dan senang,
karena bisa dengan bersungguh-sungguh mengeluarkan segenap kemampuan-
ku.
Serangan balasan tiba-tiba yang kulakukan bisa dengan mudah dielakkan
oleh Henry dan dia kembali membalas seranganku dengan serangan yang
hampir sama tapi dilakukan secara membalik badan dan dengan lengan
yang berbeda. Dengan dilambari tenaga "gwakang" (tenaga luar, tenaga
kasar) aku mencoba lagi mengadu lengan dengan Henry. Aku ternyata
masih mampu mengimbangi tenaganya, tapi tidak banyak dan cenderung
kalah satu tingkat.
Setelah tiga jurus atau tiga kali serangan dan hindaran, aku menghin-
dar dengan cara menjauhi Henry menggunakan teknik "Lompat Tipuan
Putri". Aku berseru, "Ha! Your style is Hung Gar if I'm not mistaken!
Who's your teacher? What is your relationship with Master Wong Fei
Hong?" Henry sedikit terkejut dan menghentikan serangan, biarpun masih
memasang kuda-kuda.
"Yes! I'm learning from Sifu Buck Sam Kong! How do you know?" tanya
Henry keheranan. Aku tersenyum, "I know. Your techniques are from
'Taming the Tiger' form. Your Sifu is very famous and well respected
in martial world."
"I don't have any relationship with Master Wong, just the same pro-
nounciation but different character spelling in Chinese." Lanjut Henry
menjawab pertanyaanku.
Hung Gar adalah salah satu nama aliran perguruan kungfu dari daratan
Cina yang didirikan oleh Wong Fei Hong (Huang Fei Hung). Salah satu
jurus yang terkenalnya adalah jurus "Harimau dan Bangau" (Fu Hok
Sheong Yin Kuen) ciptaan Wong Kei Ying, ayahnya, yang selain jago
kungfu kenamaan pada masanya juga merupakan seorang sinshe dan juga
ahli patah tulang yang sukar dicari tandingannya. Wong Fei Hong mewa-
risi kedua keahlian itu dari ayahnya. Di masa mudanya, Wong Fei Hong
merupakan salah satu dari "Sepuluh Harimau Guangdong (Kanton)". Salah
satu jurus andalan Hung Gar lainnya adalah jurus "Penjinak Harimau"
(Gung Gee Fook Fu). Jurus-jurus ini merupakan jurus-jurus yang hebat
dan mematikan bila mengenai sasarannya. Jurus ini memuat teknik-teknik
yang "sadis" seperti mencengkeram leher dan meremukkan kemaluan.
Sifu Buck Sam Kong adalah seorang jago kungfu ahli waris perguruan
kungfu aliran Hung Gar dan kalau ditarik garis vertikal merupakan
cicit (buyut) murid dari Wong Fei Hong. Beliau sangat terkenal baik di
Cina maupun di Amerika Serikat, belajar dari Sifu Lam Jo dan Sifu Lam
Jo belajar dari ayahnya, yaitu Sifu Lam Tsai Wing yang juga merupakan
murid terkasih dari Wong Fei Hong. Sifu Buck Sam Kong sekarang tinggal
di Los Angeles dan membuka sebuah perguruan kungfu di Hollywood Boule-
vard.
"I also have tiger and crane techniques from my style. I'll use them
to compare them with yours!" kataku. Wajah Henry tampak berseri.
"Good. I will not hesitate to practice full power against you. Please
accept my impudence!" Selesai bicara, Henry langsung menyerangku lagi
dengan jurus-jurus gabungan antara "Penjinak Harimau" dan "Harimau dan
Bangau" dari Hung Gar. Gerakannya cepat dan tepat mengarah titik-titik
kelemahanku. Aku menyambut serangannya dengan teknik-teknik "Harimau"
dan "Meliwis" baik serangan maupun hindaran. Bila Henry menyerangku
dengan jurus-jurus harimaunya, aku mengimbanginya dengan teknik-teknik
harimau dari perguruanku. Begitu juga bila serangan atau hindaran yang
kugunakan merupakan teknik-teknik meliwis, Henry mampu mengatasinya
dengan jurus-jurus bangau miliknya. Aku juga sesekali menggunakan
jurus-jurus silat "Harimau Minangkabau" yang pernah kupelajari dari
seorang pendekar terkenal dari istana Pagaruyung Sumatera. Selintas
kami bertanding bagaikan dua saudara seperguruan karena secara selin-
tas gerakan-gerakan kami banyak yang mirip dan serupa. Bila kami
saling menggunakan teknik dan jurus harimau, kami berdua bagaikan dua
harimau yang sedang bertarung, ganas dan bertenaga. Sedangkan bila
kami saling menggunakan teknik dan jurus yang mengikuti gerakan-
gerakan bangau putih, kami berdua bergerak dengan ringan, lincah dan
gesit tapi di dalamnya mengandung serangan-serangan yang mengancam
jiwa. Tentu saja biarpun saling serang dengan ganas dan terlihat
mematikan, kami saling menjaga diri dan tenaga kalau-kalau lawan
terlambat menangkis atau menghindar. Tetapi sejauh ini kami belum
sanggup untuk menembus pertahanan lawan masing-masing.
Kami bertarung hingga kira-kira lima belas hingga dua puluh menit.
Keringat sudah membasahi sekujur tubuhku. Kami saling serang dan
saling menghindar, saling bentur dan saling tangkis. Salah satu keis-
timewaan kungfu Hung Gar adalah latihan ilmu tangan besinya. Lama
kelamaan pergelangan tanganku tampak kemerahan dari hasil tangkisan-
tangkisan yang kulakukan terhadap serangan-serangan Henry.
Sulit juga bagiku untuk mengalahkan Henry hanya dengan menggunakan
gwakang dan teknik-teknik silat murni yang berdasarkan dua macam
kumpulan teknik. Ini akan sangat melelahkan dan makan waktu lama.
Mungkin kalau aku tidak membatasi dengan hanya berdasarkan dua macam
teknik, aku bisa mengatasi Henry. Oh ya, perguruan silatku tidak
mengenal istilah "jurus", tetapi diganti dengan istilah "teknik" yang
merupakan gerakan-gerakan berdasarkan pada sistem pertarungan binatang
dan manusia ditambah dengan sebuah teknik berdasarkan sistem silat
kedaerahan, yaitu "Teknik Minangkabau". Teknik-teknik binatang yang
dipelajari adalah: Teknik Burung Meliwis, Teknik Burung Kuntul, Teknik
Burung Garuda, Teknik Harimau dan Teknik Naga. Kelima teknik binatang
ini yang termasuk ke dalam teknik-teknik yang disebut teknik-teknik
asli binatang. Ada juga teknik-teknik binatang yang tidak termasuk di
dalam teknik asli, yaitu Teknik Kuda Kuningan, Teknik Lingsang dan
Teknik Kera. Sedangkan teknik-teknik asli yang berdasarkan sistem
pertarungan manusia adalah: Teknik Satria, Teknik Pendeta dan Teknik
Putri. Tiap teknik berbeda dalam penerapan sistem beladiri, tenaga,
gerak, kecepatan, kegesitan, pengendalian napas, pengendalian bobot
tubuh dalam setiap posisi, dan lain-lain.
Perlu diingat bahwa tujuan pibu ini bukan untuk mencari kemenangan
bagiku tapi lebih merupakan latihan dan belajar secara langsung menge-
nai gerakan-gerakan Hung Gar yang telah lama kukenal tetapi belum
pernah "merasai"nya. Henry memiliki tenaga gwakang yang satu tingkat
di atasku atau bahkan mungkin dua tingkat, dan itu bisa dilihat dari
hasil latihan ilmu tangan besinya. Untuk kegesitan dan kelincahan, aku
pikir kami seimbang. Bisa kurasakan bahwa tenaga dalamku satu atau dua
tingkat di atas Henry.
Kira-kira sepuluh jurus lagi, aku menyudahi pibu kami. Aku melompat ke
belakang. "It's enough! You win! You're really a great fighter! I'm
honored!" kataku sambil memberi hormat ke arah Henry.
Henry juga membalas hormatku, "No... No... Frank! You're not bad
either! Don't be too modest. I know if you wanted it, you could beat
me easily with your yin qigong and all the magic that you have." Benny
bertepuk tangan dan menghampiri kami berdua, "Good fight! Good fight!
You guys are great!"
Aku memandang Henry dengan pandangan mata keheranan. "Magic? What
magic are you talking about? I'm not a magician." Henry tertawa.
Katanya, "Benny told me about Indonesian hocus pocus that part of the
martial art things. I don't know exactly, but to me it sounds like
taoist exorcism techniques that you practiced."
Aku jadi maklum. Mungkin yang dimaksud Henry adalah kemampuan keroha-
nian dan ilmu-ilmu "dalam" yang aku miliki, termasuk ajian-ajian yang
aku kuasai. Memang, dengan ilmu pukulan "Brajamusti" atau "Guntur
Geni" yang aku kuasai, aku dengan mudah bisa mengalahkan Henry, dengan
catatan itu kalau pukulanku mengenai sasaran. Kalau Henry bisa
menghindarinya dengan baik, tentu saja pukulan itu tidak ada penga-
ruhnya apa-apa. Bagaimana pun juga kemampuan beladiri itu tidak hanya
tergantung dari ketinggian suatu ilmu yang dimiliki tetapi juga dari
pengalaman, ketenangan atau kejernihan pikiran, taktik bertarung,
latihan, penguasaan ilmu dengan baik, pengendalian napas secara efi-
sien, pengaturan tenaga secara optimal, kegesitan, kelincahan, keku-
atan dan gerak refleks yang baik. Itu semua yang akan menentukan kalah
menangnya suatu pertarungan atau pertandingan.
Tiba-tiba datang seorang pengawal Benny dengan terburu-buru, membawa
sebuah telefon genggam. Setelah membungkuk sedikit, orang itu berbi-
cara sekilas dengan menggunakan Bahasa Mandarin dan menyerahkan tele-
fon genggam itu kepada Benny. Benny bercakap-cakap sejenak (tentu saja
menggunakan Bahasa Mandarin yang tak kupahami) dengan orang yang
menelefonnya. Hanya sebentar, kemudian Benny menutup pembicaraan.
"Frank, Henry, let's go inside. I need to talk to both of you." Kata
Benny tegas. Henry dan aku mengikuti Benny menuju ke dalam rumah.
"What's happening Ben?" tanyaku ingin tahu.
"We'll discuss it inside."
Di dalam rumah, kami memasuki sebuah ruangan tertutup yang juga meru-
pakan ruang kerja Benny di rumah. Aku duduk di sebuah kursi di hadapan
Benny. Henry duduk di sebelah kiriku.
"Frank, we found out the guy who murdered your friend in St Louis."
Kata Benny. Aku terkejut, "Who?" Aku melirik Henry, seolah-olah protes
kepada Benny mengapa ada "orang luar" ikut mengetahui urusanku. Rupa-
nya Benny menanggapi isyaratku.
"For your information, I trust Henry as much as I trust you. In fact,
he will be the guy who will be in charge for whacking the bad guy in
our way. So, don't worry, you can trust him and depend on him." Benny
menjelaskan. Henry tersenyum kepadaku dan menepuk-nepuk pundakku,
"Don't worry Frank. I know your problem, and you can count on me to
help you taking care of your problem."
Aku tak menjawab, hanya mengangguk. Benny menarik napas panjang, "I'm
afraid you were right..." katanya ke arahku. Aku tak mengerti maksud-
nya, "About what?"
"Remember you told me that your friend was murdered by some kind of
organized crime or mafia?"
"Yes... So, I was right then?" tanyaku antusias, "but who? And why
her?" sambungku penasaran.
"It was Bonifacio Costaflis a.k.a. the Mad Dog. He is the oldest son
of Don Costaflis, the notorious and ruthless mafia from New York
City." Kemudian Benny menerangkan mengapa Keisha dibunuh oleh Boni-
facio Costaflis alias the Mad Dog atau "si Anjing Gila".
Dari informasi yang diperoleh Benny, Keisha dibunuh setelah diperkosa
oleh Bonifacio Costaflis, anak laki-laki tertua dan merupakan ahli
waris dari seorang bos mafia Italia yang tinggal di New York City, Don
Costaflis. Seminggu terakhir dalam hidupnya, Keisha berkenalan dan
akhirnya berkencan dengan Bonifacio Costaflis atau sering dipanggil
orang Bonnie. Di hari kematiannya, Keisha rupanya diajak bercinta
tetapi menolak, sehingga Bonnie merasa tersinggung dan marah. Dalam
keadaan kalap, Bonnie secara tak sengaja akhirnya membunuh Keisha
setelah berhasil memperkosanya. Kasusnya ditutup oleh kepolisian St
Louis karena salah seorang petinggi kota St Louis dan seorang petinggi
kepolisian St Louis adalah orang-orang yang berada di bawah kekuasaan
Keluarga Costaflis.
Aku geram mendengarkan cerita Benny. Tanganku tanpa sengaja terkepal
keras, rahangku mengeras menahan marah. Henry berusaha menenangkanku
dengan cara memegang tanganku.
"Frank... We'll take care of this. Our way!" kata Henry tegas. Benny
mengangguk meyakinkanku.
"Thanks a lot Guys! I don't know what to say, but thank you very much.
I want this f*cking asshole pay and if necessary buried! Forgive my
language Ben, Henry..." kami semua terdiam sesaat, terpaku pada pikir-
an masing-masing. Brrrrttt... Brrrrttt... telefon genggam yang kuse-
lipkan di saku kanan celanaku bergetar. Siapa yang pagi-pagi begini
menelefonku. Mudah-mudahan bukan salah satu dari tiga gadisku. Mereka
tidak akan pernah menelefonku ke telefon genggamku kalau tidak benar-
benar dalam keadaan darurat. Hanya orang-orang tertentu yang tahu
nomor telefon genggamku karena memang aku tidak mau sembarangan mem-
berikan nomor privatku ini. Kuambil telefon genggamku dari saku celana
kananku. Kubaca caller ID yang tertera di layar. "UNKNOWN". Hmmm siapa
gerangan, pikirku makin penasaran dan ingin tahu. Jangan-jangan...
"Excuse me..." kataku kepada Benny dan Henry.
"Hello..."
"Frank! This is Hiro Yoshimitsu. I need you to see me in my office as
soon as possible. I have an important news from you that I can't say
it by phone." Ternyata dugaanku benar. Hiro Yoshimitsu yang menelefon-
ku langsung tanpa perantara. Ini pasti ada hubungannya dengan kasus
Keisha.
"OK, I will be there as soon as possible. Please expect me within an
hour or less. Thank you."
"OK, I'll wait. Bye for now!" klik. Belum sempat aku menjawab, Hiro
sudah menutup pembicaraan telefonnya.
"Well... Ben, I have to go now. Something has came up." Kataku kepada
Benny sambil beranjak berdiri. Benny dan Henry juga berdiri, "Is
everything okay with you?" tanya Benny sambil menjabat tanganku.
"Yes. Just a little business to take care. Henry, it's nice to meeting
you. I hope we can play again someday." Aku juga menjabat tangan
Henry.
"The pleasure's mine, Frank. Anytime, anywhere, I'm ready to play with
you." Jawab Henry sambil tersenyum. Kami bertiga menuju ke depan.
Benny dan Henry mengantarku hingga aku masuk ke mobilku.
Benny melongok ke dalam kokpit mobilku, "How do you like your car?"
Sambil menstarter mobil, aku menjawab, "This is a speed demon Man! I
really like it and enjoy it very much!" Benny tersenyum, "Good! Hey
Frank, tell my sister to call me. It has been a long time since she
talked to me last time."
"OK! I'll tell her! Thanks again and I'll see you next time." Aku
perlahan menjalankan mobilku meninggalkan halaman rumah Benny, mele-
wati pintu gerbang rumahnya yang dijaga oleh seorang satpam preman.
Pintu gerbang rumah Benny dibuka secara elektronik. Aku melambaikan
tanganku ke arah penjaga rumah Benny. Dia membalasnya.
Aku menuju ke kantor Hiro Yoshimitsu yang terletak di daerah Little
Tokyo dengan kecepatan normal, sesuai dengan batas kecepatan maksimum
yang diizinkan. Dari rumah Benny ke Little Tokyo bila dalam kondisi
normal akan memakan waktu kurang dari satu jam. Bila jam sibuk, jangan
ditanya bagaimana macetnya jalanan di Los Angeles.
Aku mengendarai mobilku dengan mendengarkan lagu-lagu KLa Project dari
CD yang dikirimkan oleh adikku dari Indonesia. Benny memang tahu akan
seleraku dan keinginanku. Sistem suara di mobilku ini tak akan pernah
mampu kubeli pada saat itu (aku belum bekerja dengan gaji yang cukup
untuk memenuhi hasrat hobiku). Untuk tape-radio-CD changer, Benny
memilihkan merek Sony dengan equalizer Blaupunk. Sisanya, loudspeaker
dan asesoris lainnya, adalah buatan Rockford-Fosgate. Aku sendiri
tidak terlalu mengerti tentang sistem suara. Hanya memang aku tahu
bahwa merek-merek yang dipilihkan Benny adalah termasuk merek-merek
terbaik dan memang mahal. Hasilnya, suara yang dihasilkan bisa sangat
jernih, kencang dan tidak sember. Suara bass yang dihasilkan juga
sangat dalam.
Sedang asyiknya aku menikmati lagu "Yogyakarta" yang didendangkan oleh
Katon Bagaswara, tiba-tiba di samping kiriku ada sebuah mobil Mazda
RX-7 melintas menyalipku dengan kecepatan tinggi. Hmm... paling ini
anak muda pembalap jalanan yang memang banyak terdapat di Los Angeles.
Biasanya mereka ini (para street racers) adalah pemilik mobil-mobil
keluaran Asia (ada juga sih yang memakai mobil-mobil Eropa atau Ameri-
ka) yang di-upgrade dengan berbagai macam asesoris tambahan untuk
menambah daya kuda (horsepower) standar mobil mereka. Aku jadi berse-
mangat untuk menjajal mobil baruku ini dengan potensi yang ada.
Segera kupindahkan gigi persneling dan kutekan pedal gas dalam-dalam.
Tachometer RPM bergerak cepat menunjukkan garis mendekati angka 5500
putaran mesin per menit. Masih terus kuinjak pedal gas menuju garis
6000 RPM, batas merah, sebelum akhirnya gigi persneling kembali ku
naikkan satu tingkat. Bunyi suara mesin 3000cc I-6 DOHC VVT-i twin
turbo meraung kencang melewati knalpot buatan TRD (Toyota Racing
Development), mengeluarkan tenaga 320 daya kuda. Secara perlahan, aku
berhasil mempersempit jarak dengan mobil Mazda RX-7 yang tadi mendahu-
luiku dengan cepat. Akhirnya, aku bisa mengiringi di sampingnya.
Aku menoleh ingin melihat pengendaranya. Pada saat yang bersamaan, si
pengendara RX-7 itu juga melihat ke arahku. Kami berdua tersenyum dan
saling mengacungkan ibu jari dan mengangguk. Sebuah tantangan untuk
berpacu dan kami saling menyepakati. Aku mengaktifkan radar detector
yang selalu siap dan hanya kugunakan bila mengendarai mobil dengan
kecepatan di atas batas maksimum yang diizinkan.
Tiba-tiba Mazda RX-7 itu melesat jauh meninggalkanku. Dari kedua
knalpotnya menyembur lidah-lidah api! Sialan! Makiku dalam hati. Dia
ternyata menggunakan campuran nitrogen oksida (nitrogen oxide). Belum
tahu dia... aku jadi tambah "panas". Lagu-lagu KLa Project sudah tak
lagi kuperhatikan. Kubuka panel "rahasia" yang berisi tombol dan kran
pengatur semprotan nitrogen oksida yang juga terpasang di mobilku ini.
Begitu kutekan tombol penyemprot nitrogen oksida, mobilku langsung
melaju dengan pesat pula. Spedometer dengan cepat naik menuju 150 mil
per jam! Jarum tachometer sudah memasuki batas garis merah dan terus
merambat menuju 7000 putaran per menit. Sentakan 400 daya kuda mem-
buatku harus memegang kendali kemudi dengan seksama dan kuat. Hanya
dalam hitungan beberapa detik, aku sudah berhasil mendahului mobil RX-
7 (tentu saja mobil-mobil yang berjalan secara "normal" bisa kudahului
dengan cepat, mengandalkan kemampuanku mengemudi dengan kecepatan
tinggi). Terlihat di kaca spion dia berusaha untuk kembali mengejarku,
tapi aku tetap menekan pedal gas dalam-dalam.
Mendadak dalam waktu yang bersamaan radar detector dan alarm batas
maksimum semprotan nitrogen oksida yang aman berbunyi nyaring. Polisi!
Hanya itu yang ada di lintasan otakku saat itu. Otomatis aku mematikan
semprotan nitrogen oksida dan menginjak pedal rem. Rem cakram berven-
tilasi buatan Brembo dengan kontrol ABS mencengkeram pakem. Dari 150
mph ke 60 mph hanya butuh waktu kurang dari lima detik. Mazda RX-7
yang tadi ada di belakangku tak menyia-nyiakan kesempatan. Mungkin
dikiranya aku menghadapi halangan mobil di depanku, sehingga dengan
kecepatan tinggi dia mendahuluiku. Aku tidak menghiraukan dia lagi,
dan mengendarai mobilku dengan kecepatan normal di belakang sebuah
mobil yang berjalan dengan kecepatan normal pula. Fiuh... nyaris...
pikirku. Tak berapa lama kemudian, aku melihat mobil Mazda RX-7 yang
tadi ngebut mendahuluiku memberi tanda untuk minggir ke badan jalan.
Di belakangnya ada sebuah mobil patroli LAPD yang menyalakan sirene-
nya. Ah, kasihan juga, dia kena tilang! Aku tersenyum dan kembali
menikmati lagu-lagu KLa Project yang kuulang kembali.
Gara-gara ngebut tadi, jangka waktu perjalananku ke kantor Hiro Yoshi-
mitsu jadi bertambah pendek. Kebetulan, jadi dia tidak harus menunggu
terlalu lama. Seperti biasa, aku tidak segan-segan untuk memarkir
kendaraanku di tempat VIP, apalagi sekarang ini sebagian besar orang-
orang Hiro sudah mengenalku. Saat aku memasuki ruangan lobi dan menuju
resepsionis, seorang pengawal Hiro telah menjemputku dan membawaku
masuk ke dalam lift. Aku langsung diantar menuju ruang kerja Hiro di
lantai penthouse paling atas, yang hanya bisa diakses dengan menguna-
kan kartu elektronik.
Setelah mengetuk pintu, aku masuk ke dalam ruangan kantor pribadi Hiro
Yoshimitsu. Ia sedang berdiri menghadap jendela ketika aku masuk. Hiro
menghampiriku. Aku sedikit membungkukkan badanku, "Yoshimitsu-dono, o
genki desu-ka? I apologize for my attire. I just came from exercise."
Aku memberi salam padanya. Hiro mengulurkan tangannya, mengajak berja-
bat tangan. Aku pun menjabat tangannya. Memang, ketika aku menemui
Hiro, aku masih memakai celana training dan sweater training lengan
panjang.
"I'm fine, thank you Frank and don't worry about that. Please have a
seat!" kemudian kami pun duduk saling berhadapan. "I have an important
news... I don't know if this news will be a good news or a bad one for
you," tutur Hiro. "I've already knew the murderer of your friend in St
Louis," ungkap Hiro sambil matanya menatap tajam. Aku pura-pura terke-
jut, tapi tidak berkata apa-apa, menunggu Hiro untuk meneruskan kata-
katanya.
"The murderer of your friend was Bonifacio Costaflis, the oldest son
of Don Costaflis, a big boss mafia in New York City. I'm still gather-
ing the latest information about this man. For sure, we will make
justice to him. I will send a team to kidnap him to New York City,"
Hiro berhenti sejenak, kemudian meneruskan pembicaraannya.
"I will let you know when you can come and see him and do whatever you
want to do to him." Pandangan mata Hiro Yoshimitsu mendadak berubah
menjadi dingin, tajam menusuk. Aku tidak tahu bagaimana hampir secara
bersamaan Benny dan Hiro bisa mengetahui pembunuh Keisha. Kebetulan?
Kemudian Hiro memaparkan rencana yang disusunnya secara garis besar.
Aku terkejut dengan penjelasannya, tapi aku bisa mengerti. Aku hanya
sesekali bertanya atau berkomentar mengenai rencananya dan lebih
banyak berdiam diri menjadi pendengar yang baik. Setelah "mengenal"
Hiro Yoshimitsu beberapa kali pertemuan, aku bisa menarik kesimpulan
bahwa dia adalah seorang yang "straight to the point", alias langsung
pada pokok pembicaraan yang dia inginkan dan tidak bertele-tele
(kecuali pada pertemuan pertama kami saat aku minta pertolongannya,
dia menggunakan acara berbasa-basi dulu).
"OK, any questions Frank?" tanya Hiro.
"Not at the moment. If something comes up, I will contact you direct-
ly." Aku pikir pasti Hiro akan menyudahi pembicaraan kami, ternyata...
"If you have a spare time tonight, on behalf of my daughter I would
like to invite you and one of your friends as her guests in her 25th
birthday party. It will be seven o' clock PM at xxxxxxx Restaurant
(maaf, aku tidak bisa menyebut nama restorannya. FH). It's a casual
birthday party."
"It's an honor. I will be there tonight." Aku menerima undangan Hiro
Yoshimitsu untuk menghadiri pesta ulang tahun ke-25 putrinya. Di
wajahnya menampakkan senyum berseri-seri. Ah, mudah-mudahan Hiro tidak
berusaha untuk menjodohkanku dengan Mariko. Ih... ge er amat sih! Aku
jadi geli sendiri dengan selintas pikiranku tadi. Tentu saja aku tidak
bisa menolak undangan Hiro. Ada tiga alasan yang membuat aku tidak
bisa menolaknya, yaitu: (1) Hiro sudah berusaha untuk menolongku, jadi
hitung-hitung balas budi, (2) Setiap permintaan Hiro biasanya adalah
sebuah perintah, dan (3) hei... yang ulang tahun ini adalah Mariko,
cewek Jepang keren, kece dan luar biasa menariknya dan yang mengundang
adalah bapaknya! Bodoh benar kalau aku sampai menolak. Ya nggak?
Hiro berdiri menuju meja kerjanya dan mengambil dua buah kartu. Rupa-
nya itu adalah kartu undangan sekaligus merupakan kartu tanda masuk ke
pesta ulang tahun Mariko. "Please bring these and show them to the
ushers at the party tonight. Without these, you can't get in." Ujar
Hiro sambil tersenyum. Aku menerimanya dengan kedua tanganku sambil
berdiri dan sedikit membungkuk, "Thank you very much." Kemudian aku
minta diri.

Malam itu aku datang ke pesta ulang tahun Mariko bersama Rani. Alasan-
ku memilih Rani karena Jeanne sedang ada acara lain sedangkan Mitsuko
masih traumatis dengan pengalamannya di masa lalu, dan masih sukar
untuk memaafkan Hiro Yoshimitsu (baca kisah Mitsuko dan Hiro Yoshimit-
su ini pada seri "Mitsuko Kajimura"). Lagipula, Rani ingin tahu bagai-
mana rupa Hiro yang dulu hampir mencelakakan Mitsuko. Salah satu
alasanku juga untuk mengajak Rani adalah sebagai "benteng" bagi Hiro
dan Mariko bahwa aku "sudah ada yang punya" (duh, ge er aja nih aku!)
Kami berdua datang kira-kira lima menit sebelum acara dimulai. Penja-
gaan pintu masuk terkesan ketat. Selain dua orang penerima tamu di
pintu depan, di dalam ruangan tempat penitipan jaket juga banyak
berkeliaran orang-orang berseragam yang aku tahu adalah anak buah
Hiro. Di kemudian hari kuketahui bahwa restoran ini merupakan salah
satu restoran yang berada di bawah "perlindungan" klan Hiro Yoshimit-
su. Di dalam ruangan pesta, suasana sudah hingar bingar oleh dentaman
musik disko ditambah obrolan dari banyak orang. Kami berdua berjalan
menuju tempat duduk Mariko. Tampak Mariko sedang dikelilingi oleh
teman-temannya.
"Frank... She is pretty!" bisik Rani. Aku hanya mengangguk. Aku merasa
di dalam nada bicaranya ada sedikit unsur cemburu. Rani menggandeng
tangan kiriku.
Mariko tampak berbeda kali ini. Dia tampak anggun dan... cantik tentu
saja! Bergaun hitam panjang "you-can-see" menampilkan lengannya yang
putih mulus, wajahnya dipoles riasan wajah yang tipis menampilkan
wajah alaminya semakin merona. Lehernya dihiasi untaian kalung berlian
yang berkilauan. Mariko berdiri dari tempat duduknya ketika melihat
kami datang.
"Frank! Welcome..." ujar Mariko.
"Mariko, happy birthday," kataku sambil menjabat tangan Mariko, "May I
introduce you to Rani Park, my girlfriend. Rani, this is Mariko Yoshi-
mitsu." Aku saling memperkenalkan kedua gadis cantik itu. Mereka
saling tersenyum dan berjabat tangan.
"Hi! Happy birthday Mariko. May health and happiness be with you all
the time. This small thing is a gift from us." Rani menyerahkan sebuah
kotak kecil terbungkus kertas kado sebagai hadiah ulang tahun untuk
Mariko.
"Thank you to both of you! And please enjoy the party!" Mariko menyi-
lakan kami berdua untuk mengambil tempat yang ada. Kami mencari tempat
yang terpisah agak jauh dari kelompok Mariko. Maklum saja, hampir
sebagian besar isinya adalah orang-orang Jepang yang tak kami kenal,
sehingga membuat Rani dan aku merasa terasing. Rani dan aku hanya
bercakap-cakap berdua di tengah keramaian pesta sambil menikmati
minuman yang disuguhkan oleh pelayan. Rani menikmati sebotol bir Kirin
sedangkan aku meminta teh hijau dari Jepang.
Setelah acara potong kue ulang tahun, acara dilanjutkan dengan berka-
raoke-ria. Aku hanya menikmati beberapa tamu yang memang bersuara
lumayan dan bagus. Sisanya adalah para penyanyi "wannabe" yang sudah
mulai mabuk sake. Mariko sempat didaulat oleh sebagian besar tamu-
tamunya untuk menyanyi. Ternyata Mariko mempunyai suara yang bagus.
Dia melantunkan dua buah lagu, sebuah lagu Jepang dan satu lagi adalah
"I Want to Know What Love Is"-nya Foreigner. Selesai menyanyikan lagu-
lagunya, Mariko memintaku untuk menyanyi dan kusanggupi setelah dii-
zinkan oleh Rani.
Aku memilih untuk menyanyikan lagu "More than Words"-nya Extreme
dengan penuh penghayatan. Beberapa kali mataku menyapu bergantian ke
arah Rani dan Mariko. Beberapa kali aku menebar senyumanku ke arah
mereka berdua yang kebetulan saat itu sedang duduk di tempat yang
berdekatan, jadi tindakanku ini tidak terlalu menyolok. Entah karena
memang suaraku bagus atau hanya komplimentari, tepuk tangan menyertai
diriku saat aku menyelesaikan lagu yang kunyanyikan dan turun dari
panggung.
Beberapa teman Mariko yang sudah mulai mabuk sake menyalamiku saat aku
berjalan menuju ke mejaku. Aku membalas sambil tersenyum. Akhirnya aku
pikir sudah waktunya untuk mohon diri ke Mariko. Aku bilang ke Rani
kalau aku mau ke kamar kecil dulu sebelum pamit pulang ke Mariko.
Aku terkejut saat begitu keluar dari kamar kecil, tiba-tiba Mariko ada
di depanku dan langsung menyergapku. Tiba-tiba aku dipeluknya dan
bibirku diciumnya. Hanya sepersekian detik dalam keterkejutanku, aku
lalu membalas ciuman dan pelukannya dan aku menikmatinya! Kok kebe-
tulan sekali tidak ada orang lain yang berada di depan kamar kecil
itu, tapi kulihat di mulut gang menuju kamar kecil berdiri dua orang
berseragam yang menutupi jalan. Hanya beberapa detik aku dan Mariko
larut dalam suasana itu, lalu perlahan kulepaskan pelukan Mariko.
"Mariko... How could you...???"
"Sssttt... Frank, don't worry! I won't tell Rani about this!" kata
Mariko. Satu tangannya melingkar di leherku dan satunya lagi dengan
jari telunjuknya ditempelkan di bibirku.
"No, that wasn't my question. But... why?" tanyaku pura-pura polos.
Mariko tersenyum lebar sekali. "I like you Frank! Just pretend that
was a birthday gift for me, okay?" lalu Mariko mengerling nakal kepa-
daku sambil kembali tersenyum meninggalkanku setelah mengecup pipi
kiriku, "and thanks again for coming to my party. I'll see you later
someday. Oyasuminasai and drive carefully!" Mariko meninggalkanku
sambil melemparkan sebuah "kiss bye" dengan tangannya. Aku cuma ter-
diam. "Oyasuminasai..." desahku seolah-olah pada diriku sendiri.
Kemudian aku menjemput Rani di meja kami untuk mengajaknya pulang.
Di mobil, aku lebih banyak diam. Pikiranku menerawang cepat ke mana-
mana, terutama kejadian beberapa detik di depan kamar mandi tadi.
Rupanya Rani memperhatikanku.
"What's the matter, Honey?" tanya Rani sambil mengelus paha kananku.
"Is something wrong?" tanyanya lagi.
"No... it's okay. I'm just thinking something. Probably I'm just
tired. I can use a hot bath and have fun with you tonight." Jawabku
sambil tersenyum. Rani membalas dengan mencium pipiku.

Seminggu kemudian...

"Are you sure Frank?"
"Yes Yoshimitsu-dono! I'm sure. I will handle this matter myself.
Thank you for your help regarding all the information about Bonifacio
Costaflis. I'm already in debt for that, but let me handle my revenge
myself, my way. If I need further assistance, I will ask you for a
favor, of course if you don't mind."
"Okay if you insist that way, but remember that if you need any help,
any time, just call me directly!"
"Domo arigato gozaimasu, Yoshimitsu-dono!"
"Doo ita shimashite! Bye Frank!"... klik.
Hiro Yoshimitsu baru saja menutup pembicaraan telefonnya denganku. Aku
hari ini menelefon Hiro untuk meminta agar dia membatalkan pembalasan
dendamku yang akan dilaksanakan oleh beberapa anak buahnya terhadap
Bonifacio Costaflis. Hal ini terpaksa kulakukan karena anak buah Benny
telah lebih dulu bergerak menuju New York City untuk mengatur strategi
dan memburu Bonnie Costaflis, membalas dendam atas namaku. Aku tidak
ingin kedua kekuatan ini berbenturan atau terjadi konflik dengan
urusan yang sama. Bagaimana pun juga aku tidak ingin membuat mereka
merasa diremehkan kemampuannya sehingga aku harus meminta bantuan
orang lain.
Kemarin Benny menelefonku mengabarkan bahwa beberapa anak buahnya yang
dipimpin oleh Henry Wong sudah dikirim ke New York City dan aku dimin-
tanya untuk bersiap-siap bila mereka sudah berhasil menculik Bonifacio
Costaflis. Rencananya mereka akan menculik Bonifacio Costaflis di
daerah Little Italy yang dikelilingi oleh pecinan New York City. Bukan
suatu kebetulan kalau di daerah pecinan New York City ini Benny juga
mempunyai banyak relasi bisnis dan orang-orang yang bersedia memban-
tunya.
Tiga hari setelah Benny menelefonku, aku disuruh Benny untuk pergi ke
New York City dengan penerbangan paling pagi. Dia mengatakan bahwa
orang-orang suruhannya sudah berhasil menculik Bonifacio Costaflis dan
sekarang ditahan di sebuah tempat. Aku sendiri tidak tahu bagaimana
ceritanya hingga mereka berhasil menculik Bonifacio Costaflis. Aku
berangkat hanya berbekalkan sebuah tas jinjing kecil, karena aku pikir
memang aku tidak akan lama di New York City. Tentu saja aku pamit
kepada Jeanne, Mitsuko dan Rani. Aku mendarat di Bandara La Guardia
New York saat hari sudah menjelang petang. Seorang utusan kepercayaan
Benny sudah menantiku di depan pintu keluar dan menjemputku. Aku tak
banyak berbasa-basi dan bicara dengan penjemputku, karena pikiranku
berkecamuk dengan perasaan yang tak menentu. Tentu saja, pikirku, aku
akan bertemu dengan orang yang sudah dengan kejinya memperkosa dan
membunuh Keisha! Memang, sesuai dengan perintah Benny, aku hanya akan
datang ke New York City untuk membalas dendam, lalu kembali ke Los
Angeles. Kalau tidak perlu sekali, aku dilarang untuk bermalam. Maka
dari itu mengapa Benny tidak memberiku sebuah tiket pergi-pulang,
melainkan dua buah tiket terbuka sekali jalan dengan maskapai pener-
bangan yang berbeda. Masuk akal juga strategi Benny ini. Di kejauhan
aku melihat downtown New York City yang mulai diterangi oleh lampu-
lampu. Menara kembar World Trade Center (yang waktu itu belum diroboh-
kan oleh teroris) berdiri dengan megahnya di antara belantara gedung-
gedung beton.
Kami menuju ke arah daerah pelabuhan. Aku sendiri sudah tidak ingat
lagi jalan-jalan yang aku lewati saat itu. Yang aku ingat, kami sampai
di sebuah dermaga privat di tepi pelabuhan New York. Ada sebuah gedung
yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan peti-peti kemas. Daerah itu
relatif kumuh dibandingkan dengan sekelilingnya. Aku disambut oleh dua
orang yang aku kenal sebagai orang-orang kepercayaan Benny merangkap
sebagai pengawal. Kemudian aku diantar memasuki sebuah ruangan kecil
di dalam gudang itu.
Debar hatiku bertambah kencang! Ada perasaan yang berkecamuk yang
tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Rahangku terkatup keras.
Kulihat ada lima orang dalam ruangan itu. Empat orang berdiri, salah
satunya adalah Henry, dan seorang lagi terkulai duduk terikat pada
sebuah kursi kayu. Dari hidung orang yang duduk terkulai di kursi itu
tampak darah yang sudah mulai mengering. Pasti dia ini adalah Boni-
facio Costaflis, pemerkosa dan pembunuh Keisha!
Henry menghampiriku dan menyalamiku, "This is the guy. I let you have
him!" Aku tak banyak berkata, hanya mengucapkan terima kasih kepada
Henry. Bonnie Costaflis mendongakkan kepalanya, melihatku. Aku melihat
ada sesirat pandangan keji dari matanya. Aku tak sanggup lagi menahan
kemarahanku. "Bajingan!" makiku sambil melancarkan sebuah pukulan ke
arah hidung Bonnie. Dia meraung keras. Tanganku sendiri basah oleh
darah Bonnie. Aku tidak mendengar ada bunyi derak tulang hidung yang
patah, karena memang sudah patah dihajar oleh orang-orang yang menang-
kapnya.
"Son-of-a-b*tch! Asshole!" maki Bonnie. Aku tak menghiraukan makian
dia. Kepalaku sudah dipenuhi oleh dendam yang sangat membara. Benny
mengulurkan sebuah handuk kecil untuk membersihkan tanganku. Setelah
aku membersihkan tanganku, Benny memberiku sebuah pistol berperedam
suara. "Your favorite!" kata Benny. Ya, Benny memberiku sebuah Beretta
92F 9mm hitam yang memang pistol favoritku.
"Hey F*ck Face! I'll let you apologize to my dearest friend from hell!
But before you die, I will make you regret that you're born in this
world and mess with me!" ancamku sambil menempelkan laras pistol
berperedam itu di kepalaku.
"Go ahead! Kill me you motherf*cker!"
"No... not that easy! You raped my beloved friend and I'll make sure
you pay that first!" perlahan, moncong pistol itu kuarahkan turun
melalui hidung, mulut, dada, dan akhirnya berhenti di selangkangan
Bonifacio Costaflis.
"Nooo... noooo... please...!"
"Didn't my beloved friend ask you the same way? Since you didn't do
her a favor, so eat this!!!" kutekan picu pistol itu sekali. Letupan
kecil yang nyaris tak terdengar menyalak disambung dengan jeritan
Bonnie Costaflis yang meraung tinggi. Darah mengalir deras dari se-
langkangan Bonnie yang hancur. Kulihat Bonnie terkulai lemas. Pingsan
menahan sakit yang luar biasa.
Kutampar pipi Bonnie dan kutekan urat besar di tengkuknya untuk menya-
darkan dia. Bonnie mengerang kesakitan begitu tersadar dari ping-
sannya. Aku meminta sebilah pisau kepada salah seorang anak buah
Henry. Kubuka tali ikatan tangan Bonnie. Otomatis Bonnie memegangi
selangkangannya yang hancur.
"Now, you have to taste death slowly. Asian style!" ujarku penuh
kebencian dan dendam membara. Aku pikir saat aku melakukan itu aku
sudah kehilangan rasa kemanusiaanku. Iblis memang sedang benar-benar
menguasaiku. Dalam keadaan sempoyongan, Bonnie jatuh tergeletak di
lantai. "Stand him up please!" perintahku kepada orang-orang Henry.
Dua orang memberdirikan Bonnie yang terkulai lemas. Darah segar masih
menetes-netes dari selangkangannya.
Aku mengepalkan tangan kananku, memasang kuda-kuda dan mengalirkan
tenaga dalamku yang merambat cepat dari dantien ke arah ujung-ujung
jari tanganku. Begitu terasa telah merambati pergelangan tangan kanan-
ku, jari telunjuk dan jari tengah tangan kananku kubuka. Inilah pembu-
kaan dari ilmu "Totokan Dua Jari" yang merupakan ilmu andalan dari
Ayahanda guru silatku, yang diturunkan ke putra beliau dan akhirnya
aku pelajari dari Mas DSB alias Si Naga Langit.
"Hiyaaaaa..." tuk... tuk... tuk... Dua jariku menotok tiga titik jalan
chi yang menyebabkan Bonnie berteriak kesakitan dan mengaduh-aduh. Dia
kemudian terjatuh karena memang tidak disangga lagi oleh dua orang itu
dan kemudian berkelojotan meregang kesakitan diiringi oleh erangan dan
jeritan Bonnie. Totokanku itu memang termasuk serangan keji. Tiga
titik jalan chi yang kutotok bisa menyebabkan orang tersiksa kesakitan
seperti ditusuki oleh ribuan jarum pada sekujur tubuhnya. Totokan itu
pada dasarnya merusak sistem sinyal syaraf sehingga seolah-olah otak
menafsirkan bahwa tubuh sedang ditusuki oleh ribuan jarum. Dalam
istilah kedokteran barat, rasa sakit ini dinamakan "neuralgia". Pada
ilmu beladiri Cina, totokan ini disebut juga "Dimmak" atau "Sentuhan
Maut". Kalau tidak diobati dan dianulir, maka orang yang terkena
totokan ini akan mati dalam waktu tiga hari dengan tubuh mengeluarkan
darah dari sekujur badan termasuk dari lubang pori-pori. Mas DSB dan
Ayahanda beliau memang tidak pernah memberi nama pada teknik sadis ini
dan sebenarnya Mas DSB sudah mewanti-wanti aku agar tidak mengguna-
kannya kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Aku menamainya teknik
ini sebagai teknik "Jari Maut Penyiksa Sukma" biar terkesan seram.
Aku kemudian menghampiri Henry. "It's enough. I don't want him any-
more. You can have him back, and according to Benny's intruction, I
have to go back to LA tomorrow morning and we should not make any
contact until we meet in LA."
"OK. You can go back to your place. We have a room ready for you in
one of our safe houses," jawab Henry. "We'll take care of him." sam-
bungnya.
Setelah menjabat tangan Henry dan anak buahnya, aku kembali diantar
oleh orang yang menjemputku untuk menuju ke sebuah rumah milik salah
seorang kepercayaan Benny di daerah Queens. Malam itu terus terang aku
tidak bisa tidur sama sekali hingga paginya aku harus buru-buru me-
ninggalkan New York City kembali menuju Los Angeles.

EPILOG

Dari cerita yang kudengar dari Benny, Henry menghabisi riwayat Boni-
facio Costaflis alias Bonnie Costaflis alias the Mad Dog dengan cara
menenggelamkan ke dalam laut. Bonnie dimasukkan ke dalam sebuah tong
atau drum minyak kosong yang berlubang-lubang di sekelilingnya dengan
mulut disumbat. Kemudian tong atau drum minyak itu ditutup dan dilas
lalu diceburkan ke dalam laut dengan menggunakan sebuah perahu bermo-
tor pada malam hari. Aku sendiri pada saat diceritakan Benny merasa
ngeri dan bergidik membayangkan kematian yang penuh siksaan dan pelan-
pelan. Sebuah jalan kematian yang sadis dan mengenaskan. Mati tengge-
lam dengan tubuh nyeri sekujur tubuh, itu pun kalau belum mati karena
kehabisan darah.
Keluarga Costaflis tidak pernah menduga dan menyangka bila yang
menghabisi ahli waris keluarga Costaflis adalah para mafia Cina.
Mereka berpikir bahwa Bonnie Costaflis merupakan salah satu korban
dari para mafia Italia dari keluarga lain yang ingin membalas dendam.
Mereka sadar bahwa kelakuan Bonnie Costaflis memang seringkali keter-
laluan terhadap para keluarga mafia lainnya, tapi mereka tidak bisa
berbuat banyak karena segan kepada Don Costaflis ayahnya.
Aku sendiri terkadang masih mengalami mimpi buruk atas perbuatanku
sendiri yang keji itu terhadap Bonnie Costaflis. Tapi setiap kali
mimpi buruk itu datang dan aku terbangun, selalu ada tangan-tangan
halus yang menenangkanku.
Selamat jalan Keisha... tenanglah kamu di alam sana. Kembali aku
menarik napas panjang setelah membaca surat terakhir dari Keisha saat
aku kembali dari St Louis (yang masih rapi kusimpan hingga kini).
Kembali kupetik gitarku dan aku bernyanyi mengusir rasa rindu ini...

Would you know my name, if I saw you in Heaven?
Would it be the same, if I saw you in Heaven?
I must be strong and carry on,
'cause I know I don't belong, here in Heaven.

Would you hold my hand, if I saw you in Heaven?
Would you help me stand, if I saw you in Heaven?
I'll find my way through night and day,
'cause I know I just can't stay, here in Heaven.
...
(Tears in Heaven - Eric Clapton)

SELESAI

Cerita ini khusus kupersembahkan buat Keisha Saraswati Buntaran (Kei),
seorang anak manusia yang harus menemui Sang Khalik dengan cara yang
mengenaskan. Beristirahatlah dengan tenang, aku akan selalu mengenang-
mu.

Begitulah para pembaca sekalian, akhirnya cerita yang sangat sulit
untuk kutuliskan akhirnya bisa aku selesaikan. Seperti biasanya,
silakan Anda kirim komentar, saran atau kritikan ke: frankie@arsipce-
ritaseru.com. Kalau memang masih banyak yang meminta, saya akan masih
terus mencoba untuk menuliskan pengalaman hidup saya. Terima kasih.

Salam,
Frankie Harahap

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home